Selasa, 04 Mei 2010

Menggagas Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi

Menggagas Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi

oleh: Akhmad Jayadi, SE


Kontribusi perguruan tinggi (diploma, akademi dan universitas) pada penciptaan pengagguran terbuka cukup signifikan. Tahun 2008 pengagguran dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi mencapai 6.936.417 jiwa atau sekitar 7 persen dari total pengangguran (BPS 2010). Ketika ditelusuri lebih dalam, salah satu sebabnya adalah kurang mendukungnya kurikulum dan kultur pendidikan di perguruan tinggi itu sendiri. Perguruan tinggi kurang memberikan ruang belajar bagi mahasiswa untuk praktik bekerja dan menciptakan pekerjaan.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan mahasiswa menciptakan pekerjaan pasca kelulusannya dari perguruan tinggi, maka pendidikan keahlian dan kewirausahaan harus diberikan sejak mahasiswa menempuh pendidikan tingkat pertamanya. Hal ini merupakan tuntutan bagi perguruan tinggi sebagai mesin atau gudang pencipta tenaga siap kerja. Selama ini, banyak perguruan tinggi hanya berkonsentrasi pada pembekalan ilmu saja dan kurang menaruh perhatian pada pembekalan keahlian. Perguruan tinggi umumnya hanya menciptakan sarjana dan diploma yang siap mencari kerja, dan bukan siap bekerja atau menciptakan pekerjaan.

Kurangnya kuliah praktik dalam kurikulum membuat mahasiswa ’gagap’ ketika berhadapan dengan masyarakat. Begitu juga ketika lulus sebagai sarjanapun mereka ‘shock’ menghadapi dunia kerja yang menuntut mereka untuk memiliki keahlian tertentu. Jarak antara tuntutan dunia kerja dan kondisi riil sarjana itulah yang harus dipersempit oleh perguruan tinggi dengan kurikulum yang dapat memberikan mereka bekal menghadapi dunia kerja.


Perubahan Paradigma

Indonesia termasuk tertinggal dalam penerapan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulum perguruan tinggi. Kita baru menerapkannya pada tahun 1990-an, sedangkan Amerika Serikat sejak 1980-an telah memasukkan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulum ratusan perguruan tingginya. Hasilnya tentu dapat kita lihat hari ini dimana Amerika Serikat mampu mencetak ratusan wirausahawan muda dan unggul berkelas dunia.

Kampus perlu mengadakan perubahan paradigma bagi lulusannya. Mental mahasiswa harus 'dicerahkan' dengan paradigma wirausaha. Mental pegawai (karyawan) yang selama ini mendominasi pola pikir mahasiswa harus pelan-pelan diubah dengan kurikulum pendidikan kewirausahaan ini.

Mengubah mindset (pola pikir) ini memang bukan pekerjaan mudah dan cepat. Butuh waktu 5-10 tahun atau satu generasi untuk dapat merasakan hasilnya. Pola pikir kita yang selama ini masih ingin bekerja sebagai karyawan (dan bukan merekrut karyawan) adalah karena kita dididik dalam sistem pendidikan yang ingin mencetak karyawan. Pola pikir kita adalah warisan masa lalu, dan bila kita tetap tidak melakukan perubahan pada masa kini, maka pola pikir generasi mendatang akan tetap sama, bahkan bukan tidak mungkin akan lebih buruk dari pola pikir generasi sekarang.

Kewirausahaan yang Realistis

Pakar kewirausahaan Peter F. Drucker mengartikan kewirausahaan sebagai kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Dalam pengertian ini, kewirausahaan terkait erat dengan kemampuan kreasi dan inovasi. Kemampuan wirausahawan adalah menciptakan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.

Tujuan diajarkannya kewirausahaan adalah menanamkan semangat kreativitas dan jiwa inovasi dalam diri mahasiswa. Sarjana tidak boleh hanya menunggu kerja, tapi menciptakan kerja. Pendidikan kewirausahaan yang diberikan juga haruslah pendidikan yang memberikan impian dan semangat kewirausaan yang realistis. Tidak terlalu muluk-muluk yang jauh dari jangkauan daya pikir dan daya aksi mahasiswa.

Kegagalan pendidikan kewirausahaan beberapa perguruan tinggi adalah pada aspek keterjangkauannya. Jika kewirausahaan hanya diberikan dalam bentuk konsep, maka yang didapat mahasiswa adalah pemahaman pada makna, tujuan dan definisi wirausaha itu semata. Pendidikan kewirausahaan seharusnya dihadirkan dalam bentuknya yang paling sederhana sehingga mudah dipahami, diikuti dan dipraktikkan oleh mahasiswa.

Kewirausahaan bukan konsep melangit. Ia haruslah berpijak pada ruang dan waktu mahasiswa. Menghadirkan wirausahawan yang ada di sekitar mahasiswa memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempelajari secara detail tentang latar belakang, tujuan, manfaat dan cara bekerja wirausahawan tersebut.

Inti dari pendidikan kewirausahaan adalah penularan semangat dan pembagian pengalaman. Akan sangat mudah dipahami dan diserap jika usaha yang diulas adalah usaha yang ada di sekitar lingkungan mahasiswa yang usahanya realistis dan masih dalam jangkauan mahasiswa untuk ditiru dan dikembangkan.

Sejak awal mahasiswa harus disadarkan bahwa kewirausahaan bukan persoalan seberapa besar skala usaha, tetapi pada kemampuan manajerial usaha itu sendiri. Semakin besar skala usaha, semakin sulit manajerial usaha tersebut. Dengan memberi motivasi yang benar bahwa wirasusaha yang baik adalah yang mampu mengelola usaha dengan baik, maka diharapkan akan lahir wirausahawan muda yang memulai usaha seberapapun kecilnya usaha tersebut.

Kuliah Tamu dan Kunjungan Studi

Motivasi dan dorongan semangat berwirausaha tidak dapat kita laksanakan dalam bentuk teori dan kegiatan kelas saja. Butuh praktik nyata sehingga mahasiswa bisa merasakan langsung spirit enterpreneurship dari sang pengusaha. Ada dua cara efektif untuk mentransfer semangat wirausaha pada mahasiswa: yaitu menghadirkan wirausahawan ke dalam kelas (kuliah tamu) atau kunjungan mahasiswa ke tempat usaha (kunjungan studi). Kedua cara ini menawarkan konsep berbeda daripada model perkuliahan teori wirausaha oleh pengajar. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan metode kuliah tamu adalah lebih praktis karena selain berbiaya rendah, juga mengeliminir kemungkinan adanya bias tujuan awal kelas wirausaha. Menghadirkan wirausahawan ke dalam kelas memberikan kesempatan luas kepada wirausahawan tersebut untuk menjelaskan dengan rinci tentang jenis usahanya. Dengan tetap dalam bimbingan dosen kewirausahaan, kuliah tamu akan memberikan fleksibilitas pada wirausahawan untuk hadir dalam kesibukan waktunya dalam membagi pengalaman dengan mahasiswa.

Metode kunjungan studi memiliki kelebihan dari sisi visualisasi dan pemahaman secara inderawi, sehingga mahasiswa dapat langsung observasi pada profil dan praktik usaha. Walaupun metode ini mampu memberikan contoh langsung pada mahasiswa tentang usaha, tapi tidak jarang juga membawa ekses yang kurang produktif, misalnya mahasiswa justru lebih menikmati unsur ‘jalan-jalan’-nya daripada menyerap semangat dan praktik wirausaha itu sendiri.

Terlepas dari kelemahannya masing-masing, kedua metode di atas akan memberikan banyak gambaran nyata bagi mahasiswa akan kelebihan dan keuntungan menjadi pengusaha.

Think Locally, Act Locally, Do in Global Way

Indonesia adalah negara kaya sumberdaya alam. Selama ini pengelolaan SDA strategis kita lebih banyak diserahkan pada asing, seperti minyak dan gas alam, pertambangan, perkebunan dan kelautan. Kalaupun sektor strategis tersebut dikelola pemerintah, maka hasilnya sangat jauh dari memuaskan. BUMN pengelola SDA strategis jarang sekali mampu bekerja efektif dan efisien.

Pengelolaan kekayaan SDA ini perlu diserahkan kepada wirausahawan Indonesia yang peduli masa depan bangsa. Dalam bentuknya yang paling mikro adalah pengelolaan kekayaan daerah (kabupaten/kecamatan/desa) oleh anak bangsa sendiri.

Konsep berpikir lokal, bertindak lokal, berbuat dengan cara global (Think Locally, Act Locally, Do in Global Way) adalah salah satu pendekatan yang bisa ditawarkan pada mahasiswa. Hal ini sejalan dengan Tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. Tantangan lokal (daerah) bisa dihadapi dengan memberikan tugas kongkret dan aplikatif pada mahasiswa dalam bidang kewirausahaan. Mahasiswa diminta mencari solusi vitalisasi potensi SDA lokal dalam berbagai bentuk proposal usaha.

Berpikir lokal artinya adalah memetakan dan menganalisa segala potensi SDA yang di sekitar mahasiswa kemudian merancangnya dalam bentuk rencana usaha. Bertindak lokal artinya mengolah SDA tersebut di lingkungan sekitar untuk kemaslahatan masyarakat sekitar. Cara global artinya menerapkan manajemen dan cara-cara pengelolaan modern untuk memperoleh hasil efisien dan optimal.

Kerjasama dengan Pihak Terkait

Pada akhirnya semua gagasan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi ini harus disinergikan dengan program kerja dan rencana pihak terkait yang selama ini memang turut menjadi stakeholders dan ikut bertanggungjawab terhadap persoalan pendidikan, ketenagakerjaan, produksi dan kemiskinan.

Pihak pertama tentunya adalah perguruan tinggi itu sendiri. Lembaga struktural seperti fakultas dan universitas harus memberikan dukungannya dalam bentuk kurikulum dan anggaran. Lembaga fungsional seperti LPM (lembaga pengabdian masyarakat) juga harus turut membantu dalam bentuk fasilitasi setiap rencana mahasiswa terkait dengan masyarakat, baik sebagai objek studi maupun subjek pendamping mahasiswa dalam rencana wirausahanya.

Pemerintah sebagai pihak kedua, khususnya dinas pendidikan, dinas koperasi dan UKM, dinas tenaga kerja, dinas pariwisata dan budaya harus secara aktif turut mempromosikan dan mendukung gagasan ini. Bantuan yang dapat diberikan antara lain fasilitas pendidikan seperti data base wirausaha daerah untuk program kuliah tamu dan kunjungan studi. Bantuan lainnya adalah apresiasi atas proposal wirausaha mahasiswa berupa bantuan anggaran dan promosi produk.

Pihak ketiga seperti perbankan, asuransi, perusahaan daerah (swasta maupun negeri) maupun masyarakat harus pula menyambut baik gagasan pengembangan budaya wirausaha kampus ini. Muara dari setiap usaha mahasiswa ini adalah juga pihak ketiga ini sebagai mitra dan user. Bantuan seperti permodalan, pembinaan, fasilitasi dan apresiasi adalah mutlak diperlukan guna memberikan semangat bagi mahasiswa yang sedang mengkonsep usaha.

Bisa jadi konsep usaha yang ditawarkan mahasiswa masih jauh dari kenyataan, namun jika hal ini semakin diperparah dengan minimnya apresiasi dari ketiga pihak di atas, maka mimpi Indonesia untuk menjadi negera yang mandiri dalam mengelola SDA, mimpi berdaulat di tanah air sendiri, mimpi mengurangi jumlah pengagguran dan kemiskinan akan tetap sekadar menjadi mimpi. Selamat datang wirausahawan muda kampus!

Jogjakarta, 2 Mei 2010