Kamis, 30 Juli 2009

Menulis Esai itu Mudah (1)

Kurang lebih Ignas Kleden pernah berkata bahwa esai itu adalah obrolan yang dituliskan. Pembicaraan ringan yang kemudian disalin dalam bentuk kalimat tertulis, sehingga menjadi lebih sistematis. Esai bukan karya ilmiah yang menuntut kajian objektif berdasarkan sumber yang valid dan sahih, tapi esai juga bukan sebuah sajak yang merupakan karya imajiner dari sang penulis dimana subjektivitas menjadi dasar utama. Esai berada di antara keduanya. Antara objektif dan subjektif.

Banyak kalangan menganggap esai itu sebuah aktivitas yang menyenangkan, karena kita tidak perlu mengernyitkan kening untuk berpikir dan menulis serius. Tidak pula harus terbang di atas batas hayal. Esai tetap berpijak pada realita dengan tetap memperbolehkan penulisnya mengandaikan sesuatu. Esai adalah perpaduan antara otak kanan dan otak kiri.

Esai menggambarkan sesuatu dengan sentuhan pribadi sekaligus menjaga jarak dengan objek tulisan. Tarik ulur, mendekat menjauh dari objek tulisan menjadi kekuatan esai. Kedekatan penulis terhadap objek esai menjadi penentu sejauhmana kualitas objek digambarkan. Kemampuan penulis menjaga jarak dari objek juga menjadi kekuatan penulis untuk menjelaskan pada pembaca bahwa penulis objektif.

Ada yang bilang bahwa menulis esai itu diawali dari otak kanan lalu bergerak secara bergantian ke otak kiri. Berbeda dengan puisi yang sepenuhnya menggunakan intuisi, serta karya ilmiah yang sepenuhnya mengkonfrontir validitas dan kesahihan, maka esai membebaskan penulis dari belenggu keduanya. Esai membebaskan penulis untuk bergerak lincah dari kiri ke kanan, dari intuisi ke referensi pasti.

Rata-rata esai berupa penggambaran seseorang dan karyanya (biografi), karena memang dalam esai biografis ini penulis memiliki banyak waktu dan celah untuk melukiskan tentang objek. Berbeda dengan peristiwa dan tempat atau waktu. Dalam peristiwa, tempat dan waktu, penulis terkungkung pada objek yang mati dan tidak human. Dalam biografi, penulis bisa dengan mudah mengeksplor dan menggali humanisme objek. Banyak sekali sisi kemanusiaan yang bisa dengan fleksibel digambarkan. Apalagi objek tulisan tersebut memang berisi manusia yang secara nyata berinteraksi dengan penulis. Tafsiran dan interpretasi atas objek sangat luas dan elastis.

Mulailah menulis esai dengan menggambarkan seseorang. Mulailah dari biografi singkat. Gambarkanlah sosok objek semampu yang kita buat.

(bersambung ke tulisan bagian 2)

Jakarta, 30 Juli 2009

Rabu, 29 Juli 2009

Tirmizi Al-Katiri (TAK) 1: Ketua Korkom yang Fashionable dan Pede

Saya mengenalnya pertama kali tahun 1999 dalam sebuah perjalanan pulang dari kampus ke kosan. Kurang lebih 2 minggu setelah ospek berakhir. Seorang teman sekelas saya kebetulan satu grup dengan TAK dalam ospek. Teman saya bilang bahwa TAK itu pemberani, pintar orasi, berwatak pemimpin, berpenampilan sangar tapi sebenarnya hatinya lembut. Kecuali yang terakhir, saya belum bisa mempercayai cerita itu 100%. Nada bicara TAK waktu itu memang lembut. Mungkin karena teman saya ini cukup cantik, saya tidak tahu. Di jalan itu mereka bicara tidak lama, sekedar saling tanya kuliah. Saya tidak diperkenalkan dengan TAK. Kamipun tidak saling memperkenalkan diri.

Karena pergaulan saya waktu awal kuliah hanya sebatas pada teman sekelas, teman Madura dan teman kos, maka wajar saya dan TAK jarang bertemu. Pertemuan kedua kami adalah saat saya ikut LK I di HMI Komisariat Hukum Unibraw. Waktu itu tahun 2000. saya memang telat ikut LK. TAK hadir sebagai mahasiswa baru fakultas hukum yang sudah ikut LK I di Komek (selain di Dipak `99, TAK juga lulus UMPTN secara ajaib di FHUB '00). Di LK itu saya melihat sendiri bagaimana TAK berdiskusi dalam forum. Suaranya lantang. Pertanyaan dan argumentasinya kritis. Dia seperti mahasiswa yang sudah senior. Saya paham, kerena dia sudah digodok di Komek selama 1 tahun.

Pertemanan kami kemudian menjadi sangat intensif ketika saya putuskan untuk tinggal di Wagil 17B. Itu sekitar tahun 2002. Ketika Yusuf menjadi Ketua Komek, TAK menjadi Kabid PTKP. Saya sebagai Kadep Penerbitan di bawah P3A yang dikomandani saudara Anto. Dalam kepengurusan ini kami cukup akrab berinteraksi, lebih-lebih lagi dalam RAK –yang kelak memilih saya sebagai pengganti Yusuf. TAK kemudian memilih jalur Korkom menggantikan saudara Andi (Perikanan).


Ketua Korkom

Ada momentum yang cukup menegangkan dalam proses TAK menjadi ketua Korkom UB. Waktu itu Musyawarah Komisariat-Komisariat (Muskom) UB diselenggarakan di Graha Insan Cita (GIC) yang terletak di ujung utara Jalan Soekarno-Hatta. Ada banyak bakal calon yang dijagokan. Saya menilai bahwa masing-masing komisariat tidak mau kehilangan bargain of power-nya begitu saja di momentum ini. Hampir semuanya memajukan satu bakal calon. Hukum mencalonkan saudara Suci. Pertanian mengamanatkan saudara Salim. MIPA adalah Cahya. TP saudara Hariyanto. Ekonomi, tentu saja, TAK. Ada empat tahap yang harus dilalui yaitu pencalonan, penyampaian visi-misi, pernyataan kesediaan, dan pemilihan.

Tapi takdir memang tidak bisa dihindari. Setelah melewati satu tahap menegangkan dimana semua bakal calon tersebut harus memperoleh minimal 1 suara untuk maju ke tahap selanjutnya, akhirnya TAK lolos ke seleksi selanjutnya. Andai saja Hendra (waktu itu sebagai Ketua PTKP sekaligus peserta utusan) cukup pede untuk tidak menuliskan nama TAK dalam kertas suara, maka TAK tidak akan lolos, karena ternyata TAK hanya mendapat 1 suara, yaitu dari Komek sendiri, dan takdir TAK akan berbeda sepenuhnya dari sekarang ini.

Ketika tahap pernyataan kesediaan dimulai, saya ingat sekali, TAK duduk di kursi paling utara. Sedangkan pernyataan dimulai dari kursi paling selatan. Salim, pemilik kursi pertama itu, juga sebagai satu-satunya calon yang paling ditakuti TAK, secara mengejutkan menyatakan ketidak bersediaannya. Satu nafas kami tarik dengan sangat lega, karena Salim adalah calon yang dianggap paling berat. Selain intelek, punya track record sukses sebagai Ketua Umum Komperta dan anggota DPM UB, dia juga sangat berjasa pada Korkom kepengurusan Andi dengan membentuk Pusat Pengembangan Intelektualitas Kader (PusPIK).

Menyusul kursi kedua, juga tidak bersedia. Kursi ketiga dan seterusnya sama juga. Sampai pada kursi terakhir, kursi TAK, semua hadirin terdiam. Lalu tertawa. Ada juga yang menunggu dan harap-harap cemas. Bahkan ada yang meledek agar TAK juga menyatakan ketidakbersediaannya. Berharap ada pencalonan ulang. Beberapa detik kemudian, dengan suara mantap dan lantangnya, TAK berlafal:

"Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya menyatakan bersedia menjadi Ketua HMI Korkom UB periode selanjutnya!".

Semua hadirin tepuk tangan. Saya dan Hendra tidak dapat menahan haru. Kami semua saling berjabat tangan dan berpelukan menyelamati kemenangan bersama ini. TAK terpilih secara otomatis dan aklamatif. Tak ada tahap pemilihan karena semua calon, kecuali TAK, gugur demi hukum. Lagu Mars HMI pun dilantunkan dengan khidmat bersama-sama. Semua berdiri dan mengepalkan tangan kiri ke atas. Bulu kuduk saya merinding. Mata saya berkaca-kaca. Kami sadar, perjuangan bukannya berkahir, justru baru akan dimulai!


Fashionable

Entah TAK mendapat kalimat itu darimana, tapi begitulah yang disampaikannya ketika seorang kader perempuan dari Komisariat MIPA membandingkan prestasi TAK dengan para ketua korokom sebelumnya. Kader itu bilang, bahwa Ratno terkenal dengan keberhasilannya membawa HMI pada kemenangan di pemilwa raya. Andi dengan kegantengan, kegagahan dan kematangan strateginya (walaupun dalam pemilwa raya calon HMI kemudian kalah). Sedangkan Tirmizi:

"Terkenal dengan penampilannya. Yang lain boleh lebih hebat dan lebih ganteng, tapi kalau penampilan, Tirmizi-lah yang paling fashionable. Bukan begitu, Jay?"

Kalimat di atas tidak diucapkan kader perempuan tadi. TAK memotong perbandingan itu dan menyambungnya dengan kalimatnya sendiri. Saya yang mendengar kalimat itu tidak dapat menahan tawa geli. Gadis itu, apalagi.

Ini memang ciri khas TAK yang, dalam istilah Yusuf, suka klaim personal secara berlebihan. Setelah kalimat itu, dia lalu mengeluarkan statement-nya yang hingga kini tidak akan pernah bisa saya lupa. Katanya, alasan kenapa orang arab itu tampil parlente, `fashionable' dan suka makanan, karena memang:

"Orang arab itu Jay, suka toto roso (selera makan) lan toto seliro (penampilan). Orang Jawa itu suka toto kromo (adab dan sopan santun). Sedangkan orang Madura itu toto agomo (agama dan ibadah)."

Terhadap pernyataan di atas, saya tidak pernah konfrontirkan dengan orang lain, karena itu adalah ungkapan personal. Sah-sah saja diucapkan di jaman kebebasan bersuara dan berekspresi ini. Apalagi diucapkan hanya di depan saya. Tapi kalau diamat-amati, rasa-rasanya ada benarnya juga.


Pede

TAK memang dikenal sebagai orang yang luar biasa percaya diri. Pernah di tahun 2004 dia duduk satu meja dengan pembicara regional dan nasional. Dan dia tidak kehilangan satu centimeter pun ke-pede-annya walaupun acara itu ditonton oleh mahasiswa dan dosen satu ruangan penuh Gedung Widya Loka UB.

Forum itu adalah seminar untuk mengenang wafatnya Cak Munir. Pembicaranya antara lain Suciwati Munir dan Dedi Priambudi (LBH Surabaya). Pembicara lainnya saya lupa. TAK sebagai pembicara (perwakilan) dari kalangan mahasiswa, khususnya kader HMI Unibraw. Waktu 10 menit yang diberikan padanya dilanggar begitu saja dengan pidatonya yang berapi-api. Bapak Ibnu Tricahyo (FH) sebagai penanggungjawab acara tersebut dibuat merah padam akibat ulah TAK. Tapi justru tepuk tangan dan sorak hadirin bergemuruh saat TAK melontarkan kalimat-kalimatnya. Salah satunya adalah:

"Kita semua telah kehilangan Jundullah, tentara Allah! Cak Munir bin Thalib bukan hanya milik orang Arab! Bukan pula milik kader HMI dan FHUB! Tapi juga menjadi pahlawan bagi semua warga yang kemanusiaannya ditindas oleh kekuatan militer!".

Dia meneriakkan kalimat itu bersama topi golf putih ADIDAS menutupi kepalanya, jaket eksekutif cokelat CROCODILE, celana black jeans komprang TANPA MEREK dan sepatu boots hitam BALLY. Benar-benar fashionable dan pede. Saya duduk di barisan hadirin paling depan bersama beberapa pengurus HMI lainnya. Selesai memberi pidato, dia melirik ke arah kami, tersenyum khas, lalu mengangkat alis, seolah bertanya:

"Gimana, mantap? Tidak kalah sama pembicara lainnya, kan?"

(bersambung)

Jakarta, 11 April 2008

El-Fath dan Otoritas Intelektual Komek

Sebelum saya mewawancarai Sri Ajati untuk penelusuran biografi Chairil Anwar, terlebih dahulu saya kirim SMS pada tiga senior saya. "Berapa usia si `binatang jalang' waktu meninggal dunia?", tulis saya pada mereka. Kemudian satu balasan saya terima. "Kurang lebih 27 tahun", bunyi SMS itu dalam nadaragu. Mereka bertiga, dalam penilaian saya, adalah representasi peminat sastra untuk generasi masing-masing di HMI Komisariat Ekonomi Unibraw (Komek).

Dalam wawancara, nenek berusia 83 tahun itu bilang bahwa Chairil adalah pemuda yang selalu haus ilmu. Di tangannya selalu ada buku. Lalu ingatan saya tertuju pada Fathurrahman Effendi alias el-Fath (eF), seorang dari dua senior yang tidak menjawab SMS saya tadi. Dalam perjalanannya kemanapun, eF tidak lupa membawa buku."Peralatan mandi boleh lupa, tapi buku adalah teman setia" begitu kurang lebih dia berkata. Buku apapun yang dibawa eF, selalu menjadi menarik bagi teman-teman diKomek. Saya tidak tahu, mungkin karena buku itu memang menarik, atau mungkin hanya karena ta'dzim pada eF secara personal, sehingga apapun buku pilihannya, seperti menjadi wajib diikuti dan dibaca.

EF memang menjadi rujukan dan patron bagi banyak kader. Termasuk saya. Pernah suatu sore tahun 2001 dalam acara Latihan Kader (LK) 1 Komek diBatu, eF mengisi materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Materi itu dirasa beratoleh banyak kader. Pengurus yang biasanya berkumpul di ruang panitia, waktu itu malah berbaur dengan peserta LK. Salah seorang pengurus beralasan bahwa ini adalah kesempatan langka karena yang memberi materi adalah eF. Orang yang tepat untuk materi tersebut. Lantas sayapun ikut. Dan benar, eF memberikan materi ketuhanan pada peserta dengan bahasa yang mudah. Dia menyampaikannya seperti dia berbicara pada dirinya sendiri, seperti soliloqui. Saat sesi tanya jawab, banyak peserta mengacungkan tangan. Bahkan panitia dan pengurus, termasuk saya, tidak melewatkannya begitu saja.

Berbagai tema sulit dan berat selalu menjadi renyah dalambahasa eF. Dulu ketika masih tahun pertama di Komek, saya berkumpul dengan kader-kader baru di Hall Watugilang 17B. Tak ada diskusi karena semuanya masih `baukencur'. Tiba-tiba eF datang, dan seorang kader berseru "Beri kami wacanatentang `teologi pembebasan', Mas!". Lalu`kuliah' mengalirlah. Semua mengangguk-angguk seperti mengerti. Termasuk saya yang pada waktu itu belum tahu apa-apa tentang teologi, bahkan dalam arti harfiahnya.

Filsafat, tasawuf, sastra, budaya, agama, musik, politik dan sebagainya seolah dengan mudah ditelan oleh kehausan dan ketamakan eF pada ilmu. Dia tidak ragu mengambil cuti kuliah untuk ngaji dan mondok pada seorang kyai. Minatnya yang begitu besar pada ilmu membuat saya iri dan malu. Pada masa saya di Komek, jika ada diskusi, dimana di situ ada eF, semua diam dantidak berani menyanggah. Barangkali inilah yang disebut dengan otoritas intelektual, dimana tidak ada yang berani menambahi apatah lagi menyangkal pendapat `sang pembuka'.

Tidak hanya pada ihwal ilmu dia diakui. Pada gaya hidup pun tidak ada yang intervensi. Ketika para senior sudah `insyaf', dia masih asik dengan rambut gondrognya. Sewaktu dia ujian komprehensif S-1, bersama rekan-rekannya yang (juga ujian dan) sedang tegang, dia malah memakai kacamata hitam, seakan menertawai momen paling sakral dan menakutkan bagi para mahasiswa itu. Tidak seperti aktivis lainnya yang butuh teman diskusi ketika berjalan,dia justru menikmati pencariannya dalam kesendirian. Penampilannya adalahpaduan antara Mustofa Bisri, John Lennon dan Putu Wijaya.

Menjadi sarjana baginya hanyalah jembatan menuju pengabdian. Dia lalu memilih berkumpul dengan rakyat yang butuh penerangan `suluhilmu'- nya. Dia menjadi seperti `dian rakyat'. Gerakan Pemuda Anshor kota kelahirannya dia pilih sebagai sarana perjuangan. Sebuah pilihan yang tidak populis bagi mantan aktivis sekaliber eF. Jika mau, dia bisa saja mengajar disebuah universitas berkelas. Tapi, sebagaimana dia memahami filsafat dan tasawuf, dia pun memaknai dan menjalani hidup yang nisbi ini dengan sebenar-benarnya, dalam teori dan prakteknya sekaligus. Pilihan sebagaimana diambil seorang Ahmad Tohari dan YB Mangunwijaya.

Saya lalu teringat kalimat Goenawan Mohammad, "Apa yang kecil sebenarnya? Apa yang besar?".

Seorang sarjana dan putera ulama yang kembali ke desa kecil adalah suatu yang besar bagi rakyat desanya. Menggerakkan organisasi kecil demi pemberdayaan dan pencerahan masyarakat dari bayang gelap `mendung' konsumerisme, sekularisasi, pemurtadan, alienasi, korupsi-kolusi- nepotisme dan apatisme negara pada rakyat adalah satu hal yang besar bagi manusia-manusia desa.

Pada tingkat ini, tidak bisa tidak, saya mengacungkan jempol untuk kesekian kali padanya. Dalam keyakinan bulat saya, walaupun dia bukan saintis eksakta, dia telah mampu menyublim makna relativitas Einstein menjadi padangan hidupnya. Masyarakat kecil dijadikannya laboratotium sosial untuk satu penemuan besar.

Ketika saya mengalami godaan dalam ibadah, saya memerlukan diri untuk SMS padanya. Seperti guru pada muridnya dia menasehati saya untuk tidak larut dalam hidup yang rutin dan mekanis. "Masih ada tujuan yang lebih abadi dari sekedar mengejar harta dan karir. Modal keagamaan yang kuat sebagaimana dicitrakan Madura janganlah kalah dengan gemerlap ibukota yang tak lebih hanya sebagai tempat transit mencari sesuap nasi" tulisnya. Lalu dengan sedikit menekan, dia meminta saya untuk mencari guru-guru sufi yang bertebaran diJakarta. Hingga kini saya belum melaksanakan sarannya. Sungguh saya akan malu jika kelak dia menanyakannya.

Hari ini, pemuda tinggi besar itu menikah. Saya pikir,inilah pernikahan yang paling dinanti oleh teman segenerasinya dan oleh beberapa kader pengagumnya di Komek. Tadi malam saya dengar beberapa rekan diJatim sudah berkumpul untuk tahniah pada `sang guru'. Mereka rela tidak masuk kerja demi menghadiri ritual penting `santri kelana' ini.

Dia memilih tanggal nikah tidak lebih dari tujuh hari setelah Maulid Nabi. Mungkin dia berharap, dan semoga memang demikian, dia mendapat barokah dari maulid itu, sebagaimana do'a yang saya panjatkan dan saya SMS-kan padanya semalam:

Allahummaallif bayna Fathurrahman wa zawjihi,
Kamaallafta bayna Adam AS wa Siti Hawa,
Kamaallafta bayna Yusuf AS wa Siti Zulaikha,
Kamaallafta bayna Ali KW wa Siti Fatimah az-Zahra,
Kama allafta bayna Muhammad SAW wa Siti Khadijah al-Kubra..

Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan masa muda. Saya yakin di jiwanya yang luas, dia masih menjaga baik-baik semangat kaum muda, walaupun dia kini sudah bukan pemuda lagi. Pernikahan hanyalah masa peralihan dari jiwa muda seorang jejaka kepada jiwa dewasa seorang kepala rumah tangga. Penantiannya selama ini pun bukan karena ketidakmampuannya untuk menemukan sang belahan jiwa, tapi lebih karena tuntunan Yang Maha Kuasa untuknya menemukan tempat di waktu dan jalan yang tepat. Yang terbaik untuknya memang telah disiapkan-NYA. Sungguh semua telah dituliskan-NYA untuknya jauh sebelum dia lahir ke dunia.

Dan saya yakin, bahwa pernikahan ini bukanlah semata pernikahan biologis, individual, religius, dan emosional, melainkan juga ideologis, sosial dan intelektual. Pernikahan yang harmonis antara mikro dan makro kosmos. Sejalan dengan kemauan dan keharusan kemanusiaan universal. Pernikahan yang telah dikabarkan alam semesta melalui sasmita. Sebagaimana pernikahan lainnya.

SelamatKanda. .


Allahummaij' al baynahuma mawaddah warahmah
Warzuqhumawaladan shaliha..

Jakarta, 16 Rabi'ul Awwal 1429 H
24Maret 2008 M

Selasa, 28 Juli 2009

Jangan Takut Bermimpi

Apa adanya kita hari ini adalah karena dua hal, pertama karena Tuhan berkehendak begini atas diri kita. Dan kedua, impian kita yang kita wujudkan dengan kerja nyata. Hal pertama bisa jadi berhubungan atau tidak sama sekali dengan yang kedua, artinya kehendak Tuhan bisa jadi sesuai impian (doa dan kerja) kita atau tidak ada kaitan samasekali. Tuhan bisa memutuskan segala sesuatu tanpa sebab kita. Tapi hal kedua tidak akan terjadi tanpa hal pertama. Artinya apapun impian kita, tidak akan terjadi tanpa kehendak (ijin) Tuhan YME.

Terhadap hal ini, kita sepatutnya berangkat dari asumsi bahwa Tuhan akan mendengar doa dan menjawab impian kita. Maka ada empat hal yang harus kita punya, pertama impian, kedua kerja, ketiga doa, keempat tawakkal. Impian bisa juga diartikan niat. Impian bisa juga berarti cita-cita. Bekerja tidak mungkin tanpa niat. Pekerjaan yang dilakukan tanpa niat, tidak akan memiliki nilai apapun. Dia hanya akan menjadi sebuah aktivitas belaka. Hasil boleh jadi ada, tapi tidak ada nilai yang memuaskan. Kepuasan tentu akan diraih manakala hasil sesuai dengan harapan. Harapan itulah cita-cita. Harapan itulah niat. Maka sejak awal dan sejak dini, harus ditanamkan dalam diri kita, bahwa kita akan melakukan sesuatu berdasarkan niat.

Impian akan memberikan tambahan semangat dalam kerja kita mencapainya. Impian ibarat lampu yang akan menerangi jalan kita di malam hari. Dia yang akan tetap menuntun kita menuju titik tujuan. Manakala jalan kita beralih atau berbelok, lampu itu yang akan memberikan petunjuk bahwa kita telah salah arah. Maka sungguh lucu jika terdengar pernyataan dari seseorang yang mengatakan bahwa dirinya tidak punya impian sama sekali dalam hidupnya. Dia bilang bahwa hidupnya akan dibiarkan mengalir seperti air.

Ada teman saya memberi sebuah analogi pada saya waktu saya masih kuliah, "Panahlah rembulan, karena jika kau meleset, maka panahmu masih akan berpeluang mengenai bintang-bintang". Bagi saya analogi ini sungguh masuk di logika saya. Ini bisa kita tahbiskan pada impian mencari pacar ataupun impian mencapai cita-cita pekerjaan dan studi. Kurang lebih kalau kita ganti ke soal cita-cita, dia akan berbunyi begini, "Bercita-citalah setinggi mungkin, karena jikalaupun kau tak mampu meraihnya, kau masih berpeluang meraih cita-cita yang beberapa level di bawahnya".

Maka, mulai sekarang, marilah kita semua, jangan takut bermimpi. Jangan takut bercita-cita. Jangan takut meraih cita-cita itu. "Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak kan pernah dimenangkan", begitu Sutan Sjahrir pernah bilang. Makanya tidak heran jika Soekarno, Hatta, Sjahrir dan para pejuang kemerdekaan dulu bercita-cita terbaik pada masa itu, yaitu menghapuskan penjajahan di bumi Indonesia dan Indonesia harus merdeka. Mungkin bagi sebagian rakyat kecil, itu adalah cita-cita mustahil, mengingat kekuatan kompeni waktu itu. Tapi seperti saya tulis di atas, Tuhan bisa berkehendak tanpa atau sesuai impian kita.

Selamat bercita-cita.
Dan kejarlah cita-cita tersebut dengan kerja nyata, disiplin dan penuh semangat.

Jakarta, 28 Juli 2009

Senin, 27 Juli 2009

Nanang Suryadi (NS): Manajer para Seniman Pinggiran



Nanang Suryadi (NS): Manajer para Seniman Pinggiran

Suatu sore di tahun 2002 di Watu Gilang 17 B, seorang tamu hadir dengan kopiah seperti jamaah tabligh. Tamu itu langsung duduk di hall yang lengang itu. Berjongkok sambil memencet HPnya. Edi Syaiful Anwar, salah seorang penghuni yang mengetahui kedatangannya, langsung datang menyalami, dan mengajak saya yang kebetulan waktu itu sedang nonton televisi, untuk ikut diskusi dengan sang tamu, “Jay, ini Mas Nanang Suryadi, mantan ketua umum Komek.” Seketika itu saya baru tahu bahwa inilah sang sastrawan yang banyak dibicarakan di komek. Pada kesempatan itu beliau bercerita tentang kuliahnya di Jakarta. Sejak itu, saya akrab dan terpesona dengan tutur bahasanya yang apa adanya dan santun. Tidak menimbulkan kesan sungkan bagi seorang kader muda seperti saya waktu itu.

Obrolan kami selanjutnya banyak tentang puisi-puisinya. beliau lalu memberikan saya sebuah disket (waktu itu belum ada flash disc), berisi puisinya, Telah Dialamatkan Padamu (pada waktu naik cetak, kami juga diberi beberapa eksemplar buku tersebut). Saya baca puisi-puisi tersebut, isinya adalah kerinduannya pada sang kekasih –waktu itu mas Nanang belum menikah. Seluruh isi disket itu saya salin ke komputer saya. Beberapa saat Mas Nanang meminjam komputer saya untuk mengedit atau menuliskan beberapa idenya kala itu. Sayang sekali, oleh berjalannya waktu, komputer saya rusak. File asli dari NS menguap bersama rusaknya hardware di komputer tersebut.

Tidak banyak waktu yang saya luangkan dengan NS waktu itu, selain NS yang sibuk untuk menyelesaikan studi magisternya, beliau juga masih sibuk menyiapkan waktu untuk launching buku puisi Telah Dialamatkan Padamu. Launching buku yang diselenggarakan pada Rabu, 4 Juni 2003 malam di Resto Gama, pinggir kampus Unibraw, Malang tersebut dihadiri oleh banyak seniman seperti Bagyo Prasasti, Fatchurrahman Effendi, Jumali Alhambra dan para penyair kampus Ketawang Gede lainnya. Mereka membacakan sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi puisi "Telah Dialamatkan Padamu".

Selang tidak beberapa lama dari launching buku tersebut (2003), NS menikahi Kunthi Hastorini, gadis Lumajang, yang menurut Yusuf Risanto, menjadi sumber inspirasi puisi-puisi NS pada tahun-tahun tersebut. Kami semua kader Komek diundang. Kami datang bersama-sama ke rumah barunya Mas NS di belakang terminal Landung Sari, berdekatan dengan rumah Mas Wildan Syafitri. Setelah acara resepsi tersebut kami mampir ke kediaman Mas Wildan.

Kini, tarian pena mas Nanang dan pada kertas Mbak Kunthi telah membuahkan dua sajak terindahnya yang berjudul Cahaya Hastasurya dan Arya Mada Hastasurya. Puisi hidup yang selalu mencerahkan hari-hari Mas NS dan isteri. Hastasurya, selain merupakan akronim dari sang penulis dan pendampingnya, juga bermakna ‘tangan sang matahari’. Nama indah dari sang penafsir keindahan.


Aktivitasnya di Dunia Sastra

Dalam satu percakapan ringan di tahun 2005 saya tanyakan pada NS tentang sastrawan idolanya. Dia menyebut nama Hamsad Rangkuti. Selama di Malang, tidak saya temukan karya Hamsad kecuali hanya beberapa baris tentang biografinya. Selain itu, saya juga jarang ke internet. Baru di Jakarta saya temukan buku kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot (Penerbit KOMPAS).

Saya tidak tahu bagian mana yang disuka NS dari Hamsad. Mungkin pada fantasinya yang liar dan nakal seperti tampak dalam cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”. Entahlah, tapi ketika saya membaca cerpen Hamsad tersebut, terasa sekali betapa imaji Hamsad dengan bebas mengalir melampaui batas yang pernah saya punyai. Mungkin begitu juga bagi NS. Membaca karya Hamsad, sayapun jatuh cinta pada sastrawan bohemian ini. Sebuah acara di The Habibie Center memberi saya kesempatan bertatap muka langsung dengannya.

Dalam pengantar buku tersebut Hamsad bercerita tentang bagaimana dia harus berjuang sebagai anak kampung untuk bisa berkiprah di dunia sastra nasional, yang waktu itu masih di bawah pengaruh sang Paus Sastra, HB Jassin. Cerpen karya masa kecilnya, yang kemudian menjadikannya sebagai bahan pembicaraan orang sekampung –karena tembus pada majalah sastra asuhan HB Jassin– adalah sebuah cerpen yang bercerita tentang anak juragan kaya di sebuah desa yang wafat karena luka akibat sunnatan. Anak kecil itu wafat dalam balutan perban pada alat kelaminnya serta balutan shalawat orang-orang sekelilingnya.

Inilah dua alasan yang menurut saya mengapa NS mengidolakan Hamsad Rangkuti; imajinya yang bebas dan liar menembus tradisi, serta latar belakang masa kecil yang sama-sama dari kampung, –NS dilahirkan dan dibesarkan di Pulomerak, Serang, Banten– walaupun secara jujur harus diakui bahwa NS bernasib jauh lebih baik dari Hamsad.
Diluar kesibukannya mengurus keluarga, mengajar mahasiswa dan menulis karya sastra, NS menyempatkan waktu untuk mengelola sebuah website khusus para pencinta seni dan sastra, namanya www.fordisastra.com. Fordisastra adalah kependekan dari forum studi seni dan sastra. Beliau adalah kreator dan administrator situs tersebut. Sebuah situs untuk para sastrawan ‘pinggiran’ yang ingin mencurahkan karya kreatifnya. Ketika awal tinggal di Jakarta, pernah sekali dalam sebuah chat YM beliau meminta saya untuk ikut aktif di dalamnya, baik untuk mengikuti perkembangan sastrawan muda non-mainstream, maupun untuk posting karya puisi dan cerpen. Saya mendaftarkan diri, namun sayang sekali saya sudah lupa username dan password saya. Walaupun begitu, saya selalu sempatkan untuk melihat situs tersebut sesekali dalam sebulan.


Pembantu Dekan III FE UB 2009 – 2013

Di jenjang struktur Fakultas Ekonomi Unibraw, khususnya Jurusan Manajemen, NS memulai karirnya sebagai Sekretaris Jurusan Manajemen FE Unibraw. Perjumpaan terakhir saya dengan NS adalah ketika FE UB menyelenggarakan temu alumni pada bulan Juli 2008 lalu. Saya sempat berkunjung ke ruang kerjanya di gedung PPA lama lantai 2, menyerahkan sebuah buku kumpulan puisi Zawawi Imron “Berlayar di Pamor Badik”, titipan dari Andi Makmur Makka (mantan Pimred REPUBLIKA, sastrawan di kantor saya). Di ruang itu NS bersama dengan beberapa dosen muda lainnya seperti Mas Rofiq dan Mas Bobby, dibantu oleh asisten muda multi talenta (Lukman dan Dimas).

Hari Kamis, 23 Juli 2009 lalu mungkin menjadi salah satu hari yang paling bersejarah bagi NS. Beliau dipercaya menjadi Pembantu Dekan III yang membidangi kemahasiswaan untuk periode 2009-2013. Ketika mendapatkan SMS tersebut dari Yusuf Risanto tentang tiga PD baru di struktur dekanat FE 2009, dalam hati dan pikiran saya tergambar dengan jelas ejawantah peribahasa the right man on the right job. Sosok NS yang sangat guyub menjadi persona yang kokoh dan fleksibel untuk dijadikan tempat berkonsultasi.

PD III yang dalam urusan kesehariannya bersiggungan dengan mahasiswa, baik secara personal maupun lembaga (BEM, DPM, Himpunan dsb), bukanlah jenis pekerjaan baru dan berat bagi NS, mengingat kebiasaannya dalam berkomunikasi dengan lintas generasi dalam hal sastra. Seperti kata pepatah, “hobi melahirkan kebiasaan, kebiasaan melahirkan sifat, sifat melembaga dalam disiplin, dan disiplin menjadi kunci sukses sebuah pekerjaan”, maka pekerjaan sebagai PD III saya yakin akan sukses dijalankan NS. Modal dasar yang besar di masa lalu dan kesehariannyalah yang akan mempermudah karir NS membantu Pak Gugus Irianto mengelola FE UB ke depan bersama Mas Erani dan Pak Didit.

Sembari mengutip puisinya Telah Dialamatkan Padamu dalam antologi dengan judul yang sama, saya ingin mengucapkan selamat kepada kakanda Nanang Suryadi, yang bagi saya pribadi, lebih dari sekedar kakanda dan guru. Jabatan Nanang Suryadi sebagai Pembantu Dekan III FE UB 2009–2013 sejatinya adalah ‘surat azali’ yang telah dituliskan ‘sang sutradara’ di lauh al-mahfudz. Telah dialamatkan pada ‘sang manajer para seniman pinggiran’, dan telah sampai di sebuah ruang sidang di kampus ekonomi Unibraw pada detik itu. Detik ketika semua mata menjadi saksi sebuah takdir yang telah pasti.

"Telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam pada pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran
ke mana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas terselip: aku merindukanmu
ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin diledakan di dadaku, ke dalam otakku
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!"

Jakarta, 27 Juli 2009
dari berbagai sumber

Sabtu, 25 Juli 2009

Ahmad Erani Yustika (AEY): Mutiara dari Timur Jawa


Konon, seorang adik bertanya pada abangnya yang ingin menjadi ketua sebuah partai besar. Dengan mantap sang abang menjawab ketidakraguannya. Memang dia ingin menjadi suami dan ayah yang baik, tapi baginya hal itu terlalu sentimentil dan emosional. Dia ingin berbuat yang lebih besar dari sekedar itu. Dia ingin berjuang demi bangsa ini. Kelak, sejarah mencatat sang abang dengan nama D.N. Aidit. Menjadi tokoh nasional memang butuh keberanian tersendiri untuk (tidak saja) mengorbankan waktu dan uang, (tapi) juga kesempatan bercengkrama dengan keluarga tercinta.

Dalam bayangan saya, hal serupa juga terjadi pada Soekarno, Munir, Amien Rais, dan banyak tokoh bangsa lainnya, termasuk (saya yakin) pada AEY. Bagi mereka, keluarga dan lembaga tidak boleh membatasi pengabdiannya pada negara dan bangsa. Memang tugas AEY tidak lagi membentuk nation atau berdemonstrasi menuntut penegakan HAM. Tidak juga memimpin massa memaksa presiden turun tahta. Menggedor pemerintah agar meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendistribusikan hasil pembangunan dengan adil-merata adalah juga perjuangan menegakkan konstitusi.

Senin, 24 Maret 2008, AEY di-launch sebagai Direktur Eksekutif INDEF. Sebagai KAHMI Ekonomi Unibraw (FE-UB), beliau telah membuktikan kualitas insan-citanya dengan menjadi lokomotif intelektual di kampus lewat berbagai dharma akademis. Opininya tersebar di surat kabar dan majalah nasional (juga internasional) . Sudah lebih dari 6 buku karyanya. Salah satunya, Ekonomi Kelembagaan (Bayumedia, 2006), layak disandingkan dengan buku-buku panduan teori ekonomi lainnya. Sebuah buku kajian mendalam dan komprehensif tentang salah satu cabang ilmu ekonomi, yang di Indonesia sendiri masih terbilang langka.

Pencapaian intelektual seorang ilmuwan termanifestasi dalam dua jalan: pertama, karya ilmiah berupa paper, jurnal dan buku. Kedua, prestasi kelembagaan berupa jabatan struktural. AEY telah meraih dua-duanya. Selain Pasca Sarjana FE-UB (sebagai Kepala), INDEF adalah bukti bahwa, meminjam istilah Andrinof Chaniago, `mutiara nusantara dari timur Jawa' ini memang layak menjadi ekonom nasional.

Senin pagi itu, saya meletakkan pena saya di atas meja kerja saya. Tabik. Sebagaimana yang (digambarkan dalam film Beautiful Mind, 2001) dilakukan para ilmuwan pada John Nash di sebuah perjamuan makan sebelum ahli matematika itu dianugerahi hadiah nobel ekonomi pada tahun 1994.


Penulis yang Puitis

Menulis adalah aktivitas yang telah digeluti AEY sejak lama. Sewaktu mahasiswa, beliau pernah menjadi Ketua INDIKATOR (majalah mahasiswa FE-UB). Dalam sebuah acara buka puasa Ramadhan tahun 2003 di kediamannya, AEY berpesan pada kami aktivis muda HMI FE-UB, agar sering menulis.

"Menulis tidak mungkin tanpa membaca. Kalian harus rajin membaca dan sering praktek menulis. Jadi, jika kalian melihat saya sekarang sebagai penulis (produktif), itu adalah buah dari proses saya membaca dan menulis selama belasan tahun" katanya.

Mendengar pesan AEY, saya lalu teringat pada tiga tips Kuntowijoyo untuk menjadi penulis hebat, yaitu pertama, menulis, kedua, menulis, ketiga, menulis.

"Pada intinya, kemampuan menulis tidak datang dalam satu malam". Begitu AEY menyimpulkan pesannya malam itu.

Pada kesempatan lain AEY berkata pada saya dan teman-teman bahwa beliau sangat suka sastra, terutama novel karya Pramoedya Ananta Toer. Saya mempercayainya karena hal ini dapat saya lihat dalam tulisannya yang tidak hanya analitis, tapi juga estetis. Indah sekali. Tulisannya adalah gabungan antara kajian ekonomi ilmiah dengan kontemplasi humaniora filosofis.

Gaya penulisan AEY bisa dikatakan nyastra. Logika ekonomiya mudah diikuti, akurasi datanya bisa dipertanggungjawabk an dan (yang paling penting) keberpihakannya pada kaum marginal terasa dalam kalimat-kalimatnya yang selalu mengajak kita untuk sejenak mengambil jarak dari `menara gading' kampus dan `tembok istana' pemerintah. Dalam istilah Maxim Gorky, tulisan tersebut masuk dalam jenis sastra `realisme sosialis'. Saya ingat sekali dalam pengantar bukunya Negara vs Kaum Miskin (Pustaka Pelajar, 2003) beliau menyunting (seluruh bait) puisi Widji Tukul, Nyanyian Akar Rumput.

Banyak dari tulisannya menyangkut nasib rakyat yang terpinggirkan oleh kekuatan modal dan kekuasaan yang mengatasnamakan industrialisasi dan pembangunan. AEY tidak tinggal diam atas hal ini. Dua bukunya, Industrialisasi Pinggiran (Pustaka Pelajar, 2000) dan Negara vs Kaum Miskin menjadi saksi ke-`geram'-annya pada penguasa dan pengusaha yang seenaknya `menindas' rakyat dengan kebijakan yang sama sekali tidak solutif. Alih-alih ingin menertibkan pasar ekonomi rakyat kecil yang cenderung tradisional, kumuh dan sporadis, yang terjadi malah penggusuran tanpa ganti rugi yang layak. AEY melihat kebijakan publik saat ini masih jauh dari efektif. Biaya sosial dan kelembagaan berupa hambatan birokrasi dan non-birokrasi menjadi pemicu bocornya anggaran.

Apresiasinya pada karya tulis dibuktikannya pada mahasiswa di kampus. Tahun 2001 saya pernah ikut mata kuliahnya, Perekonomian Indonesia. Waktu itu beliau sudah `menyabet' gelar master dan sedang persiapan mengambil S-3. Beliau memotivasi mahasiswa dengan menjanjikan nilai A bagi siapa saja yang tulisannya dimuat di (opini ekonomi) media cetak nasional, dan nilai B+ untuk media cetak lokal. Plus tiket gratis bebas dari kewajiban tatap muka di kelas. Bagi saya, ini adalah terobosan baru. Dari sekian banyak dosen muda FE-UB, hanya AEY yang berani menerapkan kebijakan seperti ini.


Pejuang yang Konsisten

Sebelum masuk ke INDEF, sebagaimana aktivis lainnya, AEY mendirikan LSM lokal (di Malang), ECORIST (Economic Reform Institute). Beliau menjadi `arsitek' sekaligus `striker' disana. Selain sebagai saluran idealisme dirinya dan rekan-rekannya, juga untuk menampung minat intelektual dan media silaturahmi mahasiswa dan alumni FE-UB.

Tiga tahun menjadi Ketua Yayasan sekaligus Direktur Eksekutif ECORIST, kemudian beliau bersama M. Iksan Modjo (MIM) memperkenalkan sebuah LSM baru di Surabaya bernama INSEF (Institute For Strategic Economics and Finance). AEY sebagai founder sedangkan MIM sebagai direktur eksekutifnya. Kini, `tandem' ini setiap minggu secara bergantian menahkodai LSM yang dulunya `dibidani' dan dibesarkan oleh para ekonom IPB.

Sebagai LSM nasional yang (cukup) kritis dalam mengkaji kebijakan pemerintah, dan cukup berpengaruh dalam diskursus strategi pembangunan ekonomi, keuangan dan pertanian nasional, maka jabatan ini signifikan –dan momentum yang tepat– bagi AEY untuk menyuarakan apa yang selama ini menjadi uneg-uneg-nya. Ibaratnya, kini AEY memiliki `godam' untuk menghantam `batu besar' disparitas antara teori ekonomi dengan praktek kebijakan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan sosial yang masih sangat lebar.

Dalam usianya yang masih muda, AEY menancapkan namanya di pentas nasional sebagai dosen, penulis dan aktivis yang konsisten. INDEF bukan wilayah baru baginya mengingat disertasinya adalah tentang ekonomi pertanian –dimana para pendiri INDEF banyak menggeluti bidang tersebut.

Di sebuah acara peluncuran buku Teori Bandit di Universitas Paramadina, Kamis, 10 April 2008, Didik J. Rachbini (penulis buku tersebut dan pendiri INDEF), memuji (sambil menepuk bahu) AEY begini:

"... dalam hal ekonomi pertanian, khususnya beras, Erry ini jauh lebih cerdas dari direktur-direktur INDEF sebelumnya".

Yang dipuji hanya tersenyum kecil sambil menundukkan pandangan.


CIRUS, Jakarta, 16 April 2008

Valentine Day 2009 bersama BJ Habibie

Siang itu kami diajak makan siang bersama Bapak B.J. Habibie (BJH) di rumah makan padang Sari Bundo, Jalan Juanda, seberang Kantor Sekretariat Negara RI. Rumah makan itu, konon, adalah favorit BJH sewaktu beliau masih menjabat wakil presiden dan presiden RI (1998-1999). Saya hadir ke rumah makan tersebut satu mobil bersama Dr. Ahmad Watik Pratiknya (Direktur Eksekutif The Habibie Center) dan Sumarno, M.Si (anggota KPU DKI Jakarta). Sesampai di sana beberapa orang dari kami sudah hadir. Rombongan BJH sudah pesan tempat terlebih dahulu. Saya mengambil kursi sebelum Pak BJH datang.

Dilihat dari penampilannya, para pengunjung rumah makan tersebut adalah orang berada. Kehadiran kami –sebagai pemesan meja panjang di ruang bagian belakang– memancing perhatian beberapa pihak, karena ada petugas berbaju hitam-hitam sebagaimana pengawal pejabat. Keheranan mereka terjawab ketika Pak BJH dan keluarganya hadir. Para pengunjung kemudian saling berbisik satu dan lainnya.

Tepat ketika Pak BJH hadir, semua makanan dihidangkan. Satu persatu secara bergantian. Seketika itu pula para pramusaji menanyakan minuman yang akan kami pesan. Saya memesan satu gelas jus terong belanda campur sirsak. Ketika ayam goreng sampai di hadapan Pak BJH, beliau langsung mengambil satu potong. Sepertinya lezat. Setelah Pak BJH mempersilahkan kami untuk mengambil makanan sesuka kami, kamipun mulai mencicipi. Dan benar, makanan di Sari Bundo ini memang gurih dan lezat.

Saya duduk bersebelahan dengan Pak Sumarno. Beliau di sebelah kanan saya. Di ujung kiri, tepat di kiri saya, ada Bapak Andi Makmur Makka (mantan Pimred REPUBLIKA). Di depan saya ada Ibu Hasri Ainun Habibie (istri BJH). Di sebelah kanan saya ada Pak Watik. Bapak Andi Oddang (mantan Gubernur Sumsel, teman kecil Pak BJH sekaligus kakak kandung Pak Makka) duduk tepat di depan Pak BJH. Bapak Fuadi Rasyid (Direktur Administrasi dan Umum THC) duduk di sebelah kanan Pak Andi Oddang. Pak BJH sendiri di sebelah kiri Ibu Hasri Ainun. Di sebelah kiri BJH ada dua cucunya, putra dan putri Pak Ilham Akbar Habibie (anak bungsu BJH). Setelah dua cucu tersebut, istri Pak Ilham (menantu Pak BJH). Lalu terakhir adalah Rahimah Abdulrahim (putri alm Bang Imad ITB) di sisi paling kiri dari BJH.

Multi Bahasa dengan Keluarga

Selama proses makan tersebut, BJH secara bergantian menanyakan perihal kesehatan kami, kinerja di The Habibie Center, politik di Indonesia serta hal-hal lain sekenanya. Kamipun menjawab dengan penuh antusias. Tidak ada ketegangan. Suasana rileks. Kadang beliau menanyakan cucunya tentang makanan yang ada di depannya. Atau tentang sekolahnya. Tidak lupa Pak BJH memperkenalkan cucu-cucu beliau pada kami. Kelas berapa dan umur berapa, apa hobinya dan apa pula prestasinya. Yang menarik untuk diperhatikan adalah, BJH berkomunikasi dengan cucunya menggunakan bahasa inggris. Perlu diketahui bahwa cucu perempuan BJH, yang sulung, usia sekitar 9 tahun, memakai kacamata. Sedangkan cucu putra, yang lebih muda sekitar 7 tahun, rambut gondrong. Mereka semua sudah sangat fasih bahasa inggris. Tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu.

BJH bercerita bahwa kedua cucunya ikut program ekstrakurikuler karate (atau tae kwondo, saya lupa). Dan acara makan siang ini sengaja diadakan setelah kedua cucunya selesai latihan olahraga beladiri tersebut. Siang itu, dengan bangga BJH bercerita bahwa cucu putranya telah berhasil mengalahkan lawan beladirinya yang jauh lebih besar darinya. Kuncinya, kata beliau, menirukan cucunya, percaya diri.

Dua cucunya tersebut juga sering diajak berenang oleh BJH. Renang adalah hobi yang ditekuni dan dijalani BJH sejak lama. BJH, hingga kini, tetap berenang 2 jam sehari, setiap hari. Itulah, kata beliau, yang merupakan rahasia dari kebugarannya. Padahal kalau diselidiki, BJH hanya tidur kurang lebih 2-3 jam sehari semalam, tapi kondisi nya masih segar bugar.

Ibu Hasri Ainun sesekali bercerita tentang makanan favorit BJH. BJH berkomunikasi dengan isterinya dengan bahasa Jerman. Sesekali bahasa Indonesia. BJH dengan menantunya pakai bahasa Indonesia. Saya pernah melihat BJH bicara dengan putranya (Ilham Akbar) dengan bahasa jerman. Pelajaran yang saya petik siang itu adalah, bahwa dalam keluarga intelektual, bahasa tidak menjadi persoalan. Mereka sudah membiasakan diri berkomunikasi dalam banyak bahasa, terutama bahasa Indonesia dan Inggris. Tidak salah dalam usia yang matang, mereka menjadi manusia yang fleksibel dalam berkomunikasi dengan kalangan internasional.

Tetap Berkarya di Masa Tua

Hingga kini BJH tetap berkarya memajukan teknologi, untuk dunia. Beliau kini tinggal di Jerman. Alasan beliau memilih tinggal di sana karena pengobatan kesehatan di Jerman lebih baik, dan disana beliau mendapatkan asuransi penuh. Ibu Hasri beberapa kali harus periksa kesehatan. Di jerman beliau tetap sibuk di laboratorium dengan banyak komputer di ruangannya.

Kegiatan di sela-sela kesibukannya berkarya adalah menikmati karya seni, budaya dan peradaban anak bangsa dan dunia. Beliau secara terbuka mengakui bahwa kini tergila-gila dengan sinetron Cinta Fitri (tayang di SCTV). Pada sebuah acara di The Habibie Center, BJH cerita bahwa di masa mudanya beliau tidak pernah nonton sinetron. Hanya pada masa tua inilah beliau sempatkan melihat sinetron. Tentunya ada banyak lagi kegiatan seni dan budaya yang beliau sukai, misalnya pameran lukisan, pertunjukan musik klasik serta opera.

Selain kegiatan di atas, beliau juga sering diundang untuk memberikan ceramah kebudayaan dan teknologi di berbagai negara. Seringkali secara marathon dari satu kampus ke kampus lainnya, dari satu benua ke benua lainnya.

Tip untuk Para Pramusaji

Di sela-sela kami makan, banyak para pramusaji yang tersenyum-senyum melayani Pak BJH. Mungkin mereka baru kali ini melayani Pak BJH, atau mungkin baru kali ini bertemu muka dengan beliau. Saya lihat mereka mengintip dari balik dapur. Ada yang memotret dengan kamera HP dan kamera poket dari jarak jauh.

Ketika makan siang kami hampir selesai, Pak BJH memanggil asisten pribadinya –yang sangat setia menemani beliau sejak lama (usia aspri tersebut sekitar 70 tahun)– untuk menyelesaikan pembayaran. Tak lupa Ibu Hasri Ainun memesan makanan untuk dibawa pulang. Pak BJH memesan ayam goreng, dan Ibu Hasri memesan sambal pete dan kare jeroan.

Setelah aspri Pak BJH membayar semua tagihan, Pak BJH meminta sisa uang yang dibayarkan. Beliau hitung, sepenglihatan saya ada sisa sekitar 150 ribu atau 200 ribu. Beliau langsung memanggil kepala pramusaji. “Siapa kepala pramusajinya di sini?” Tanya beliau ke salah satu pelayan. Lalu datang seorang di antara mereka ke arah BJH. “Berapa orang semuanya?” lanjut tanya BJH. Pelayan menjawab sekitar 4-5 orang. Lalu sisa uang di tangan BJH tadi langsung beliau berikan pada kepala pramusaji. Dengan senyum dan perasaan haru, kepala pramusaji itu menerima uang tersebut sambil salaman mencium tangan BJH.

Saat BJH pamitan pada kami semua, dan juga pada para pramusaji dan pemilik restoran, tiba-tiba salah seorang pramusaji memberanikan diri memohon waktu BJH untuk mengambil waktu berfoto bersama dengan mereka. Pak BJH menerima dengan senang hati dan tidak keberatan samasekali, “why not?” katanya. Alhasil, secara bergantian mereka semua berfoto dengan Pak BJH dan Ibu Hasri. Sesekali dengan cucu dan menantunya. Mereka tampak bahagia. Satu persatu dari pramusaji itu salaman dan cium tangan. Mereka berterimakasih sambil sedikit membungkukkan badan tanda hormat.

Saya meninggalkan Sari Bundo dengan gumam dalam hati, “Hari ini Sabtu tanggal 14 Februari 2009. Bagi beberapa orang muda di belahan dunia, mereka sebut hari Valentine, hari berbagi kasih sayang. Saya merasakan indahnya kasih sayang ini dengan makan siang bersama presiden ketiga republik ini, beserta segala nilai humanisme dan kemanusiaanya secara natural. Bagi para pramusaji, mereka mengungkapkan kasih sayangnya dengan melayani sepenuh hati. Dan BJH dengan senyum tulusnya serta kedermawanannya”. Sungguh sebuah hari yang indah yang tak akan saya lupakan sepanjang hidup saya.

Jakarta, 25 Juli 2009

Jumat, 24 Juli 2009

Permasalahan dan Cara Menghadapinya

Seringkali saya temukan teman saya mengeluh tentang persoalan dan masalah hidup yang dihadapinya. Dia mengaku telah banyak mendapatkan masalah. Dia butuh teman untuk curhat, bahkan dia merasa tidak mampu menghadapi masalah tersebut, sehingga kadang perlu mengambil langkah ekstrim untuk memecahkannya.

Teman saya di Sumatera Barat, mengaku bahwa tempat kerjanya sudah tidak enak lagi. Semua karyawan di sana, bahkan manajernya, tidak suka sama dia. Dia ingin keluar. Dan benar, satu bulan setelah pernyataannya itu, dia keluar dari kantor tersebut. Saya lihat bahwa ini adalah solusi ekstrim. Sebenarnya tidak perlu sampai sejauh itu dalam menyelesaikan masalah. Ada jalan moderat dan jalan tengah yang bisa ditawarkan.

Kembali ke teman saya di Sumbar tadi, dulu saya sarankan agar dia tenang dan santai saja menghadapi rekan-rekan sekantornya. Tidak perlu terlalu panic. Semua permasalahan muncul karena perbedaan pola pandang atas suatu fenomena. Jika antar elemen sepakat dan sama atas satu hal, maka apapun kondisinya, tidak akan menjadi masalah.

Nah, langkah mudah untuk santai dan tenang adalah kita selaraskan dulu diri kita dengan orang lain. Jangan memaksa orang lain untuk selaras dengan kita. Kita laksanakan dulu, baru minta orang lain melaksanakan. Menyelaraskan diri kita dengan orang lain tidaklah sulit. Kita tinggal membayangkan diri kita berada dalam posisinya. Kalau kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita dimarah-marahi oleh bos kita yang melihat kinerja kita yang kurang cepat, maka bayangkan saja bahwa anda menjadi bos tersebut dan menghadapi anak buah yang bekerja lambat, maka pasti anda akan mengerti mengapa si bos tadi marah-marah pada anda.

Cara lain adalah dengan menyadari bahwa hidup dan sifat kita berbeda dengan orang lain. Anggap saja bahwa orang yang tidak cocok dengan kita adalah orang yang belum memahami diri kita. Jadi sekarang tugas anda untuk menjelaskan pada mereka siapa diri anda. Tidak perlu merasa paling benar. Semua orang berpeluang salah dan berpeluang benar. Jadi bisa jadi anda yang benar, atau dia yang benar. Tidak mungkin keduanya salah dan tidak mungkin pula keduanya benar. Pasti ada salah satu yang benar, dan pasti ada salah satu yang salah.

Toleransi, itulah kata yang tepat untuk melukiskan bagaimana cara kita memahami perbedaan antar kita. Ketika kita sedari awal sudah sadar bahwa tiap orang berbeda dan berpeluang yang sama untuk benar dan salah, maka saya yakin kita mudah memahami orang lain.

Cara lain adalah evaluasi diri. Jangan sampai terlalu mengklaim bahwa hanya diri andalah yang benar. Coba tinjau kembali sikap dan perbuatan anda. Bisa jadi sikap anda sebelumnya telah membuat orang lain jengkel. Jika anda sudah bisa menemukan sikap anda, maka saya yakin anda akan tersenyum. Tidak akan reaktif menghadapi orang yang marah-marah pada anda.

Selamat mencoba..
Jakarta, 25 Juli 2009

Suramadu dan Industrialisasi Madura

Sejak awal direncanakan, Suramadu dipersiapkan sebagai langkah awal dan katalisator industrialisasi Madura. Artinya Suramadu sebagai sebuah infrastruktur yang dapat mempercepat industrialisasi tersebut. Konsep pembangunan Madura meniru apa yang telah dikonsep dan dilaksanakan di Batam. Tidak berlebihan jika pada awal masa perdebatan pembangunan jembatan terpanjang di Indonesia ini, beberapa ulama Madura diundang untuk berkunjung dan melihat-pelajari (studi banding) pulau yang telah sukses sebagai pulau industri tersebut.

Namun ada perbedaan yang cukup mendasar antara Madura dengan Batam. Pertama, luas wilayah. Madura lebih besar dari Batam, sehingga dalam pelaksanaan pembangunannya pasti akan berdampak berbeda baik dari segi waktu maupun skala. Kedua, kultur masyarakat. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang kuat memegang tradisi. Kiyai sebagai kekuatan sentral dalam masyarakat menjadi rujukan utama dalam penyelesaian persoalan. Penundaan pembangunan Suramadu salah satunya karena tidak setujunya pada ulama -yang studi banding ke Batam- untuk melaksanakan pembangunan Suramadu secepatnya.

Perbedaan ketiga adalah kesiapan infrastruktur pembangunan lainnya. Jembatan hanyalah salah satu infrastruktur. Ada banyak infrastruktur lain yang sangat vital untuk disiapkan, misalnya ketersediaan jalan tol -atau paling tidak, jalan yang bagus dan mencukupi- untuk kemudahan lalu lintas mobil-mobil proyek dan pabrik -yang biasanya besar dengan tonase cukup tinggi. Madura, hingga saat ini masih hanya memiliki dua jalan utama, yaitu jalur tengah yang sekarang digunakan bus umum dan kendaraan pribadi yang menghubungkan Bangkalan sampai Sumenep, serta satu jalan lagi di pantura Madura yang biasa dilewati mobil angkutan yang lebih kecil, dengan panjang kurang lebih sama dengan jalur tengah Madura. Kondisi kedua jalan ini sangat tidak layak untuk industrialisasi. Seharusnya yang dibangun terlebih dahulu adalah jalan tol atau jalan utama yang lebih lebar dan kokoh, sehingga lalu lintas kendaraan proyek bisa lancar, tidak perlu berebut jalan seperti yang tampak sekarang.

Keempat, integrasi antar wilayah. Madura hanya terhubungkan secara intensif dengan dua daerah; Surabaya dan daerah Tapal Kuda (Probolinggo, Pasuruan, Bondowoso dan Situbondo). Berbeda dengan yang terhubungkan secara strategis dengan Pekanbaru, Tanjung Pinang, Bintan, Karimun, Singapura dan Malaysia.

Setidaknya, empat perbedaan di atas yang menyebabkan pembangunan di Madura tidak akan secepat dan sehebat di Batam. Belum lagi jika faktor kebijakan pemerintah dalam hal otoritas pengelolaan dan pengembangan Madura secara general. Madura terdiri atas empat kabupaten yang masing-masing memiliki perbedaan kultur hidup (walaupun tidak berbeda secara mencolok); kandungan sumber daya alam; serta kesiapan sumber daya manusia. Jika pemerintah pusat ingin memaksakan industrialisasi Madura, maka harus ada produk hukum yang menjamin otoritas koordinator dan akselerator industrialisasi tersebut. Dan otoritas tersebut harus selaras dan harmonis dengan empat pemerintah daerah setempat.

Industrialisasi tidak hanya harus dilakukan di empat daerah, tapi juga harus berdasarkan kemampuan empat daerah tersebut. Ada spesifikasinya masing-masing. Spesialisasi antar daerah harus dipetakan berdasarkan geografis, ketersediaan SDM dan SDA serta kultur masyarakat setempat.

Pembangunan industri di Madura belum dilakukan. Sebelum terlambat, tidak ada salahnya melakukan kajian yang mendalam atas potensi dan dampak yang akan terjadi. Dialog, diskusi dan kajian harus intensif dilaksanakan secara berseri dan massif. Masyarakat Madura harus dilibatkan secara aspiratif dan responsif. Jika tidak, maka industrialisasi Madura akan menjadikan Masyarakat Madura terpinggirkan.

Jakarta, 24 Juli 2009

Kamis, 23 Juli 2009

Semalam di Singapura (3); "ABC Hostel"

Tulisan Ketiga..

ABC Hostel

Hostel ini diperuntukkan bagi backpackers, yaitu mereka para pelancong yang tidak membawa banyak beban, kecuali hanya tas punggung atau tas kecil lainnya. Letaknya tidak jauh dari Masjid Sultan, dekat jalan Arab. Ukuran hostel ini tidak begitu besar. Sekitar 10m x 15m. Dari jalan raya yang sering dilewati bis umum sekitar 20m. Dekat sekali.

Saat saya mendaftar untuk menginap disana, jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari waktu Singapura. Saya memang sudah terlalu telat untuk ukuran orang menginap, karena beberapa jam sebelumnya saya gunakan untuk jalan-jalan di kota Singapura, termasuk belanja beberapa cinderamata. Harga sewa 1 tempat tidur adalah 21 SGD sehari semalam. Tapi karena saya hanya masuk jam 1 pagi dan akan keluar jam 6 pagi, maka biaya sewa hanya dikenakan 15 SGD atas saya.

Pelayannya sangat ramah. Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun. Dia langsung mengantarkan saya pada kamar yang dituju. Walaupun sebelumnya sudah menduga bahwa kamarnya tidak akan semewah kamar hotel, tapi saya sungguh terkejut juga ketika mendapati bahwa kamar yang akan saya tempati ternyata berbagi dengan banyak tamu lainnya. Kamar tersebut berisi 4 ranjang tingkat. Masing-masing ranjang tersebut diisi oleh 2 orang, di atas dan di bawah. Saya kebagian ranjang atas.

Lemari tempat kami taruh baju juga harus berbagi. Semacam loker bagi mahasiswa kampus. Terbuka dan tidak ada gembok. Tamu harus menyediakan gembok sendiri. Karena malam itu saya tidak membawa gembok, maka locker saya tidak terkunci. Tapi saya tidak khawatir karena di dalam tas yang saya bawa, tidak begitu banyak barang berharganya. Lagipula para backpackers ini, dalam pandangan saya, pasti punya etika untuk saling menjaga nama baik diri dan nama baik hostel ini.

Setelah saya meletakkan tas, penjaga hostel memperlihatkan pada saya kamar mandi dan dapur tempat untuk kami mandi dan makan esok pagi. Kamar mandi ini juga untuk dipakai bersama. "Jadi, untuk menghindari antrean mandi, maka Bapak saya sarankan mandi pagi-pagi sekali.", begitu kata petugas itu dalam bahasa inggris dengan aksen khas Singapura. Kamar mandi itu sangat kecil. Hanya ukuran 2m x 2m mungkin. Tidak ada bak mandi. Hanya pancuran dan toilet. Lalu kami menuju dapur. Di sana terdapat meja tempat roti, gula, mentega dan selai. Di meja yang menempel pada tembok ada dua jar untuk kopi dan teh. Di sampingnya ada mesin cuci bagi yang ingin mencuci. Semua harga dan peraturan tertulis disitu. Artinya tidak ada petugas yang melayani. Para tamu hanya diminta melaporkan apa saja jasa yang digunakan selama di hostel.

Di beranda depan, ada layanan internet gratis 24 jam bagi tamu. Saya masih harus menunggu sekitar 30 menit untuk mendapat giliran main internet. Saya pergunakan waktu internetan untuk mengirim email ke teman di Jakarta. Saya membuat laporan perjalanan atas kerja saya selama di Bengkulu, Jambi, Pekanbaru dan Batam pada hari-hari sebelumnya. Saya menggunakan internet sekitar pukul 3 dini hari.

Pukul 4 dini hari saya pergi mandi. Memang terlalu dini untuk ukuran normal. Tapi tidak apa-apa karena saya memang berencana untuk pulang pukul 5 dari hostel. Saya akan ikut ferry ke Batam pukul 7 pagi. Dan saya harus sampai di Haborfront pukul 6.30.

Pukul 5.15 saya keluar hostel. Pukul 5. 45 saya mendapatkan bis yang saya tunggu. Ongkosnya kalau tidak salah 1 dollar 40 sen, itu sekitar Rp 8.000,-. Pukul 6.15 saya sampai di harborfront. Lalu menunggu sekitar 10 menit. Masuk. Diperiksa di bagian imigrasi. Lalu menunggu ferry dibuka. Pas waktu yang ditentukan ferry dibuka, penumpang dipersilahkan masuk. Dan ferry pun mulai meninggalkan pelabuhan Singapura. Di dalam ferry tersebut saya lihat banyak sekali bule, india dan china. Jarang sekali yang orang melayu. Saya menikmati perjalanan kembali ke Batam dengan sangat mengantuk karena belum tidur semalaman. Good bye Singapura..

Jakarta, 24 Juli 2009

Jumat, 17 Juli 2009

Semalam di Singapura (2): "Little India"


Tulisan Kedua..

"Little India"

Kawasan ini disebut sebagai India Kecil karena memang disinilah banyak tinggal orang-orang keturunan India. Mereka tinggal dan lalu lalang di kawasan ini. Pusat perbelanjaan dan restoran di sana menawarkan produk-produk sebagaimana dijual di India. Satu pusat perbelanjaan yang terkenal adalah MUSTAFA CENTER. Ini adalah sebuah supermarket amat besar. Semua kebutuhan sehari-hari ada di sana. Mulai dari pakaian, makanan, perhiasan, cinderamata dan sebagainya. Sebagaimana namanya, supermarket ini dimiliki oleh orang India. Lucunya, banyak juga karyawannya yang berasal dari etnis cina. Mereka bahkan menjadi tukang sapu dan cleaning service-sebuah pemandangan yang aneh di Indonesia.

Itulah Singapura dengan segala keunikannya. Negara ini tidak demokratis karena pemerintahannya otoriter. Tapi kehidupan di sana sangatlah demokratis. Tidak ada yang bertengkar sampai anarkis. Paling banter mereka hanya adu mulut. Malam itu saya lihat dengan mata kepala sendiri seorang perempuan marah-marah pada pasangannya, sampai bentak-bentak. Tapi si laki-laki tidak kuasa melakukan apapun kecuali hanya membentak juga. Kalau di Indonesia, mungkin sudah terjadi insiden pemukulan.

Saya makan malam di sebuah restoran vegetarian India. Ketika melihat menu makanan, saya sangat tergiur dengan warna dan aromanya. Ketika makanan datang, saya mencicipi, dan.. alamaaak.. rasanya benar-benar aneh. Dalam bayangan saya, Kare India tidak jauh beda dengan Kare di Aceh, tapi ternyata saya salah. Alhasil, saya hanya memakannya 40%. Sisanya saya tidak mampu. Satu hal yang saya ingat dari promosi restoran tersebut adalah kalimat berikut (setelah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi begini):
"Sayur-sayuran: rahasia kekuatan gajah, rahasia ketangguhan kuda, ....". Satu kalimat lagi saya lupa. Hal menarik lainnya adalah, banyak juga pengunjung dari etnis cina yang turut belanja makanan di restoran ini.

Berjalan di Little India memang serasa berada di New Delhi atau Mumbay. Perempuan yang berjalan di kawasan ini banyak pakai Sari. Laki-lakinya lebih memilih pakaian formal dinas. Mereka tetap seperti orang india kebanyakan, kulit hitam kumis tebal dan tubuh tinggi. Lalu lintasnya juga sedikit macet. Banyak mobil di parkir di pinggir toko, sehingga pejalan kaki harus rela berdesakan dengan kendaraan yang lalu lalang. Tapi seperti saya bilang, indahnya Singapura adalah, tidak ada kegaduhan, mereka semua damai. Jarang bertengkar.

Di Mustafa Center saya membeli cinderamata kaos oblong (T-shirt) dan gantungan kunci dari bahan karet. Harganya cukup mahal, tapi untuk ukuran Singapura mungkin murah. Beberapa barang yang terbilang murah di Mustafa Center adalah parfum import dan jam tangan. Ketika saya hitung dalam rupiah, ternyata memang sangat murah. Jam tangan merek Jepang di sana seharga 300 ribu-an, sedangkan di Indonesia mungkin mencapai 400ribu sampai 500ribu. Sedangkan untuk parfum, saya tidak tahu persis murahnya berapa. Tapi dari antusiasme pengunjung (yang rata-rata berasal dari Indonesia) memburu parfum tersebut, bisa disimpulkan bahwa harganya murah. Kesimpulan ini juga dilengkapi dengan informasi dari teman saya baik yang di Jakarta maupun yang asli Singapura.

Jakarta, 17 Juli 2009

Bersambung ke Tulisan Ketiga..

Rabu, 15 Juli 2009

Semalam di Singapura (1): "Harborfront"


Tulisan Pertama..

"Harborfront"

Rabu malam, 1 Juli 2009, pukul 18.40 WIB, saya berangkat dari dermaga Batam Center di Batam menuju Dermaga Harborfront di Singapura. Fery yang saya naiki adalah BATAMFAST, dengan harga tiket 30 SGD (Dollar Singapura) atau sekitar Rp 210.000,-. Waktu tempuh adalah 1 jam perjalanan. Alhasil, saya merapat di pelabuhan laut satu-satunya di Singapura tersebut pukul 19.40 WIB atau pukul 20.40 waktu Singapura (antara WIB dengan waktu Singapura selisih 1 jam).

Feru tersebut berjalan sangat cepat. Sayang sekali saya tidak bisa memperkirakan berapa kecepatannya, baik dalam km/jam maupun dalam knot. Ombak di selat Singapura tidak begitu besar. Angin yang bertiup cukup dingin. Penumpang yang bersama saya di dek kapal sekitar 10 orang. Sedangkan yang berada di dalam kapal (lantai dasar) saya tidak bisa memperkirakan. Rata-rata adalah orang cina.

Ketika membeli tiket fery dan menukar uang rupiah ke SGD, saya dan teman yang mengantar saya tergelitik, karena kami baru tahu sistem kerja dan keadaan di pelabuhan Batam Center ini. Transaksi di sana sudah menggunakan SGD. "Padahal ini masih di tanah Indonesia, ya?" kata teman saya, Abdus Sukur. "Ya, begitulah. Banyak dari penduduk Batam yang belum ke Singapura, padahal jaraknya cuma 1 jam perjalanan", tambah Irfan, teman saya lainnya.

Satu-satunya kendala bagi mereka adalah Passport dan kartu NPWP. Sesampai di Jakarta baru saya tahu bahwa untuk penduduk provinsi Jambi, Bengkulu, Riau dan Kepulauan Riau mereka boleh ke Singapura tanpa passport. Hanya saja mereka akan dikenakan biaya lagi jika mereka tidak memiliki NPWP.

Saya di Singapura hanya satu malam. Sesampai di Harborfront, saya langsung diperiksa oleh petugas imigrasi pelabuhan. Mereka meminta saya untuk menuliskan alamat yang akan saya kunjungi di Singapura. Saya tidak tahu karena memang kedatangan saya ke Singapura hanya untuk jalan-jalan satu malam, dan itupun saya akan dijemput oleh teman saya di pelabuhan. Saya jelaskan dengan sedemikian rupa, sampai akhirnya petugas mengijinkan saya lewat dengan syarat saya menuliskan nomor telepon teman saya tersebut.

Saya sungguh tercengang dengan Singapura sejak pertama kali menginjakkan kaki di Harborfront. Bersih, rapi, sibuk, modern dan padat. Ada tiga etnis yang sering saya jumpai di Singapura, dan itu memang penduduk Singapura, yaitu cina, melayu dan India. Mereka hidup rukun dan damai.

Harborfront tidak seperti pelabuhan biasanya. Tempat ini sekaligus menjadi shopping center dan tempat makan-makan. Banyak saya lihat para remaja dan orang tua yang duduk-duduk di restoran dan outlet makanan di sana. Mereka menikmati malam sambil bicara bisnis, keluarga dan kehidupan.

Saya lalu menaiki MRT (mass rapid transportation) dari Harborfront ke Clarke Quay. Harga tiket MRT saya lupa, tapi sistemnya sama saja seperti di Taipei, Taiwan. Dan memang, kata Tareq, teman saya dari Kuwait, sistem MRT dimana-mana sama saja. Di dalam MRT sungguh nyaman dan aman. Penumpang berdiri dan duduk saling hormat. Mereka disibukkan dengan mendengarkan musik di mp3 nya. Hanya beberapa saja yang sibuk bicara dengan rekan seperjalanannya, seperti saya.

Jakarta, 15 Juli 2009

Bersambung ke Tulisan Kedua tentang "Semalam di Singapura"