Kamis, 17 Oktober 2013

AIR MATA UNTUK IBU

Aku pernah menangis dalam solat, menangis ketika rindu rasulullah, atau menangis karena ingat dosa. Tapi jujur, aku paling sering menangis karena ibu. Entah karena rindu, minta maaf, memberi kabar gembira, berpamitan, mohon doa restu, atau lainnya. Saat lulus UMPTN dulu aku memberitahunya dengan memeluknya dari belakang, dan tiba-tiba saja aku menangis. Ketika belum bisa lulus kuliah, aku bersimpuh di kakinya, dan aku tidak kuasa menahan airmata. Saat hendak berangkat akad nikah, aku mohon restu, dan rasanya badan ini mau pingsan karena tak kuat menahan haru dan sedih. Beberapa hari yang lalu, tengah malam, entah mengapa aku ingat ibuku. Lalu bayangan yang terlintas saat itu adalah detik-detik ketika aku akan meninggalkan rumah ketika hendak menikah. Setiap membayangkan adegan itu, aku pasti menangis. * Dalam hidupku aku menyaksikan adegan itu (lebih tepatnya disebut ritual) tiga kali, dan aku mengalaminya sendiri satu kali. Pertama kali ketika kakak perempuanku hendak menikah (1997). Kali kedua saat kakak sepupuku menikah (1999). Ketiga kalinya ketika adik sepupuku hendak bekerja ke Jakarta (2002). Kali terakhir ketika aku sendiri akan berumahtangga (2009). Semuanya membuat airmata berurai. Aku tidak tahu sejak kapan ritual ini ditradisikan di keluargaku. Kalau dikaji secara syariah, memang tidak ada perintah, alias bid’ah. Namun secara adat dan adab bahkan logika, tak ada yang dilanggar. Ini sungguh contoh tradisi yang baik, adab yang etis dan perilaku yang masuk nalar. Ritual itu adalah merangkak di antara dua kaki ibu, atau lebih gamblangnya, merangkak di bawah (maaf) selangkangan ibu. Tiga kali, memutar ke arah kiri. Aku tidak menanyakan pada ayah apa maksudnya, karena aku sudah dewasa, sudah faham. Aku juga tidak bertanya kenapa harus tiga kali, dan balik kiri. Bagiku itu adalah perkara teknis dan bukan substantif. Pagi itu 15 April 2009 sekitar pukul 7 pagi, waktu dhuha sudah dimulai, aku dituntun oleh ayah ke kamar mereka (kamar ayah ibu), kamar dimana aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku. Kamar tempat aku dan kakak perempuanku sering bermain dulu. Kamar dimana aku sering diminta ngerokin, mijit dan injit-injit orangtuaku. Ibu berdiri menghadap ke utara. Setelah aku berdiri di hadapan ibu, ayah memintaku menunduk, posisi merangkak. Aku ingat di kamar itu hanya ada kami berlima. Di belakangku berdiri kakak perempuanku dan kakak sepupuku yang sudah tinggal di rumah kami sejak dia masih kelas 3 SD. Aku dengar mereka sudah sesenggukan. Aku sendiri masih bisa mengontrol emosiku. Ayah lalu menyuruh ibu merenggangkan kedua kakinya, dan mengangkat “samper” nya, hingga memungkinkan aku untuk merangkak melewati kedua kakinya. Tepat ketika kepalaku mulai melewati kedua kaki ibu, aku sudah tidak tahan. Mataku sembab, basah dan perih. Aku menutup mata. Hidungku tersumbat namun ingus menetes. Mulutku tiba-tiba menangis. Tak ada lagi suara sesenggukan yang ku dengar. Aku hanya mendengar suaraku tangisku sendiri. Aku tahu ibuku juga menangis. Di kamar itu hanya ayahku yang tidak menangis, walau aku tahu itu karena ayah kuat-kuatkan, karena ayahlah yang terus member intruksi dan membimbing rangkakku melewati kedua kaki ibu. Aku putar ke kiri, terus merangkak lagi dari arah depan ibu, melewati kedua kakinya untuk kedua kali. Waktu yang dibutuhkan untuk merangkak tiga kali itu mungkin hanya 1-2 menit, tapi seperti berlangsung berhari-hari. Di beberapa detik itu terbayang semua episode masa kanan-kanak dan masa mudaku, dimana aku sering membuat ibu marah, jengkel, bahkan mungkin menangis. Aku ingat waktu SD aku minta dibeliin mainan, dan ibu dengan segala tenaga harus menghemat kebutuhan rumah tangga. Aku ingat waktu SMP sering minta dibeliin sepedamotor, dan ibu dengan susah payah membelikannya ketika aku sudah kelas 2 SMA. Aku ingat hampir setiap jam 9 malam ketika kelas 1 SMA aku harus dijemput ibu atau ayah dari rumah temanku, karena aku berkumpul untuk ngobrol, main kartu atau dengerin lagu. Aku ingat ibuku memarahiku ketika dia tahu waktu SMA aku saling berkirim surat dengan gadis desa sebelah. Aku ingat ibuku marah-marah karena aku menghabiskan uang tabunganku hanya untuk beli kaset tape-recorder atau baju-celana. Aku ingat tahun 1999 ke Bali berdua dengan teman karibku tanpa restu karena kami hanya pamit mau ke Muncar saja. Aku ingat ketika kelas 6 MI, tiap subuh ibu mengantarku ke madrasah, walau di jalan aku ngomel-ngomel karena tak kuat kantuk. Aku ingat semuanya hanya dalam 3 putaran merangkak itu. Setelah sudah tak terhitung lagi berapa kali hidung menetes dan berapa banyak airmata jatuh, tiba saatnya untuk berdiri, pamit pada ibu, yang telah membesarkanku selama 28 tahun ini dan harus pindah ke rumah orang baru, gadis baru, “orang tua” baru. Ayah bilang, “cium tangan ibumu”. Aku langsung mencium kedua tangan ibu. “Peluk”, aku peluk ibuku, aku cium pipinya kanan kiri. Lalu perintah ayah “Sudah, balik kanan dan jangan menoleh kembali ke belakang sampai akad nikahmu selesai.” Tangisku meledak, aku dengar ibu juga begitu. Dua kakakku menangkapku dari depan. Mereka memelukku bergantian. Mereka semua menangis tak karuan, mereka menciumku. Ingin rasanya aku menoleh pada wajah ibu waktu itu, tapi aku ingat pesan ayah. Langkah kakiku terasa berat dan berbunyi keras. Lambat sekali seperti slow motion dalam film. Pikiranku sudah tidak tahu kemana. Yang aku ingat hanyalah setiap kali kutemui orang di depanku, mereka memelukku. Aku melangkah ke mobil paling depan, mobil pengantin. Ibu dan ayahku akan naik mobil lainnya, aku masih menangis. Paman dan kakakku memintaku berhenti. Lalu ayah bilang kembali “Ucapkan salam perpisahan pada rumah ini dan semua penghuninya”. Aku lupa apakah waktu itu kalimat salam itu terpenggal ataukah lancar kuucapkan. Yang aku ingat aku melambaikan tangan pada nenekku yang waktu itu tidak bisa ikut nikahan karena sejak 3 tahun sebelumnya tidak bisa jalan karena patah tulang. Mobil rombonganpun berjalan. Dan hingga akad nikah selesai, aku memang tidak menoleh ke belakang. Akad nikah lancar. Lalu aku menemui mempelai perempuan dan semua keluarganya. Lalu wajah-wajah itu muncul kembali. Ibu, ayah, dua kakakku. Kali ini dengan senyum dan tatapan mata haru bahagia. Kami berfoto bersama. * Ketika aku dan dua kakakku merangkak, tak ada kalimat yang ibu ucapkan. Tapi aku tahu bahwa sebenarnya ada kalimat yang harusnya diucapkan. Itu soal metode saja. Aku tahu apa isi kalimat itu ketika adik sepupuku hendak merantau ke Jakarta tahun 2002. Setelah selesai merangkak tiga kali, adik sepupuku meminta ibunya (kebetulan adik sepupuku yatim, jadi dia sendiri yang menggantikan posisi ayahnya untuk memberi intruksi ritual) agar mengucapkan kalimat yang berbunyi kurang lebih sebagai berikut. “Nak, kamu adalah darah dagingku. Aku sudah ridho atasmu. Maka tak akan ada yang bakal melukai tubuhmu, kecuali aku. Dan tak akan ada yang bisa mengancam keselamatanmu, kecuali aku.” Kalimat itu tidak diucapkan ibu, dan tidak diperintahkan ayah. Mungkin memang tidak perlu, atau ayah tidak tahu. Tapi esensi dari pamitan dengan merangkak adalah sama dengan kalimat itu. Jikapun ibu mengucapkan kalimat itu, aku yakin kalimat itu akan sangat lama untuk diselesaikannya karena goncangan jiwa kami pagi itu. Aku telah meminta restu serestu-restunya pada ibu. Dan ibu telah memberi restunya padaku. Maka tak ada yang perlu aku takutkan di dunia ini karena aku melangkah dengan ridho dari ibu. Pamekasan, 12 Oktober 2013

FROM HERO TO ZERO

FROM HERO TO ZERO Tahun 2002-2004 saya tinggal di HMI Komisariat Ekonomi Unibraw (Komek), karena waktu itu saya kepala sukunya. Lumrahnya organisasi, banyak orang keluar masuk, anggota atau bukan. Suatu hari HP teman saya, Tirmizi, hilang. Beberapa hari kemudian, giliran HP Rajafi raib di ruang TV. Kami langsung yakin bahwa pelakunya adalah maling kambuhan di sekitar kos. Karena dua kali kecolongan, maka Tirmizi mengajak saya ke orang pintar di Desa Tegalgondo, belakang Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Saya lupa nama orang itu. “Mau yang langsung mati, kapok, atau balik lagi?” Tanya orang itu. “Kalau mau yang mati, sediakan anu. Kalau mau yang kapok, sediakan anu. Kalau mau maling itu balik lagi ke rumah kalian, sehingga dipergoki, ini wirid-nya”. Tirmizi menjalankan wirid itu, yakni istighfar 1000 kali setiap malam sampai satu minggu. Setelah jalan lima hari Tirmizi sudah nyerah dan ikhlas saja. Tapi entah di hari ke enam atau ke tujuh ada kejadian unik. * Pagi itu sekitar pukul 7 pagi. Tirmizi mandi, Rajafi tidur di depan TV, saya hendak solat di kamar depan (bukan kamar saya). Semua pintu terbuka. Hanya pintu saya separuh tertutup. Di tengah solat saya merasakan ada bayangan masuk ke kamar Tirmizi, tepat di seberang tempat saya solat. Saya lanjutkan solat. Selepas solat saya langsung ke kamar Tirmizi. Saya menunggu di depan pintu. Mau masuk ke dalam takut kena pukul. Tidak sampai semenit saya berdiri, sosok itu keluar pintu dan langsung menatap saya. Rambutnya kriting, tingginya sama seperti saya. Di lehernya ada tato kalung. Wajahnya kusut. Dia bukan penghuni, bukan anggota Komek, dan bukan anak HMI dari fakultas manapun, bahkan bukan mahasiswa. Sosoknya kurang lebih sama seperti yang digambarkan orang pintar itu. Saya bentak dia: “Kamu siapa?! Masuk kamar orang!” Dia balik bentak: “Aku cari Iwan! Mana dia! Aku cari Iwan!” Di Komek tidak ada yang bernama Iwan. Jadi saya yakin dia maling kambuhan itu. Saya bentak lagi: “Gak ada nama Iwan di sini. Kamu pasti maling!” Belum sempat dia jawab, saya langsung arahkan pukulan ke mukanya. Saya lupa kena atau tidak, tapi dia langsung melawan dan keluar pintu dengan mendorong saya. Saya mengejarnya. Di depan Komek adalah jalan gang. Di seberang kami tembok rumah besar dan tinggi. Ketika saya tepat berada di belakang punggungnya saya langsung tubrukkan badan saya ke dia, dan dia langsung terbentur ke tembok. Tembok tersebut bertekstur kasar. Saya pukul dia dari belakang. Saya berusaha mengunci lengannya. Saya teriak. “Tolong Pak, Mas, ini maling!”. Warga sekitar tidak langsung merespon, karena memang sepi (jam kuliah). Saya ingat pemuda yang membantu saya pertama kali adalah seorang cowok yang sedang apel pagi ke pacarnya di rumah bertembok tinggi itu. Mendapat bantuan satu orang, maling itu terkunci. Kemudian datang warga lain, lalu lainnya lagi. Awalnya saya mau melepas saja maling itu karena belum ada bukti dia mencuri. Tapi ketika dia sudah lepas dari tangan saya dan dibawa orang lain saya lihat HP saya di saku celana belakangnya. Kurang ajar! HP saya kena juga. Rupanya sebelum ke kamar Tirmizi dia sudah ke kamar saya. Di saku celana lainnya dompet Tirmizi. Saya lihat di lengan kanan kirinya sudah banyak sayatan. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah ciri orang yang kecanduan narkoba. Jika mereka tidak ada uang untuk beli narkoba, dan mereka sedang sakau, mereka silet lengan mereka dan mereka hisap darah mereka sendiri yang konon mengandung narkoba itu. Pantas saja saya mudah membekuk dia, dia sedang sakau. Akhirnya Pak RT datang: “Ayo bawa ke rumah saya.” Beberapa orang di belakang saya nyeletuk: “Loh, itu kan si Yudi, anaknya Pak RT sebelah”. Dada saya yang sedari tadi gak karuan karena bertengkar, kini semakin kacau karena saya berhadapan dengan anaknya Pak RT sebelah, dan dikenal sebagai preman setempat. Saya lihat Tirmizi sudah selesai mandi. Saya teriak “Yek, ini malingnya udah ketangkep. Dompetmu kena.” Tirmizi keluar dan langsung melayangkan bogem ke kepala maling itu. “Kurang ajar, kon! Di belakang ada yang bertanya, “Siapa anak pake sarung itu?” “Dia anak Madura” jawab yang lain pendek. Komek tidak jauh dari jalan raya, maka tak lama setelah di rumah RT, polisi datang dengan mobil patroli. Dua polisi di depan. Saya, Tirmizi dan Rajafi di bagian tengah. Yudi sendirian di belakang dengan pembatas berjeruji. Saya masih dengan sarung hijau batik Madura dan kaos putih merk Swan, produk khas pasar harian di kampung. Sesampai di kantor Polsek Lowok Waru kami giliran dimintai keterangan untuk berita acara. Yudi dibawa masuk ke bagian lain. Selesai memberi keterangan kami digiring ke ruang yang sama dengan Yudi. Kami bertiga duduk menghadap petugas interogasi. Yudi jongkok di samping kiri belakang kursi saya. Di sela-sela interogasi, kami menyaksikan sendiri bagaimana polisi men-“servis” Yudi. “Kamu lagi?!” Bukk!!! Satu tendangan keras sepatu boot menghajar betis Yudi. “Baru satu bulan keluar dari sini, mulai lagi?!!” Bukk!!! Kini perutnya yang jadi sasaran. Saya takut Yudi ngamuk dan memukul saya dari belakang, maka saya selalu melirik ke Yudi. Dia menutup kepala dan wajahnya dengan lengannya. Dia biarkan perut, dada dan kakinya jadi sasaran tendangan para perwira itu. Saya tidak menghitung berapa kali tendangan itu. Tapi dalam hati saya sungguh iba, kadang menyesal. Tapi biarlah, tugas saya sudah benar. Yang menarik adalah, tebakan orang pintar itu benar, dan usaha Tirmizi sukses. Barang bukti ditinggal di Polsek yakni HP Siemens C35 hitam punya saya dan dompet kulit cokelat berisi 250 ribu punya Tirmizi. Polisi bilang bahwa barang bukti akan dibawa ke kejaksaan dan kami akan ditelpon jika nanti tiba waktunya sidang. * Tiba di Komek kami disambut bak pahlawan. Kami ditanya kronologi, opini, rencana dsb. Yang membuat kami kaget, kami kedatangan Cak Po, mantan preman yang kini tobat dan jualan bakso. Dia bilang: “Mas Jayadi. Trimakasih sudah nangkap Yudi. Tapi sayang, kok gak dibawa ke saya tadi. Coba dibawa ke saya, sudah saya habisi anak itu. Bikin malu daerah sini saja.” Pagi harinya di kampus saya semakin dikenal terutama oleh para Arema Fakultas Ekonomi. Kejadian itu masuk koran lokal dan halaman lokal koran nasional. Ada yang langsung datang menyalami, ada yang dari kejauhan bisik-bisik, lirik-lirik sambil nunjuk-nunjuk ke saya. Ardhani teman saya dari Bima bilang “Duh, coba ada saya bung, sudah saya hajar pakai kursi itu anak. Bung Jay terlalu kalem sih.” Dan seterusnya. Kisah heroik itu berlanjut sampai 3 hari. * Lain di Malang, lain di Madura. Sore hari setelah kejadian itu saya telpon keluarga. Mereka heboh bahkan ada yang menangis. Takut saya bakal dikeroyok teman-temannya Yudi. Sehari kemudian ayah saya datang ke Malang. Beliau bawa sabuk, mantra dan segala wanti-wanti. Lalu kami berdua ke rumah Yudi. Waktu itu yang ada hanya ibu Yudi. Intinya kami minta maaf karena telah membuat Yudi masuk tahanan lagi. Alhamdulillah tanggapan ibu Yudi baik. Beliau sekeluarga memang sudah gerah dengan perilaku anaknya. Dan mereka tidak akan segera menebus anaknya ke Polsek, biar jera katanya. Kelak ketika saya pulang ke Madura, tetangga rumah pada muji saya dengan segala macam. Kata mereka: “Ternyata Jayadi tidak hanya mahir ilmu kuliahan, tapi juga ilmu kanuragan”. Ada-ada saja. * Sekitar sebulan setelah kejadian, saya mendapat telpon dari kejaksaan agar saya dan Tirmizi mengambil barang bukti di kejaksaan. Setiba di sana barang bukti itu kami terima dalam sebuah amplop cokelat. Kami mengiyakan bahwa itu benar barang kami, dan tidak ada yang berkurang atau rusak. Kami heran kenapa barang bukti dikembalikan padahal belum sidang. Lalu petugas perempuan di sana bilang bahwa Yudi sudah meninggal tadi paginya. Kami kaget karena memang belum mendengarnya, walau hanya bersebelahan RT. Saya dan Tirmizi pulang dengan perasaan serba bingung. Mau dibilang pahlawan ya pahlawan, tapi dibilang penyebab matinya Yudi benar juga. Kami hanya bisa istighfar dan saling mengingat kejadian sebulan silam. Ketika masih di Polsek kami kenalan dengan polisi muda yang memang bertugas di wilayah kampus Unibraw. Namanya Yanto. Kami menyimpan nomor HP nya. Menurut informasi dari Yanto, Yudi meninggal karena selama di tahanan tidak mau makan. Dia kena typhus, maag, paru-paru basah dan sebagainya. Malam itu juga saya dan Tirmizi yasinan di Komek untuk alm. Yudi. Kami tidak berani datang ke tahlilan di rumah duka. * Setahun kemudian Komek pindah 6 rumah di belakang rumah keluarga Yudi. Saya sering berkunjung ke Komek, dan lewat depan rumah orang tuanya. Setiap kali lewat rumah itu darah saya berdesir, takut dipanggil oleh ayah dan ibu Yudi. Tapi Alhamdulillah hal itu tidak pernah terjadi. Entah mereka lupa pada saya atau sudah tidak peduli. Mengingat kejadian itu saya punya beberapa hikmah untuk dipetik. Pertama, jika kita niat ikhlas dan serius berikhtiar, maka Allah akan mengabulkan, sebagaimana usaha Tirmizi dengan wirid itu. Kedua, sekuat atau selemah apapun kita saat ini, belum tentu akan selamanya begitu, seperti lemahnya Yudi dan beraninya saya waktu itu. Padahal di waktu lain, saya kembali jadi penakut. Ketiga, seberapapun dalamnya marah dan dendam seseorang, akan hilang dengan silaturahmi, sebagaimana hasil saya dan ayah datang ke orangtua Yudi. Keempat, selalu minta pertolongan pada Allah untuk dijauhkan dari bencana, musibah dan ujian berat, karena Dia-lah Yang Maha Mengatur Segala sesuatu. Tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Tak ada pahlawan, yang ada hanya kebetulan, saat yang jahat kalah, dan yang baik menang. Surabaya, 8 Oktober 2013

Malik

MALIK Saya punya sahabat baik, namanya Malik, asal Jakarta. Dulu juga jadi delegasi ke Jember bersama saya, Fatimah dan Linda. Tahun 2002 Malik jadi ketua Bazar HMJ IESP (selanjutnya Malik jadi ketua HMJ 2002-2004). Di bazaar itu dia kenal mahasiswi baru IESP ’02 bernama Mita, asal Balikpapan. Singkat cerita mereka jadian. Keduanya cocok. Malik orang penyayang, Mita cukup manja. Malik kalem, Mita penuh energi, dll. Malik lulus 2004 dan bekerja di Jakarta. Malik terus meluangkan waktu ke Malang untuk nyambangi Mita atau main ke saya yang waktu itu masih belum lulus. Tanggal 1 Juli 2006 saya lulus S-1. Tepat saat ulangtahun Malik yang ke 25. Malik ada di Malang hari itu untuk merayakan ultahnya dengan Mita, kebetulan Mita ultah akhir Juli. Sore hari itu juga kami makan sebagai syukuran kelulusan saya dan ulangtahun mereka berdua. September 2006 saya wisuda. Mungkin saat wisuda itu saya berjumpa dengan Mita. Saya tidak ingat pasti. Tapi setelah itu saya tidak jumpa dia lagi karena saya langsung ke Jakarta. Mita lulus 2007 dan langsung balik ke Balikpapan. Tahun 2006 ayah Mita ke Jakarta untuk urusan bisnis, dan bertemu ayah Malik. Mereka merestui hubungan kedua anaknya dan berencana meresmikannya dalam ikatan pertunangan. Tahun 2007 Malik sudah mencicil lunas sebuah rumah yang rencananya akan ditempatinya dengan Mita jika kelak menikah. Juli 2007 akan menjadi bulan istimewa bagi saya, Malik dan Mita. Saya akan merayakan setahun kelulusan saya, Malik merayakan ultahnya ke-26 nya, Mita mungkin ultah ke-23 nya. Sebagai sahabat karib, Malik termasuk orang yang paling sering menanyakan saya sudah dapat pacar atau belum. Awal Juli 2007 itu saya sedang pendekatan sama Anita, istri saya yang sekarang. Saya merahasiakan hal itu, dan kelak akan bilang pada Malik langsung jika saya dan Anita jadian. Suatu pagi di minggu pertama bulan Juli 2007 Mita mengantar kakak perempuannya berangkat kerja di Kota Balikpapan. Mita yang nyetir motor. Sepulang mengantar kakaknya Mita mengalami kecelakaan. Dia dirawat di UGD rumah sakit lokal karena koma. Saya intensif menghubungi Malik menanyakan perkembangan Mita. Tapi hasilnya kurang baik. Mita tetap koma selama beberapa hari. Minggu pertama bulan Juli itu juga Anita menerima cinta saya, dan kami menyatakan diri sebagai sepasang kekasih. Saya masih menyimpan berita baik itu pada Malik karena kondisinya sekarang belum tepat. Suatu hari di pertengahan Juli itu Malik menelpon saya. Suaranya pelan. Dia cuma bilang “Mita sudah tiada, Boy. Mohon dimaafkan kesalahan dia selama ini dan didoakan agar dia mendapat tempat yang baik di sisi Allah SWT.” Saya jawab “Iya, Man. Aku juga minta maaf jika pernah salah pada Mita. Kamu harus sabar, Man. Allah menguji iman dan kesabaranmu. Semoga kau dapatkan hikmah di balik peristiwa ini kelak.” Hari itu juga Malik terbang ke Balikpapan untuk hadir ke pemakaman. Saya telpon beberapa sahabat untuk menyampaikan berita duka tentang Mita dan berita baik tentang saya dan Anita. Tapi saya tak lupa minta maaf pada mereka karena di saat Malik mendapat duka, saya malah mendapat bahagia. Sehari setelah pemakaman, saya telpon Malik lagi. Saya sampaikan bahwa saya sudah punya pacar. Saya minta maaf pada dia atas kondisi kontras ini. Dia menyelamati saya. Lalu saya bertanya tentang hari-hari terakhirnya dengan Mita. Sambil terisak dia cerita bahwa Tanggal 1 Juli 2007 Mita telpon mengucapkan selamat ulangtahun, dan bilang bahwa dia telah menyiapkan kado. Malik bilang pada Mita bahwa dia juga telah menyiapkan kado untuk Mita. Rencananya Malik akan memberikannya langsung pada Mita di akhir Juli di Balikpapan, sambil sekaligus melamarnya sebagai tunangan. Mita tak sempat memberikan kadonya pada Malik, sebagaimana juga Malik juga tak sempat memberi Mita kado, bahkan untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Saya tidak ingat persis apa kado mereka. Kalau tidak salah, ada yang baju lengan panjang, dan ada yang sprei. Semuanya warna biru, warna favorit Malik. Baju itu tak sempat dipakai Malik. Sprei itu belum sempat menghiasi kamar di rumah baru Malik. Gadis yang direncanakan menempati rumah baru itupun belum sempat melihatnya. Malik menjual rumah itu tak lama setelah Juli 2007. Saya sempat diminta menempatinya daripada tak berpenghuni, karena Malik ditugaskan di luar Jakarta. Saya tidak bersedia karena terlalu jauh dari kantor saya. Orangtua Malik ingin Malik tidak larut dalam sedih. Mereka mempertemukan Malik dengan putri dari sahabat mereka. Tahun 2008 Malik menikah dengan gadis itu, namanya Eti. Resepsinya diberbarengkan dengan adik perempuan Malik, Dewi. Satu altar dua pasangan. Saya hadir di acara itu. Malik dan istrinya dikaruniai seorang anak laki-laki, namanya Elfiko, kini usianya sudah sekitar 4 tahun. Tak ada dari kita yang tahu jalan hidup kita nantinya, bahkan walau kita telah merencakannya dengan seksama. Allah menunjukkan Kuasa-Nya dengan menentukan takdir yang kadang jauh dari keinginan kita. Surabaya, 3 Oktober 2013

Guru Tulang

UMPTN bagi kita dulu adalah perjuangan besar. Jika lulus, kita bisa kuliah di kampus negeri yang bagus dan murah. Jika tidak, maka siap-siap ke swasta yang mahal dan kurang qualified. UMPTN 1999 saya dan kakak sepupu saya (Rahmat) Alhamdulillah lulus UMPTN. Saya di Unibraw, Rahmat di Unesa. Tahun 2000 ada dua teman sekampung saya yang keterima UMPTN lagi, satu di Unibraw (Husni), satu lagi di Unej (Ali). Tahun 2001, Taufiq, teman masa kecil saya, sekaligus cucu guru ngaji saya, Kyai Rosul Faqih, ngajak ngobrol. Dia bilang “Saya mau cerita. Kamu boleh percaya, boleh tidak. Ini cerita kebetulan yang berkaitan dengan ikhtiar kalian dan keputusan Allah. Dan jangan anggap bahwa saya cerita ini untuk membesar-besarkan nama keluarga. Dan semoga kita terlindung dari syirik.” Saya menggangguk. “Begini,” katanya melanjutkan, “sejak tahun 1998 saya mengamati siapa saja santri alumni langgar ini yang datang ke sini untuk silaturahim atau sowan minta doa ke mba (Kyai Rosul). Tahun 1998 tidak ada satupun yang ke mba untuk sowan. Pas kebetulan UMPTN tahun itu tidak ada yang lulus.” “Tahun 1999 hanya kamu dan Rahmat yang datang ke mba untuk minta doa. Pas kebetulan tahun itu hanya kalian berdua yang lulus UMPTN”. “Tahun 2000 lalu, saya perhatikan hanya ada Ali dan Husni yang kemari. Pas kebetulan mereka berdua keterima UMPTN.” “Husni, seperti kamu tahu, aslinya angkatan 1998, tapi tidak lulus UMPTN dua tahun berturut-turut (1998 dan 1999) dan memilih bekerja. Tahun 1998 dan 1999 dia tidak ke sini. Tahun 2000 (kesempatan terakhirnya ikut UMPTN) dia ke sini.” “Tahun ini, 2001, tak ada santri alumni yang kesini, dan memang tak ada dari mereka yang keterima. Silahkan ambil sendiri hikmah cerita ini. Boleh disambung-sambungkan, boleh tidak. Tapi itu lah faktanya.” Katanya menutup cerita. Saya mengambil hikmah dari cerita itu bahwa datang sowan ke guru ngaji adalah hal yang sangat baik dan diperintahkan agama. Selebihnya, kebetulan saja. Kyai Rosul adalah guru ngaji kami, guru langgar. Beliau yang mengajari kami alif, ba’, ta’ hingga kami hatam al-qur’an. Kakak sepupu saya menyebutnya dengan dengan istilah guru tolang. Ibarat tubuh, maka penyangga kita berdiri tegak adalah tulang. Maka, kata kakak saya, jika ada guru yang paling harus kita hormati dari yang lain, guru tulang-lah orangnya. Kata teman saya dari kampung arab, guru langgar lebih ditakuti daripada orangtua sendiri. Guru langgar biasanya adalah guru yang paling ikhlas. Mereka tidak dibayar professional. Selain pendapatan sehari-hari mereka yang memang pas-pasan, mereka biasanya mendapatkan tambahan makanan dari orang-orang yang datang minta doa, rasolan, maulidan, selamatan, ongkos pijat anak, atau dari undangan lainnya. Ada seorang santri alumni langgar kami (langgar Al-Faqih), namanya H. Sulaiman, yang sangat memuliakan Kyai Rosul. Keluarga H. Sulaiman tidak hanya menjadi donatur utama pemugaran langgar tua kami, tapi juga tahun 2009 lalu, H. Sulaiman mengajak Kyai Rosul umroh ke Mekkah. Memang usia beliau sudah sangat sepuh. Tidak memungkinkan (secara hitungan akal) untuk mengikutkan beliau haji, yang antriannya di Pamekasan mencapai 15 tahun. Saya salah satu santrinya, hanya bisa mendoakan beliau setiap kali ingat sehabis solat, agar beliau senantiasa sehat wal-afiyat dan husnul khotimah. Di usianya yang mungkin sudah di atas 90 tahun, beliau masih rajin nyapu langgar, nyapu halaman, nyabut rumput, atau ngapur pagar. Walau beliau perokok aktif, tapi Alhamdulillah badan beliau masih segar, walau dari dulu selalu batuk. Beliau masih belum pikun, hanya penglihatan dan pendengarannya saja yang sudah sangat berkurang. Idul Fitri kemarin saya bersama anak istri silaturahim ke beliau. “Sapa reyah?” Tanyanya. “Yadi Ba.” Jawab saya. “Yadi sapah?” Tanyanya lagi. “Yadi-nah Pak Ham.” Jawab saya lagi. “Oohh..” Jawab beliau sambil mengangguk. Saya cium tangannya, lalu diikuti anak istri saya. Surabaya, 30 September 2013

"Bilal"

Setiba di masjid, saya solat sunnah, lalu duduk wirid. Belum lima menit duduk terdengar bunyi “Prak!” di jalan raya sebelah masjid. Saya tetap fokus pada wirid saya, tapi langkah para jamaah ke luar masjid mengganggu konsentrasi saya. Sayapun melangkah ke luar. Di jalan raya itu sudah berkerumun orang. Ada yang melihat motor yang sudah ringsek, ada yang menunjuk-nunjuk mobil van yang menabraknya, ada juga yang berdiri melingkar di sekitar tubuh yang terbujur di tengah jalan. Saya lihat kakinya bengkok, matanya tertutup, mulutnya menganga. Saya tidak akan menjelaskan tentang darah. Saya meminta orang-orang di sekitar saya untuk mengangkat tubuh yang masih bernyawa itu agar tidak di tengah jalan. Tubuh itu kami letakkan di halaman sebuah rumah. Tuan rumahnya tidak keberatan. Kami mendapat tikar sebagai alasnya. Kami melintangkan tubuh itu barat-timur. Beberapa orang mencoba mencari pick-up untuk membawa tubuh itu ke puskesmas, namun gagal. Ada yang mencoba memberinya minum, tapi orang itu sudah tak bisa menenggaknya karena sudah tidak sadar. Suara-suara di sekitar saya tak jauh dari “orang mana ini?” atau “siapa namanya?” atau “bagaimana kejadiannya?” dan sebagainya. Saya hanya bisa melafalkan kalimat tauhid di sekitar telinganya. Sekitar 10 menit saya mendampingi tubuh itu, lalu saya rasakan ruh-nya sudah tak ada lagi. Saya adzan di telinga kanannya. Saya dengar khotbah di masjid sudah mulai, maka saya pun meninggalkan jenazah itu. Saya titip pesan pada ibu-ibu dan bapak-bapak yang tidak solat jumat untuk menjaga jenazah itu. Saya kembali ke masjid. Di kamar mandi saya bersihkan darah di lengan kanan dan kiri saya. Saya menangis. Bukan karena ingin menangis, tapi tiba-tiba menangis sendiri. Saya sedih dan kasihan pada jenazah itu. Dia sekarat selama beberapa menit tanpa ada yang mengangkatnya dari jalan. Dia mati tanpa ada orang tahu identitasnya. Saya takut kejadian semacam itu menimpa saya, istri, anak, orangtua, mertua, saudara, sanak keluarga dan lain-lain. Saya kuat-kuatkan untuk berhenti menangis dan kembali duduk di shof masjid mendengarkan khotbah. Sehabis solat, orang masih berkerumun di TKP. Satu mobil pick-up menderu kencang ke arah jalan desa, saya lihat orang-orang di atasnya bersolawat dan bertahlil. Jenazah itu di dalamnya. Saya balik kanan mengikuti pick-up itu bersama motor-motor lain. Sekitar satu kilometer saya ikuti tapi tidak ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti, saya putuskan stop dan bertanya pada orang-orang. “Namanya Pak Ubed, orang Taraban.” kata ibu yang duduk di warung tempat saya berhenti. Info itu sudah cukup bagi saya, lalu saya balik rumah. Di rumah, saya ceritakan kejadian tersebut pada istri saya. Dia merinding. Kami sepakat untuk melayat ke rumah duka besok paginya, karena besok siangnya saya harus ke Jakarta. Kebetulan kami punya teman yang bertetanggaan dengan rumah almarhum, jadi kami diantar oleh teman tersebut. Rumah almarhum biasa saja. Berbagi halaman panjang bersama saudaranya yang lain. Saya duduk bersama pelayat lain. Laki-laki perempuan hanya terpisah beberapa meter. Istri almarhum (Bu Ubed) menjelaskan pada para tamu bahwa kejadiannya sebagai berikut: Menjelang jum’atan, Bu Ubed telpon suaminya yang sedang di sawah. “Gak pulang Pak? Ini sudah mau adzan. Katanya bertugas jadi bilal di masjid”. Almarhum waktu itu mengiyakan akan pulang segera. HP dimatikan. Lalu tidak ada panggilan lagi. Dia menunggu 30 menit tapi yang ditunggu tak datang-datang, bahkan ketika adzan sudah dikumandangkan, yang ditunggu belum pulang. Setengah jam kemudian, istrinya mendapat telpon dari HP suaminya. Tapi suara di HP Itu bukan suaminya. Suara itu bertanya apa benar itu Bu Ubed. Dia mengangguk, dan berita duka itu sampailah di telinganya. Dia lunglai. Jenazah sampai, dia masih tidak percaya apa yang terjadi. Teman saya memperkenalkan saya pada Bu Ubed bahwa saya adalah salah satu orang yang menyaksikan langsung saat-saat almarhum menghadapi sakaratul maut. Para pelayat melihat saya, terutama Bu Ubed, Ubaidillah anak sulungnya, dan adiknya, si bungsu perempuan. Saya bilang: “Bu Ubed dan adik-adik. Pertama, saya menyatakan turut berbelasungkawa atas wafatnya almarhum. Kedua, saya minta maaf karena pertolongan yang mampu saya berikan hanyalah mengangkat almarhum dari jalan raya ke halaman rumah tetangga terdekat. Ketiga, saya minta maaf karena siang itu saya tidak sempat membujurkan tubuh almarhum utara-selatan. Keempat, saya minta maaf meninggalkan jenazah di halaman itu karena saya harus solat jumat. Kelima, saya ingin menyampaikan pada ibu dan adik semua, bahwa saya menyaksikan dengan mata sendiri bahwa almarhum wafat dengan sangat baik.” Saya menutup mata saya mencegah airmata menetes. Kerongkongan saya juga sedikit kering, jadi saya minum seteguk air. Lalu saya lanjutkan. “Dari pertama saya tiba di samping tubuh almarhum di jalan, hingga detik terakhir almarhum bernafas, tidak sedikitpun suara erangan atau rintihan yang saya dengar dari mulutnya. Tidak sedikitpun tubuhnya bergerak-gerak saat menjelang ajal. Beliau meninggal dengan tenang. Matanya tertutup. Luka di wajah dan tubuhnya pun tidak seberapa sebagaimana ibu dan adik-adik tahu sendiri. Mungkin hanya bagian pinggul yang patah.” “Saya yakin, sebagaimana selalu saya doakan, bahwa almarhum itu husnul khatimah, karena almarhum meninggal ketika hendak pulang ke keluarga dari kerja, dan akan menunaikan tugas mulia sebagai seorang bilal jum’at (petugas adzan dan pengantar khotib sebelum naik mimbar). Jika tidak salah hitung, maka almafhum wafat tepat saat adzan jumat dikumandangkan, karena setelah nafasnya tiada, khotbah dimulai.” “Saya berada bersamanya kurang lebih 10 menit. Saya bersaksi bahwa almarhum meninggal dengan sangat baik. Semoga Allah memaafkan dosa almarhum dan menerima amalnya. Semoga ibu dan adik-adik senantiasa tabah dan tawakkal atas kejadian ini. Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari ketentuan Allah.” Selesai menyampaikan kalimat di atas, saya mohon ijin pulang. Ibu Ubed dan anak-anaknya menyampaikan terimakasih. Anggota keluarga yang paling shock waktu itu adalah Ubed, karena dia sedang sibuk-sibuknya kerja skripsi. Mungkin saat ini dia sudah menjadi sarjana hukum. Bapak Ubaidillah wafat pada hari Jumat, 29 Maret 2013. Sudah enam bulan berlalu, tapi rasanya baru beberapa jumat yang lalu. Surabaya, 1 Oktober 2013