Senin, 01 Maret 2010

Cerita untuk Istriku

Perlu kau tahu, istriku.
Ada wajah yang selalu aku rindu.
Wajah itu adalah wajahmu 16 tahun yang lalu. Wajahmu pada tahun 1994.
Tahun ketika aku pertama kali melihatmu. Di SMP kita dulu.

Istriku.
Ada perasaan, hasrat dan kata hati yang telah tertelan sejarah dan hari-hari.
Yang tak sempat aku ungkapkan padamu dulu.
Sesungguhnya aku pernah menyukai, mengagumi, mendambakan dan memimpikanmu.
Bahwa kau adalah gadis yang tepat untuk dicintai dan dimiliki.

Kau mungkin tak kan percaya itu, istriku.
Tapi memang aku tak punya saksi kecuali hatiku sendiri.
Yang bisa aku saksikan hanya kejujuranku.
Yang kadang kau tanggapi sebagai gombal dan rayuan.
Tapi tak apa.
Resiko orang yang tidak pernah menulis buku sejarah adalah dilupakan oleh sejarah itu sendiri.

Istriku,
Aku mungkin belum bisa mengingat sepenuhnya bagaimana masa SMA-ku.
Tapi yang pasti, kau sungguh sangat agung dibandingkan diriku sendiri.
Dan itu pastilah menjadikanku orang yang sangat wajar untuk tetap mengagumimu.

Begitu pula ketika kita kuliah, istriku.
Kita memang beda kota. Aku di Malang.
Tapi entah mengapa dulu hatiku selalu terikat dengan Surabaya?
Dengan banyak sebab dan alasan.

Aku tidak tahu, adakah dulu malaikat yang membuntuti langkahku?
Yang mengabariku pesan halus bahwa Surabaya adalah kota keramat dan penuh arti?
Dan aku terlalu penuh dosa dan naif untuk menyadari bahwa di kota itu ada kamu.
Aku tidak pernah sadar itu.

Andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini untuk masa lalu.
Atau andai takdir itu bisa dibaca dari masa kini ke masa depan.
Mungkin setiap manusia akan tertawa, menangis dan tertegun.
Betapa skenario Tuhan begitu kompleks dan rumitnya.

Semua baru aku sadari sekarang.
Usaha sebesar apapun tak akan jadi, tanpa restu-Nya.

Aku pernah mencoba membuat jalan.
Tapi nyatanya, jalan itu menuju titik yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Dan pada akhirnya, aku jadi hanya terpana.
Bahwa jalan itu adalah jalan yang sudah aku kenal sebelumnya.
Tapi pada saat aku membuatnya, aku tak pernah sadar bahwa ada garis samar di sana.

Takdir telah mempertemukan kita.
Kita telah menciptakan jalan untuk bertemu.
Seolah-olah kita benar-benar merintis jalan itu.
Padahal jalan itu adalah jalan azali.
Jalan yang sudah tertulis jauh hari sebelum kita terlahir di sini.

Istriku,
Aku ingin tetap bersamamu, hingga hari akhir nanti.
Hingga jalan yang tak berujung di alam yang bukan dunia.
Kita sekarang masih merintis jalan itu.
Kelak kita akan tahu bagaimana rupa jalan itu.

Jakarta, 2 Maret 2010

Tidak ada komentar: