Sebuah kota kecil pada dingin senja.
Bising ramai tersublim ke sepi damai.
Kerlip kuning merah lampu di jalanan.
Merambat diantara beton gelap biru tua.
Kembali pada cinta hangat dan temaram.
Di rumah dengan taman dan pagar terbuka.
Tempat semua mimpi dicipta dan dimakna.
Jogja, 23 Juli 2010
Jumat, 23 Juli 2010
Senin, 12 Juli 2010
Muhammadiyah, Tahayul dan Piala Dunia
Momentum perayaan 100 tahun (seabad) Muhammadiyah dan muktamarnya yang ke 46 di Yogyakarta 3-8 Juli 2010 lalu seakan menemukan signifikansinya dengan penyelenggaraan Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Beberapa drama dalam duel sepakbola antar negara tersebut menunjukkan bahwa bahaya yang dikhawatirkan Muhammadiyah benar adanya. Salah satu tujuan awal Muhammadiyah didirikan adalah dalam rangka memberantas praktik tahayul, bid’ah dan kurafat dalam islam. Selama Piala Dunia berlangsung, banyak tahayul dan mitos terjadi. Semua tahayul tersebut terbukti tidak ada kaitannya dengan prestasi.
KH. Ahmad Dahlan sejak awal memperingatkan bahwa tahayul sangat berbahaya, bukan hanya terutama pada iman, namun juga pada prestasi dan pencapaian hidup. Tahayul membuat manusia tidak rasional dan tidak logis. Bekerja tidak maksimal dengan menumpukan harapan pada objek tahayul tersebut, serta jika tidak berhasil, akan menumpahkan kesalahan pada objek yang sama. Tahayul menjadi idola sekaligus kambing hitam.
Tahayul Piala Dunia 2010
Pada piala dunia kali ini, setidaknya Argentina dan Jerman telah mengundang decak kagum penonton. Banyak penonton menjagokan dua tim ini oleh karena performanya yang optimal saat babak penyisihan maupun babak selanjutnya. Kemenangan kedua tim sangat signifikan dengan raihan gol spektakuler. Disamping faktor logis yang inheren di dalamnya seperti komposisi dan performa pemain, kemenangan (dan kekalahan) Argentina dan Jerman lalu dikaitkan dengan sesuatu yang tidak masuk akal, misalnya gelang kecil Maradona (pelatih Argentina) dan Kaos Biru Joachim Loew (pelatih Jerman).
Keberuntungan tim Tango pada awal penyisihan dikaitkan dengan gelang kecil pemberian cucunya. Dalam setiap pertandingan, Maradona tak henti-henti mencium gelang yang dilingkarkan di genggaman tangan kirinya. Tim Panser pun serupa. Ketika kemenangan telak (selalu membuahkan 4 gol) Jerman atas lawannya yang kebetulan berbarengan dengan saat sang pelatih mengenakan kaos biru, maka kaos biru itu pun lantas dianggap bertuah. Kekalahan pertama Jerman di PD 2010 (atas Serbia) pun dikaitkan dengan kaos Jogi (panggilan Joachim Loew) yang kebetulan pada waktu itu putih. Jogi pun enggan mengganti, bahkan untuk mencuci kaos tersebut pada saat akan menghadapi Spanyol (www.detik.com).
Ketika performa dan fenomena dikaitkan dengan faktor tidak langsung (dan non logis) yang menyertainya, di situlah tahayul tejadi. Dalam dunia statistik, signifikansi korelasi tahayul pada keterjadian fenomena tak bisa diukur. Dia bukan sebuah variabel dependen, melainkan eror. Artinya berapapun kuantitas dan kualitas objek tahayul tidak akan mengubah hasil fenomena.
Sebagai analogi, andaikata Maradona menggunakan lebih banyak lagi gelang dari cucunya, apakah lantas kemenangan Argentina atas musuhnya akan lebih telak? Atau, andaikata Jogi memakai kaos biru lebih dari satu pada saat Jerman bertanding, atau memakai kaos biru dengan merk yang lebih bagus, akankah perolehan gol Jerman berlipat ganda? Di sinilah logika pemuja tahayul Argentina dan Jerman alpa total.
Fakta yang terjadi pada semifinal antara Jerman dan Spanyol menunjukkan bahwa tahayul kaos biru Jogi tidak berlaku. Jerman harus kalah dari 0-1 dari Spanyol kendati sang pelatih memakai kaos birunya. Begitu juga ketika Argentina melawan Jerman, dia harus kalah telak 0-4 kendati Maradona mengenakan gelang kecil pemberian cucunya tersebut.
Bahaya idola dan kambing hitam
Kasus kekalahan Jerman dan Argentina dalam PD kali ini harus diarifi secara logis oleh penggemar sepakbola yang selama ini percaya tahayul. Efek langsung yang akan timbul tentu saja terdistorsinya pola pikir kita. Logika dan rasionalitas terganggu sedemikian rupa sehingga faktor yang semestinya dipertimbangkan sebagai yang utama dikesampingkan. Sebaliknya, faktor tidak logis dipertimbangkan. Efek selanjutnya adalah kesalahan pengambilan keputusan. Bayangkan jika ini terjadi dalam dunia pendidikan, bisnis, hukum, agama dan sebagainya.
Tahayul melahirkan pengidolaan (pemberhalaan) dan pengkambinghitaman. Kesesuaian antara harapan dengan tahayul akan melahirkan pemujaan berlebihan atas tahayul. Adapun ketidaksesuaiannya dengan fakta akan melahirkan pengkambinghitaman tahayul, lalu melahirkan pencarian tahayul baru. Relasi antara wanti-wanti KH Ahmad Dahlan ini dengan piala dunia adalah bahayanya pada non-optimalisasi potensi.
Jika seorang pelatih seperti Maradona berkomentar (walaupun) dengan ringan bahwa kemenangan tim tango berkait (walau hanya sedikit) dengan gelang di tangannya (www.lintasberita.com), maka sejatinya ini adalah bahaya akut. Ketika percaya pada tahayul gelang kecil tersebut, pada saat yang sama Maradona bisa jadi menganggap spele unsur latihan (dan tidak maksimal) karena menyandarkan kemenangannya pada gelang.
Hal serupa terjadi ketika Gelandang Jerman Bastian Schweinsteiger berharap bahwa Jogi akan memakai kaos biru itu lagi (http://id.sports.yahoo.com). Ketika Jogi benar-benar memakai kaos tersebut maka bisa jadi Schweinsteiger cs bermain bola dengan kurang maksimal karena percaya bahwa ada hal mistis yang akan melindungi tim jerman dari kekalahan. Dampaknya kita lihat bersama, performa Tim Panser tidak maksimal, dan Jerman kalah atas Spanyol.
Pelajaran buat Kita
Muhammadiyah, tahayul, mitos dan Piala Dunia 2010 memberi kita satu benangmerah, yaitu rasionalitas, kerja keras dan prestasi. Jika kita menengok kembali prestasi Indonesia saat ini, terutama di bidang olahraga, maka kita akan tersadar bahwa fenomena tahayul sungguh membahayakan. Jamak kita dengar bersama bahwa pada beberapa pertandingan kesebelasan-kesebelasan di Indonesia masih menggunakan tahayul dan mistik, misalnya pawang hujan, dukun dan sebagainya. Kita masih menjawab tantangan alam dengan hal tidak rasional, bukan dengan kerja keras dan teknologi. Jika tim sebesar Argentina dan Jerman saja bisa hancur pada PD 2010 karena kesalahan kecil berupa tahayul dan mitos, maka bagaimana tim kecil seperti Indonesia?
Jogja, 9 Juli 2010
Akhmad Jayadi
Mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Dosen Universitas Islam Madura, Pamekasan
KH. Ahmad Dahlan sejak awal memperingatkan bahwa tahayul sangat berbahaya, bukan hanya terutama pada iman, namun juga pada prestasi dan pencapaian hidup. Tahayul membuat manusia tidak rasional dan tidak logis. Bekerja tidak maksimal dengan menumpukan harapan pada objek tahayul tersebut, serta jika tidak berhasil, akan menumpahkan kesalahan pada objek yang sama. Tahayul menjadi idola sekaligus kambing hitam.
Tahayul Piala Dunia 2010
Pada piala dunia kali ini, setidaknya Argentina dan Jerman telah mengundang decak kagum penonton. Banyak penonton menjagokan dua tim ini oleh karena performanya yang optimal saat babak penyisihan maupun babak selanjutnya. Kemenangan kedua tim sangat signifikan dengan raihan gol spektakuler. Disamping faktor logis yang inheren di dalamnya seperti komposisi dan performa pemain, kemenangan (dan kekalahan) Argentina dan Jerman lalu dikaitkan dengan sesuatu yang tidak masuk akal, misalnya gelang kecil Maradona (pelatih Argentina) dan Kaos Biru Joachim Loew (pelatih Jerman).
Keberuntungan tim Tango pada awal penyisihan dikaitkan dengan gelang kecil pemberian cucunya. Dalam setiap pertandingan, Maradona tak henti-henti mencium gelang yang dilingkarkan di genggaman tangan kirinya. Tim Panser pun serupa. Ketika kemenangan telak (selalu membuahkan 4 gol) Jerman atas lawannya yang kebetulan berbarengan dengan saat sang pelatih mengenakan kaos biru, maka kaos biru itu pun lantas dianggap bertuah. Kekalahan pertama Jerman di PD 2010 (atas Serbia) pun dikaitkan dengan kaos Jogi (panggilan Joachim Loew) yang kebetulan pada waktu itu putih. Jogi pun enggan mengganti, bahkan untuk mencuci kaos tersebut pada saat akan menghadapi Spanyol (www.detik.com).
Ketika performa dan fenomena dikaitkan dengan faktor tidak langsung (dan non logis) yang menyertainya, di situlah tahayul tejadi. Dalam dunia statistik, signifikansi korelasi tahayul pada keterjadian fenomena tak bisa diukur. Dia bukan sebuah variabel dependen, melainkan eror. Artinya berapapun kuantitas dan kualitas objek tahayul tidak akan mengubah hasil fenomena.
Sebagai analogi, andaikata Maradona menggunakan lebih banyak lagi gelang dari cucunya, apakah lantas kemenangan Argentina atas musuhnya akan lebih telak? Atau, andaikata Jogi memakai kaos biru lebih dari satu pada saat Jerman bertanding, atau memakai kaos biru dengan merk yang lebih bagus, akankah perolehan gol Jerman berlipat ganda? Di sinilah logika pemuja tahayul Argentina dan Jerman alpa total.
Fakta yang terjadi pada semifinal antara Jerman dan Spanyol menunjukkan bahwa tahayul kaos biru Jogi tidak berlaku. Jerman harus kalah dari 0-1 dari Spanyol kendati sang pelatih memakai kaos birunya. Begitu juga ketika Argentina melawan Jerman, dia harus kalah telak 0-4 kendati Maradona mengenakan gelang kecil pemberian cucunya tersebut.
Bahaya idola dan kambing hitam
Kasus kekalahan Jerman dan Argentina dalam PD kali ini harus diarifi secara logis oleh penggemar sepakbola yang selama ini percaya tahayul. Efek langsung yang akan timbul tentu saja terdistorsinya pola pikir kita. Logika dan rasionalitas terganggu sedemikian rupa sehingga faktor yang semestinya dipertimbangkan sebagai yang utama dikesampingkan. Sebaliknya, faktor tidak logis dipertimbangkan. Efek selanjutnya adalah kesalahan pengambilan keputusan. Bayangkan jika ini terjadi dalam dunia pendidikan, bisnis, hukum, agama dan sebagainya.
Tahayul melahirkan pengidolaan (pemberhalaan) dan pengkambinghitaman. Kesesuaian antara harapan dengan tahayul akan melahirkan pemujaan berlebihan atas tahayul. Adapun ketidaksesuaiannya dengan fakta akan melahirkan pengkambinghitaman tahayul, lalu melahirkan pencarian tahayul baru. Relasi antara wanti-wanti KH Ahmad Dahlan ini dengan piala dunia adalah bahayanya pada non-optimalisasi potensi.
Jika seorang pelatih seperti Maradona berkomentar (walaupun) dengan ringan bahwa kemenangan tim tango berkait (walau hanya sedikit) dengan gelang di tangannya (www.lintasberita.com), maka sejatinya ini adalah bahaya akut. Ketika percaya pada tahayul gelang kecil tersebut, pada saat yang sama Maradona bisa jadi menganggap spele unsur latihan (dan tidak maksimal) karena menyandarkan kemenangannya pada gelang.
Hal serupa terjadi ketika Gelandang Jerman Bastian Schweinsteiger berharap bahwa Jogi akan memakai kaos biru itu lagi (http://id.sports.yahoo.com). Ketika Jogi benar-benar memakai kaos tersebut maka bisa jadi Schweinsteiger cs bermain bola dengan kurang maksimal karena percaya bahwa ada hal mistis yang akan melindungi tim jerman dari kekalahan. Dampaknya kita lihat bersama, performa Tim Panser tidak maksimal, dan Jerman kalah atas Spanyol.
Pelajaran buat Kita
Muhammadiyah, tahayul, mitos dan Piala Dunia 2010 memberi kita satu benangmerah, yaitu rasionalitas, kerja keras dan prestasi. Jika kita menengok kembali prestasi Indonesia saat ini, terutama di bidang olahraga, maka kita akan tersadar bahwa fenomena tahayul sungguh membahayakan. Jamak kita dengar bersama bahwa pada beberapa pertandingan kesebelasan-kesebelasan di Indonesia masih menggunakan tahayul dan mistik, misalnya pawang hujan, dukun dan sebagainya. Kita masih menjawab tantangan alam dengan hal tidak rasional, bukan dengan kerja keras dan teknologi. Jika tim sebesar Argentina dan Jerman saja bisa hancur pada PD 2010 karena kesalahan kecil berupa tahayul dan mitos, maka bagaimana tim kecil seperti Indonesia?
Jogja, 9 Juli 2010
Akhmad Jayadi
Mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Dosen Universitas Islam Madura, Pamekasan
Rabu, 07 Juli 2010
Takdir
Bukan dari belas kasih orang.
Atau oleh hari keberuntungan.
Sebuah keberhasilan bisa dicapai.
Adalah karena diri sendiri yang mengusahakan.
Dengan sepenuh kemauan dan kemampuan.
Maka Tuhan lalu mengijinkan..
Jogja, 8 Juli 2010
Atau oleh hari keberuntungan.
Sebuah keberhasilan bisa dicapai.
Adalah karena diri sendiri yang mengusahakan.
Dengan sepenuh kemauan dan kemampuan.
Maka Tuhan lalu mengijinkan..
Jogja, 8 Juli 2010
Extremistan
The Extremistan -where the Black Swan phenomenon created by.
Extraordinary idea, borderless area, timeless period, limitless scope, random system, irregular result, immeasurable source, inconstant pattern and unseen pathway.
Jogja, 6 Juli 2010
Extraordinary idea, borderless area, timeless period, limitless scope, random system, irregular result, immeasurable source, inconstant pattern and unseen pathway.
Jogja, 6 Juli 2010
Waktu dan Hidup
Mengukur waktu dalam detik, dan jalan dalam langkah.
Tafakur iman-ilmu pada amal baik, dan hidup pada ibadah.
Bersyukur di setiap nikmat, dengan sabar di segala musibah.
Jogjakarta, 7 Juli 2010
Tafakur iman-ilmu pada amal baik, dan hidup pada ibadah.
Bersyukur di setiap nikmat, dengan sabar di segala musibah.
Jogjakarta, 7 Juli 2010
Langganan:
Postingan (Atom)