Sahabatku..
Sosok pemimpin lahir saat krisis sosial-eksternal.
Jiwa kepemimpinan ditempa dari krisis individual-internal.
Pemimpin menawarkan masa depan.
Kepemimpin dibangun oleh masa lalu.
Aku percaya kau memiliki sifat itu..
Jakarta, 25 Maret 2010
Kamis, 25 Maret 2010
Jakarta
Dan selamat tinggal Jakarta..
Banjirmu telah kusalur ke kanal otakku.
Panasmu telah kusadur ke kutub hatiku.
Lalu selamat tinggal Jakarta..
Macetmu telah kuberai di jalan mindaku.
Limbahmu telah kuurai di waduk jiwaku.
Maka sampai jumpa kembali Jakarta..
Jika nanti media bersaksi bahwa kau telah beda.
Jika kelak sahabat berteriak bahwa kau telah berubah.
Dan selamat tinggal Jakarta..
Jakarta, 26 Maret 2010
Banjirmu telah kusalur ke kanal otakku.
Panasmu telah kusadur ke kutub hatiku.
Lalu selamat tinggal Jakarta..
Macetmu telah kuberai di jalan mindaku.
Limbahmu telah kuurai di waduk jiwaku.
Maka sampai jumpa kembali Jakarta..
Jika nanti media bersaksi bahwa kau telah beda.
Jika kelak sahabat berteriak bahwa kau telah berubah.
Dan selamat tinggal Jakarta..
Jakarta, 26 Maret 2010
Rabu, 24 Maret 2010
Menang
Sahabatku, merayakan kemenangan mmg bahagia, tp mengarifi kekalahan adl utama. Tuhan mmg mencipta bentuk, tp Dia menilai proses. Ingat ayat yg selalu kita baca, Allah memberi, mencabut, mengangkat & menurunkan kekuasaan pd orang yg dikehendaki-Nya. Perang adl seni mempertahankan diri. Pemenang sejati bukanlah yg bertahan hidup, tp yg mempertahankan keyakinannya walau harus mati.
Jakarta, 23 Maret 2010
Jakarta, 23 Maret 2010
Sabar
Sahabatku, dalam berjuang nanti, jangan lelah dan putus asa. Kau mungkin akan diacuhkan, dicaci, ditertawakan, dilawan, dikucilkan bahkan bisa jadi dapat hukuman. Tapi beda pemimpin dengan orang awam adalah pada keteguhan hatinya. Jika kau sabar, kau akan menang. Lalu musuhmu akan menjauhimu dengan kekalahan, atau mendatangimu dengan wajah penuh harapan.
Jakarta, 24 Maret 2010
Jakarta, 24 Maret 2010
Senin, 22 Maret 2010
Do, Tell, Feel..
Life is not about a work, but do.
Nor about the expression, but tell.
It's not about an experience, but feel..
Jakarta, 15 Maret 2010
Nor about the expression, but tell.
It's not about an experience, but feel..
Jakarta, 15 Maret 2010
Surat untuk Obama
"Pak Obama.. Jangan datang Juni ke Indonesia. Tunda lagi hingga Agustus saja. Anda akan disambut dengan bendera, lomba, lagu, diskon, dan upacara. Tidak hanya di Jakarta, Bali dan Jogja, tapi di seluruh Nusantara. Saya penasaran, apakah Bapak masih ingat lagu Hari Merdeka? Kalau Bapak datang Agustus, saya akan buat lomba khusus bertema Anda di kampung saya. Trust me, Pak Obama.."
Jakarta, 21 Maret 2010
Jakarta, 21 Maret 2010
Perjalanan
Sahabatku.. Kau akan berjuang menjadi seseorang. Ingat, ini bukan akhir perjalanan. Memang di stasiun itu kau akan menjadi sesuatu yang lain dari kemarin. Tapi masih banyak stasiun setelahnya. Pilihanmu adalah menetap atau melanjutkan. Bawalah teman menyertaimu dalam satu atau lain gerbong. Di jalan kau pasti butuh bantuan. Selamat jalan. Semoga kelak kita berpapasan di perjalanan kita berjuang menjadi seseorang..
Jakarta, 22 Maret 2010
Jakarta, 22 Maret 2010
Senin, 08 Maret 2010
Kemuning..
Kemuning..
Setia hingga akhir senja.
Menanti sampai pudar warna.
Kemuning..
Tegar walau rapuh raga.
Senyum meski penuh lara.
Kemuning..
Menatap dunia dengan cinta.
Menapak jalan dalam ceria.
Kemuning..
Karena hari perlu makna.
Karena hidup untuk bahagia.
Jakarta, 8 Maret 2010
Setia hingga akhir senja.
Menanti sampai pudar warna.
Kemuning..
Tegar walau rapuh raga.
Senyum meski penuh lara.
Kemuning..
Menatap dunia dengan cinta.
Menapak jalan dalam ceria.
Kemuning..
Karena hari perlu makna.
Karena hidup untuk bahagia.
Jakarta, 8 Maret 2010
Kamis, 04 Maret 2010
Tik..
Setetes air jatuh di telaga bening pada gua tiada cahaya.
Pecah suara kecil lalu hening seperti sediakala.
Aku kembali menunggu detik saat langit menyentuh bumi yang hampa.
Jakarta, 4 Maret 2010
Pecah suara kecil lalu hening seperti sediakala.
Aku kembali menunggu detik saat langit menyentuh bumi yang hampa.
Jakarta, 4 Maret 2010
Pertiwiku
Lelaki tua itu masih saja melaut.
Seperti kulihat 29 tahun lalu.
Umurnya lebih cepat berlari dari nasibnya.
Nenek itu masih juga mencari kerang.
Tak henti ia sejak 29 tahun lalu.
Ubannya lebih banyak tumbuh dari hartanya.
Ibu pertiwi masih seperti aku terlahir dulu.
Derita rakyatnya lebih banyak dari prestasinya.
Jakarta, 4 Maret 2010
Seperti kulihat 29 tahun lalu.
Umurnya lebih cepat berlari dari nasibnya.
Nenek itu masih juga mencari kerang.
Tak henti ia sejak 29 tahun lalu.
Ubannya lebih banyak tumbuh dari hartanya.
Ibu pertiwi masih seperti aku terlahir dulu.
Derita rakyatnya lebih banyak dari prestasinya.
Jakarta, 4 Maret 2010
Rabu, 03 Maret 2010
Aku Mengerti
Setelah berjalan sejauh ini.
Aku baru mengerti.
Arti keseimbangan pada hukum alam.
Arti takdir dalam ikhtiar insan.
Arti janji di akhir perjuangan.
Laki-perempuan, utara-selatan, saintis-seniman,
petualang-rumahan, atau pendiam-periang.
Semua, dan kita berdua, dalam takdir yang dijanjikan demi sebuah keseimbangan.
Jakarta, 4 Maret 2010
Aku baru mengerti.
Arti keseimbangan pada hukum alam.
Arti takdir dalam ikhtiar insan.
Arti janji di akhir perjuangan.
Laki-perempuan, utara-selatan, saintis-seniman,
petualang-rumahan, atau pendiam-periang.
Semua, dan kita berdua, dalam takdir yang dijanjikan demi sebuah keseimbangan.
Jakarta, 4 Maret 2010
Aku Ingin Kamu Saja
Aku ingin mencintaimu saja,
bukan Juliet atau Cleopatra,
karena cinta bukan komparasi rupa.
Aku ingin menyayangimu saja,
bukan mantan pacar atau idola,
karena sayang bukan hayalan dan cita.
Aku ingin mengasihimu saja,
bukan dua gadis atau tiga,
karena kasih bukan hitungan angka.
Aku ingin kamu saja,
bukan dia atau mereka,
karena kamu yang terbaik dari semua.
Jakarta, 3 Maret 2010
bukan Juliet atau Cleopatra,
karena cinta bukan komparasi rupa.
Aku ingin menyayangimu saja,
bukan mantan pacar atau idola,
karena sayang bukan hayalan dan cita.
Aku ingin mengasihimu saja,
bukan dua gadis atau tiga,
karena kasih bukan hitungan angka.
Aku ingin kamu saja,
bukan dia atau mereka,
karena kamu yang terbaik dari semua.
Jakarta, 3 Maret 2010
Hidup yang Misteri
Jika hidup itu bukan misteri, maka hanya ada dua kemungkinan,
manusia sangat antusias menajalaninya, atau pasrah saja.
Karena tak ada informasi yang pasti tentang masa depan kita,
maka kita hanya wajib untuk mengusahakan yang terbaik untuknya.
Yang ada hanyalah hukum alam dan hukum moral,
bahwa siapa yang berusaha, dia akan mendapat balasan yang setimpal.
Hidup adalah perjuangan tiada akhir dari dua kemungkinan,
yaitu mungkin gagal atau mungkin berhasil.
Dunia memberikan peluang yang sama kepada setiap manusia,
24 jam sehari, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun.
Kalaupun ada perbedaan karena tempat kita hidup,
itu nyatanya adalah rahasia yang harus kita pecahkan.
Tuhan tidak melebihkan seseorang dari yang lain,
kecuali untuk ibadah dan amal baiknya.
Manusia berumur panjang tidak lebih baik dari yang berumur pendek,
karena manfaat hidup bukan diukur dari panjangnya usia.
Keindahan fisik dan kemampuan badaniah bukanlah ukuran keunggulan,
tapi siapa yang paling berguna bagi sesamalah yang lebih utama.
Yang merasakan nikmat hidup hanya diminta untuk bersyukur,
karena sesungguhnya yang diraihnya adalah pemberian semata.
Yang menderita hidupnya hanya diminta untuk bersabar,
karena sejatinya kesengsaraannya adalah ujian keimanan.
Kalau Tuhan menghendaki kita sengsara karena Dia suka dengan airmata kita,
bukankah sebuah kehormatan untuk tetap menjadi yang disukai-Nya?
Hidup memang misteri, bagi semua manusia, bahkan bagi para nabi,
karena Tuhan memang ingin melihat kita berusaha, berdoa dan berserah pada-Nya.
Jakarta, 3 Maret 2010
manusia sangat antusias menajalaninya, atau pasrah saja.
Karena tak ada informasi yang pasti tentang masa depan kita,
maka kita hanya wajib untuk mengusahakan yang terbaik untuknya.
Yang ada hanyalah hukum alam dan hukum moral,
bahwa siapa yang berusaha, dia akan mendapat balasan yang setimpal.
Hidup adalah perjuangan tiada akhir dari dua kemungkinan,
yaitu mungkin gagal atau mungkin berhasil.
Dunia memberikan peluang yang sama kepada setiap manusia,
24 jam sehari, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun.
Kalaupun ada perbedaan karena tempat kita hidup,
itu nyatanya adalah rahasia yang harus kita pecahkan.
Tuhan tidak melebihkan seseorang dari yang lain,
kecuali untuk ibadah dan amal baiknya.
Manusia berumur panjang tidak lebih baik dari yang berumur pendek,
karena manfaat hidup bukan diukur dari panjangnya usia.
Keindahan fisik dan kemampuan badaniah bukanlah ukuran keunggulan,
tapi siapa yang paling berguna bagi sesamalah yang lebih utama.
Yang merasakan nikmat hidup hanya diminta untuk bersyukur,
karena sesungguhnya yang diraihnya adalah pemberian semata.
Yang menderita hidupnya hanya diminta untuk bersabar,
karena sejatinya kesengsaraannya adalah ujian keimanan.
Kalau Tuhan menghendaki kita sengsara karena Dia suka dengan airmata kita,
bukankah sebuah kehormatan untuk tetap menjadi yang disukai-Nya?
Hidup memang misteri, bagi semua manusia, bahkan bagi para nabi,
karena Tuhan memang ingin melihat kita berusaha, berdoa dan berserah pada-Nya.
Jakarta, 3 Maret 2010
Selasa, 02 Maret 2010
Sang Guru
Setiap komunitas, baik itu organisasi ataupun paguyuban, mutlak memerlukan hadirnya seorang panutan. Dia bisa jadi pemimpin itu sendiri atau sekedar anggota yang dimuliakan. Tanpanya, komunitas akan menjadi lalu-lalang pertemanan saja. pembicaraan kesana-kemari tanpa ada yang diindahkan, apatah lagi menjadi sebuah visi dan misi bersama.
Tokoh panutan tidak lahir begitu saja tanpa seleksi alam yang ketat melalui kompetisi. Memang tidak harus dalam bentuk perlombaan atau pemilihan resmi, namun ada konsensus umum dan tidak tertulis bahwa siapapun yang membuktikan dirinya sebagai orang yang paling berkharisma, maka dialah yang akan dituakan. Kharisma hadir dalam berbagai bentuk. Bisa ilmu, wajah, bicara, badan, etika atau apapun. Tak ada penjelasan objektif atas kharisma ini. Yang pasti, kita semua memahaminya.
Hitler, Napoleon dan Sjahrir adalah contoh bagaimana manusia dengan tubuh kecil juga mampu membius massanya sehingga perintahnya diikuti. Stalin, Fidel Castro dan Saddam Husin adalah contoh lain betapa wajah yang 'angker' adalah sebuah modal khusus untuk bangunan bernama kharisma.
Kesediaan untuk mengikuti sang pimpinan juga bukan datang karena paksaan. Mereka rela untuk mendengarkan dia bicara, bahkan diam. Ada harga yang tak bisa dinilai dengan uang atau materi untuk sekedar mendatanginya, mengetahui kabarnya dan melihat keadaannya. Ada kebahagiaan yang bahkan, tak jarang mewujud dalam linang air mata ketika kita bisa bersilaturahmi dengannya.
Bahkan jauh setelah lama anggota komunitas itu berpisah. Kesan itu tetap ada. Kerinduan itu tetap tumbuh. Tidak hanya dari orang yang lebih muda, tapi yang sejajar dan bahkan yang lebih tua, rasa itu tetap sama. Pada orang demikian kita layak menyebutnya Sang Guru.
Saya tergabung dalam sebuah komunitas bernama X. Tak perlu semua orang tahu apa nama artinya. Kami memiliki seorang yang kami anggap Guru. Namanya Y. Nama panjangnyapun tak perlu saya sebut. Hampir semua teman seangkatannya, apalagi juniornya seperti saya, sunguh memuliakannya.
Tidak jelas sejak kapan lahirnya perasaan tersebut. Dia adalah sosok yang selalu kami tempatkan lebih tinggi di atas kami dalam beberapa hal. Walaupun dalam hal lain mungkin dia kalah, tapi kami tetap tidak mau meninggikan diri kami di atasnya.
Dalam kurun waktu tertentu ketidakberjumpaan kami dengannya memerlukan kami untuk berkunjung sekedar bertanya kabarnya. Kami rindu akan canda dan gurauan dia. Kami tidak berharap banyak mendapatkan siraman ilmu dan doa restu. Tidak. Sungguh tidak. Seolah perjumpaan dengannya saja, sudah menjadi doa yang kasat mata walau nyata-nyata sepanjang pertemuan hanyalah makan, minum, ngobrol, ngopi dan ngerokok.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana sikap saya andaikata saya diberikan kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang saya sebut di atas. Pengabdian. Mungkin itu kata yang tepat yang akan saya lakukan untuk mereka semua.
Pengabdian kepada sang guru, bagi seorang murid, adalah cara lain dari menuntut ilmu padanya. Ilmu tidak hanya masuk dari ceramah dan kuliah kelas, tapi juga percakapan, perintah bahkan amarahnya. Yang terpenting dari menuntut ilmu adalah sikap rela antara murid dan guru itu sendiri.
Pada rela kita menemukan rasa yang lebih tinggi dari cinta. Bukankah memang rela (ridho) adalah pahala terbesar untuk manusia di akhirat kelak? Dari Sang Maha Guru untuk para ummat-Nya.
Jakarta, 2 Maret 2010
Tokoh panutan tidak lahir begitu saja tanpa seleksi alam yang ketat melalui kompetisi. Memang tidak harus dalam bentuk perlombaan atau pemilihan resmi, namun ada konsensus umum dan tidak tertulis bahwa siapapun yang membuktikan dirinya sebagai orang yang paling berkharisma, maka dialah yang akan dituakan. Kharisma hadir dalam berbagai bentuk. Bisa ilmu, wajah, bicara, badan, etika atau apapun. Tak ada penjelasan objektif atas kharisma ini. Yang pasti, kita semua memahaminya.
Hitler, Napoleon dan Sjahrir adalah contoh bagaimana manusia dengan tubuh kecil juga mampu membius massanya sehingga perintahnya diikuti. Stalin, Fidel Castro dan Saddam Husin adalah contoh lain betapa wajah yang 'angker' adalah sebuah modal khusus untuk bangunan bernama kharisma.
Kesediaan untuk mengikuti sang pimpinan juga bukan datang karena paksaan. Mereka rela untuk mendengarkan dia bicara, bahkan diam. Ada harga yang tak bisa dinilai dengan uang atau materi untuk sekedar mendatanginya, mengetahui kabarnya dan melihat keadaannya. Ada kebahagiaan yang bahkan, tak jarang mewujud dalam linang air mata ketika kita bisa bersilaturahmi dengannya.
Bahkan jauh setelah lama anggota komunitas itu berpisah. Kesan itu tetap ada. Kerinduan itu tetap tumbuh. Tidak hanya dari orang yang lebih muda, tapi yang sejajar dan bahkan yang lebih tua, rasa itu tetap sama. Pada orang demikian kita layak menyebutnya Sang Guru.
Saya tergabung dalam sebuah komunitas bernama X. Tak perlu semua orang tahu apa nama artinya. Kami memiliki seorang yang kami anggap Guru. Namanya Y. Nama panjangnyapun tak perlu saya sebut. Hampir semua teman seangkatannya, apalagi juniornya seperti saya, sunguh memuliakannya.
Tidak jelas sejak kapan lahirnya perasaan tersebut. Dia adalah sosok yang selalu kami tempatkan lebih tinggi di atas kami dalam beberapa hal. Walaupun dalam hal lain mungkin dia kalah, tapi kami tetap tidak mau meninggikan diri kami di atasnya.
Dalam kurun waktu tertentu ketidakberjumpaan kami dengannya memerlukan kami untuk berkunjung sekedar bertanya kabarnya. Kami rindu akan canda dan gurauan dia. Kami tidak berharap banyak mendapatkan siraman ilmu dan doa restu. Tidak. Sungguh tidak. Seolah perjumpaan dengannya saja, sudah menjadi doa yang kasat mata walau nyata-nyata sepanjang pertemuan hanyalah makan, minum, ngobrol, ngopi dan ngerokok.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana sikap saya andaikata saya diberikan kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang saya sebut di atas. Pengabdian. Mungkin itu kata yang tepat yang akan saya lakukan untuk mereka semua.
Pengabdian kepada sang guru, bagi seorang murid, adalah cara lain dari menuntut ilmu padanya. Ilmu tidak hanya masuk dari ceramah dan kuliah kelas, tapi juga percakapan, perintah bahkan amarahnya. Yang terpenting dari menuntut ilmu adalah sikap rela antara murid dan guru itu sendiri.
Pada rela kita menemukan rasa yang lebih tinggi dari cinta. Bukankah memang rela (ridho) adalah pahala terbesar untuk manusia di akhirat kelak? Dari Sang Maha Guru untuk para ummat-Nya.
Jakarta, 2 Maret 2010
Senin, 01 Maret 2010
Cerita untuk Istriku
Perlu kau tahu, istriku.
Ada wajah yang selalu aku rindu.
Wajah itu adalah wajahmu 16 tahun yang lalu. Wajahmu pada tahun 1994.
Tahun ketika aku pertama kali melihatmu. Di SMP kita dulu.
Istriku.
Ada perasaan, hasrat dan kata hati yang telah tertelan sejarah dan hari-hari.
Yang tak sempat aku ungkapkan padamu dulu.
Sesungguhnya aku pernah menyukai, mengagumi, mendambakan dan memimpikanmu.
Bahwa kau adalah gadis yang tepat untuk dicintai dan dimiliki.
Kau mungkin tak kan percaya itu, istriku.
Tapi memang aku tak punya saksi kecuali hatiku sendiri.
Yang bisa aku saksikan hanya kejujuranku.
Yang kadang kau tanggapi sebagai gombal dan rayuan.
Tapi tak apa.
Resiko orang yang tidak pernah menulis buku sejarah adalah dilupakan oleh sejarah itu sendiri.
Istriku,
Aku mungkin belum bisa mengingat sepenuhnya bagaimana masa SMA-ku.
Tapi yang pasti, kau sungguh sangat agung dibandingkan diriku sendiri.
Dan itu pastilah menjadikanku orang yang sangat wajar untuk tetap mengagumimu.
Begitu pula ketika kita kuliah, istriku.
Kita memang beda kota. Aku di Malang.
Tapi entah mengapa dulu hatiku selalu terikat dengan Surabaya?
Dengan banyak sebab dan alasan.
Aku tidak tahu, adakah dulu malaikat yang membuntuti langkahku?
Yang mengabariku pesan halus bahwa Surabaya adalah kota keramat dan penuh arti?
Dan aku terlalu penuh dosa dan naif untuk menyadari bahwa di kota itu ada kamu.
Aku tidak pernah sadar itu.
Andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini untuk masa lalu.
Atau andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini ke masa depan.
Mungkin setiap manusia akan tertawa, menangis dan tertegun.
Betapa skenario Tuhan begitu kompleks dan rumitnya.
Semua baru aku sadari sekarang.
Usaha sebesar apapun tak akan jadi, tanpa restu-Nya.
Aku pernah mencoba membuat jalan.
Tapi nyatanya, jalan itu menuju titik yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Dan pada akhirnya, aku jadi hanya terpana.
Bahwa jalan itu adalah jalan yang sudah aku kenal sebelumnya.
Tapi pada saat aku membuatnya, aku tak pernah sadar bahwa ada garis samar di sana.
Takdir telah mempertemukan kita.
Kita telah menciptakan jalan untuk bertemu.
Seolah-olah kita benar-benar merintis jalan itu.
Padahal jalan itu adalah jalan azali.
Jalan yang sudah tertulis jauh hari sebelum kita terlahir di sini.
Istriku,
Aku ingin tetap bersamamu, hingga hari akhir nanti.
Hingga jalan yang tak berujung di alam yang bukan dunia.
Kita sekarang masih merintis jalan itu.
Kelak kita akan tahu bagaimana rupa jalan itu.
Jakarta, 2 Maret 2010
Ada wajah yang selalu aku rindu.
Wajah itu adalah wajahmu 16 tahun yang lalu. Wajahmu pada tahun 1994.
Tahun ketika aku pertama kali melihatmu. Di SMP kita dulu.
Istriku.
Ada perasaan, hasrat dan kata hati yang telah tertelan sejarah dan hari-hari.
Yang tak sempat aku ungkapkan padamu dulu.
Sesungguhnya aku pernah menyukai, mengagumi, mendambakan dan memimpikanmu.
Bahwa kau adalah gadis yang tepat untuk dicintai dan dimiliki.
Kau mungkin tak kan percaya itu, istriku.
Tapi memang aku tak punya saksi kecuali hatiku sendiri.
Yang bisa aku saksikan hanya kejujuranku.
Yang kadang kau tanggapi sebagai gombal dan rayuan.
Tapi tak apa.
Resiko orang yang tidak pernah menulis buku sejarah adalah dilupakan oleh sejarah itu sendiri.
Istriku,
Aku mungkin belum bisa mengingat sepenuhnya bagaimana masa SMA-ku.
Tapi yang pasti, kau sungguh sangat agung dibandingkan diriku sendiri.
Dan itu pastilah menjadikanku orang yang sangat wajar untuk tetap mengagumimu.
Begitu pula ketika kita kuliah, istriku.
Kita memang beda kota. Aku di Malang.
Tapi entah mengapa dulu hatiku selalu terikat dengan Surabaya?
Dengan banyak sebab dan alasan.
Aku tidak tahu, adakah dulu malaikat yang membuntuti langkahku?
Yang mengabariku pesan halus bahwa Surabaya adalah kota keramat dan penuh arti?
Dan aku terlalu penuh dosa dan naif untuk menyadari bahwa di kota itu ada kamu.
Aku tidak pernah sadar itu.
Andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini untuk masa lalu.
Atau andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini ke masa depan.
Mungkin setiap manusia akan tertawa, menangis dan tertegun.
Betapa skenario Tuhan begitu kompleks dan rumitnya.
Semua baru aku sadari sekarang.
Usaha sebesar apapun tak akan jadi, tanpa restu-Nya.
Aku pernah mencoba membuat jalan.
Tapi nyatanya, jalan itu menuju titik yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Dan pada akhirnya, aku jadi hanya terpana.
Bahwa jalan itu adalah jalan yang sudah aku kenal sebelumnya.
Tapi pada saat aku membuatnya, aku tak pernah sadar bahwa ada garis samar di sana.
Takdir telah mempertemukan kita.
Kita telah menciptakan jalan untuk bertemu.
Seolah-olah kita benar-benar merintis jalan itu.
Padahal jalan itu adalah jalan azali.
Jalan yang sudah tertulis jauh hari sebelum kita terlahir di sini.
Istriku,
Aku ingin tetap bersamamu, hingga hari akhir nanti.
Hingga jalan yang tak berujung di alam yang bukan dunia.
Kita sekarang masih merintis jalan itu.
Kelak kita akan tahu bagaimana rupa jalan itu.
Jakarta, 2 Maret 2010
Ada yang Beda
Ada yang kurang hari ini, aku tak menciummu pagi tadi..
Ada yang tak lengkap hari ini, aku lupa mengucap cinta di awal hari..
Ada yang beda hari ini, tak ada kau menemaniku di sini..
Jakarta, 1 Maret 2010
Ada yang tak lengkap hari ini, aku lupa mengucap cinta di awal hari..
Ada yang beda hari ini, tak ada kau menemaniku di sini..
Jakarta, 1 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)