Sabtu, 06 November 2010

A Tribute to Mbah Maridjan

A Tribute to Mbah Maridjan


Kamis pagi, 28 Oktober 2010, Jalan Teknika yang membelah Kampus UGM bagian utara ramai tak seperti biasa. Puluhan orang berdiri dan duduk di atas motor yang di parkirnya di pinggir jalan. Polisi berjaga di tiap persimpangan. Bendera putih kecil bergambar palang hitam terlihat di tangan beberapa orang yang menunggu. Kerumunan bermula dari arah selatan. Dari RS Sardjito.

“Mbah Maridjan selesai diotopsi dan akan dikebumikan.” Kata seorang petugas keamanan kampus UGM.


Tepat pukul 9.45 WIB tiga sirine meraung-raung keluar dari rumahsakit. Di barisan paling depan adalah sepedamotor polisi sebagai fore-rider. Menyusul di belakangnya mobil sedan polisi, dua ambulans, mobil jenazah, ambulans, mobil sedan pejabat kampus UGM dan terakhir sepedamotor polisi lagi sebagai back-rider. Lalu satu persatu puluhan motor warga mengekor.


Konvoi melewati Jalan Teknika yang tidak begitu lebar. Di sisi kiri jalan tampak puluhan mahasiswa, dosen, karyawan dan satpam berbaris sepanjang pagar. Sebagian besar dari mereka mengarahkan kamera HP nya ke mobil janazah berwarna abu-abu gelap itu.


Memasuki Jalan Kaliurang, di kanan kiri jalan semakin banyak ‘pelayat’ berdiri ingin mengantar perjalanan terakhir sang penjaga Gunung Merapi. Pria, wanita, anak-anak dan orang dewasa berdiri memagar. Kendaraan di jalan berhenti memberi ‘hormat’, pejalan kaki mematung sampai rombongan janazah berlalu. Penjaga toko, pembeli, pedagang kaki lima, pemilik warung, pemulung, penambal ban, penjual bensin eceran, dan sebagian besar orang di Jalan Kaliurang 'mengantar' Mbah Marijan dengan tatap mata kaku, sayu dan sembap.


Pagi itu, sepanjang Jalan Kaliurang, selama beberapa detik tak ada suara manusia. Hanya sirine, megaphone, klakson dan knalpot meramaikan keadaan. Motor wartawan melaju dan melambat, ke depan, samping kiri dan belakang mobil janazah. Mengambil gambar terbaik. 'Ekor' konvoi memanjang. Motor di kiri jalan bergabung dalam iringan menuju arah pemakaman.


Di Jalan Kaliurang km7 seorang ibu di kanan jalan menaburkan bunga ke mobil janazah. Kelopak-kelopak mawar merah, putih dan merah muda berhamburan diterbangkan angin. Di km8 rombongan lalu melambat. Lalu lintas di pertigaan padat. Megaphone polisi di depan memberi instruksi agar pemakai jalan ‘mengalah’.


Bunga kembali bertaburan ke mobil jenazah di km9. Kali ini dari kiri jalan. Mbah Maridjan mendapat penghormatan tertingginya dari warga. Seorang dengan kaos lengan panjang warna hitam bertulis "Paksi Katon Yogyakarta" setia di samping mobil janazah. Dia adalah Slamet, pria paruh baya, mengenakan udeng, sebagai wakil dari Keraton Ngayogyohadiningrat. Bersama 5 paksi (pengawal) lainnya, dia ditugasi untuk mengantar si Mbah ke liang lahat.


Menurut info dari Slamet, Mbah Maridjan bertemu Sinuhun (Sultan Hamengkubuwono X) terakhir kali pada Syawalan lalu. Pertengahan Oktober 2010.


Rombongan berbelok ke kiri di Km11. Memasuki kompleks kampus UII. Janazah Mbah Maridjan akan disembahyangkan di sini. Di kampus dimana putranya, Pak Asih, bekerja sebagai staf administrasi di Fakultas MIPA.


Di aula auditorium Kahar Muzakkir itu, satu lantai di bawah Masjid Ulul Albab, janazah Mbah Maridjan, bersama dua janazah lainnya, didoakan oleh kurang lebih 150-an muslim laki-laki dan 50-an muslimah perempuan. Solat dipimpin oleh Mantan Pembantu Rektor UII, Mufti Abu Yazid. Sebelum solat janazah dimulai, sang imam memberi pengantar tentang bagaimana Mbah Maridjan berjuang dan mengabdi selama hidupnya. Juga disebutkan bahwa keluarga besar Mbah Maridjan adalah keluarga dekat dan 'orang dalam' UII. Selain Pak Asih, dua orang keponakan mendiang bintang iklan Kukubima tersebut juga bekerja di UII.


Solat selesai pukul 10.25 WIB. Rektor UII, Prof Edy Suandi Hamid memberikan ceramah. Jamaah diminta bersaksi atas kebaikan para janazah. Semua mengamini. Ceramah yang menutup prosesi solat janazah itu diakhiri dengan doa. Dengan pelan dan khidmat, Rektor bermunajat:

“Ya Allah, sebagaimana hadits Rasul-Mu Muhammad SAW, bahwa orang yang wafat karena api (hawa panas, red) adalah syuhada. Maka terimalah Mbah Maridjan dan 30-an para korban merapi sebagai jiwa yang syahid.”. Kalimat "Amiin" menggaung serempak dengan nada rendah di auditorium yang tinggi itu.


Tiga peti berbungkus kain linen putih itu lalu dibawa kembali ke mobil janazah. Kiyai, pendeta dan biksu mengawal di depan.

“Mbah Maridjan diantar para pemuka lintas agama”. Kata seorang karyawan kampus UII di belakang saya.


Sirine kembali meraung. Memecah sunyi kampus UII. Pukul 10.35 WIB. Menuju Srunen, Glagah Harjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Tempat Mbah Marijan akan dikebumikan. Tepat berdampingan dengan Mbah (kakek) nya, sang penjaga merapi yang telah digantikannya sejak 28 tahun lalu.


Perjalanan dari UII ke Dusun Srunen ditempuh sekitar 1 jam. Menjelang Srunen, banyak tenda didirikan, baik untuk pengungsi maupun sukarelawan. Tak terhitung spanduk iklan produk, LSM, badan pemerintahan maupun partai polltik. Semua ambil bagian dalam musibah merapi ini.


Di kampung yang tinggi itu, jumlah pelayat membludak. Dari rombongan janazah, warga lokal, tamu dari Jakarta, petugas keamanan dan sebagainya. Ribuan. Dimana-mana tampak pengamanan. Polisi, Pam Swakarsa, hingga Banser NU.


Bagi Pak Tulus, 50 tahun-an, "Pak De Maridjan adalah panutan, yang selalu memberi contoh baik bagaimana mengabdi dan setia pada amanah". Pak Tulus menikah dengan perempuan asli Srunen. Sejak itu beliau kenal Mbah Maridjan.


Ahmadi, pria muda 26 tahun, petugas keamanan dari Banser NU dari kampung lain ditugaskan khusus di pemakaman siang itu. Di tengah panas dan sesak bau hawa vulkanik, dia tetap semangat mengatur parkir kendaraan. Dia hanya tahu sedikit tentang Mbah Maridjan. Ini dilakukannya demi penghormatannya pada sosok yang dikaguminya itu.


"Beliau adalah dewan syuriah NU Yogyakarta, Mas."
"Jika ditanya tentang agamanya, Mbah Maridjan bilang, agamanya ya, NU itu."


Janazah dikebumikan sesaat setelah adzan dzuhur dikumandangkan.


Mbah Maridjan menerima tugas sebagai jurukunci gunung merapi tanpa liputan media. Sebagai orang yang bukan siapa-siapa.
Beliau mengakhiri tugasnya dengan diliput berbagai media,cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri. Sebagai orang yang setia pada jabatan, walau harus berkorban nyawa.




Jogjakarta, 5 November 2010
Akhmad Jayadi