Rabu, 06 Desember 2017

Seni dan Sosial



Sesungguhnya setiap orang adalah seniman, dalam kualitas dan kuantitasnya masing-masing. Jika ada seniman yang produktif dan terkenal, itu karena ia serius menekuni bidangnya. Bisa jadi karya seniman rumahan dan jalanan tidak kalah dengan seniman profesional yang karyanya dipajang di studio, galeri, museum, istana dll.

Intip saja remaja yang jatuh cinta, karyanya pasti banyak, mulai puisi, sketsa, lukisan, cerpen, vignet, dll. Atau lihat rumah para aktivis dan ilmuwan. Ia pasti punya seni tentang idola dan perjuangannya. Memang tidak banyak, dan mungkin rendahan, tapi percayalah, itu adalah masterpiece-nya. Karya dengan luapan emosi tertinggi.

Saya mau berbagi tentang proses kreasi saya sendiri. Ada dua kondisi dimana saya bisa menggambar. Pertama, ketika saya ingin. Saat pikiran saya mengidolakan seseorang, maka saya menggambarnya. Saya pernah menggambar Cak Nur. Lumayan. Tapi sobek, karena saya gambar di HVS untuk mading. Pernah pula Muhammad Iqbal, nasibnya pun sama. Dua gambar yang bisa saya selamatkan, yaitu Lenin dan Tan Malaka (Lamp 1). Saya gambar dengan pensil gradasi, cotton bud, dan kertas linen. Hasrat menggambar muncul setelah membaca buku mereka.



Kedua, ketika dipaksa. Di kampung saya, jika istri hamil 7 bulan (Madura: pelet betteng), maka ada selamatan. Ngaji surat Yusuf dan Maryam, mandi kembang, melepas ayam perawan, serta sajian berupa kombinasi beras, telur, jajan, bunga, dan dua nyiur gading.  Khusus nyiur ini, biasanya digambar karakter laki dan perempuan. Selama ini saya lihat gambarnya asal-asalan. Misal gambar boneka atau wajah kartun. Maka pada hamil 7 bulan istri dan sepupu, saya ambil alih dan putuskan untuk menggambar wayang. Saya gambar dengan pensil dan jarum (Lamp 2).

Lalu kawan karib saya bertanya, apa hubungan antara hamil 7 bulan dengan gambar wayang? Saya jawab tidak ada. Itu hanya ekspresi seni. Tidak ada kesyirikan di dalamnya. Agama itu, kata Yudi Latif, butuh 3 hal: mitos, logos, dan etos. Gambar saya hanyalah etos. Ekspresi budaya. Surat al-Qur’an adalah logos. Mendoakan di masa hamil 7 bulan adalah mitos.

Ada aliran islam yang kaya etos. Sehingga setiap momen agama (maulid nabi, isra’ mi’raj, tahun baru islam, nisfu sya’ban, nuzulul Qur’an) sangat ramai. Penuh ekspresi budaya. Islam tidak hanya menjadi ritus personal, tapi juga selebrasi sosial. Tapi ada pula islam yang tidak mau etos, karena memandangnya sebagai bid’ah. Etos tidak ada dalam mitos dan logos islam, menurutnya. Hasilnya, kata Yudi, cukup kering dan kaku.



Kembali ke saya. Ada beberapa momen lain dimana saya dipaksa berkarya. Misalnya nikahan dan haji/umroh keluarga/sahabat, perayaan hari besar islam di masjid/musolla. Saya berkarya sebisanya, dengan kertas karton, stirofoam dan cat asturo untuk membuat kaligrafi dan ornamen. Memang bukan untuk diabadikan, hanya untuk kebutuhan musiman.

Tapi bagi saya itulah pengertian seni yang sebenarnya. Yaitu ekspresi cipta, rasa dan karsa kita, yang mewujud dalam bentuk karya. Bahwa itu terkenal dan dikenang, hanya waktu dan sejarah yang membuktikan. Karena merawat, menilai, mempublikasikan dan mempopulerkan seni adalah urusan profesi lain. Sementara urusan seniman hanya sampai pada lahirnya karya.

Sby, 5 Des 2017


Tidak ada komentar: