Selasa, 02 Maret 2010

Sang Guru

Setiap komunitas, baik itu organisasi ataupun paguyuban, mutlak memerlukan hadirnya seorang panutan. Dia bisa jadi pemimpin itu sendiri atau sekedar anggota yang dimuliakan. Tanpanya, komunitas akan menjadi lalu-lalang pertemanan saja. pembicaraan kesana-kemari tanpa ada yang diindahkan, apatah lagi menjadi sebuah visi dan misi bersama.

Tokoh panutan tidak lahir begitu saja tanpa seleksi alam yang ketat melalui kompetisi. Memang tidak harus dalam bentuk perlombaan atau pemilihan resmi, namun ada konsensus umum dan tidak tertulis bahwa siapapun yang membuktikan dirinya sebagai orang yang paling berkharisma, maka dialah yang akan dituakan. Kharisma hadir dalam berbagai bentuk. Bisa ilmu, wajah, bicara, badan, etika atau apapun. Tak ada penjelasan objektif atas kharisma ini. Yang pasti, kita semua memahaminya.

Hitler, Napoleon dan Sjahrir adalah contoh bagaimana manusia dengan tubuh kecil juga mampu membius massanya sehingga perintahnya diikuti. Stalin, Fidel Castro dan Saddam Husin adalah contoh lain betapa wajah yang 'angker' adalah sebuah modal khusus untuk bangunan bernama kharisma.

Kesediaan untuk mengikuti sang pimpinan juga bukan datang karena paksaan. Mereka rela untuk mendengarkan dia bicara, bahkan diam. Ada harga yang tak bisa dinilai dengan uang atau materi untuk sekedar mendatanginya, mengetahui kabarnya dan melihat keadaannya. Ada kebahagiaan yang bahkan, tak jarang mewujud dalam linang air mata ketika kita bisa bersilaturahmi dengannya.

Bahkan jauh setelah lama anggota komunitas itu berpisah. Kesan itu tetap ada. Kerinduan itu tetap tumbuh. Tidak hanya dari orang yang lebih muda, tapi yang sejajar dan bahkan yang lebih tua, rasa itu tetap sama. Pada orang demikian kita layak menyebutnya Sang Guru.

Saya tergabung dalam sebuah komunitas bernama X. Tak perlu semua orang tahu apa nama artinya. Kami memiliki seorang yang kami anggap Guru. Namanya Y. Nama panjangnyapun tak perlu saya sebut. Hampir semua teman seangkatannya, apalagi juniornya seperti saya, sunguh memuliakannya.

Tidak jelas sejak kapan lahirnya perasaan tersebut. Dia adalah sosok yang selalu kami tempatkan lebih tinggi di atas kami dalam beberapa hal. Walaupun dalam hal lain mungkin dia kalah, tapi kami tetap tidak mau meninggikan diri kami di atasnya.

Dalam kurun waktu tertentu ketidakberjumpaan kami dengannya memerlukan kami untuk berkunjung sekedar bertanya kabarnya. Kami rindu akan canda dan gurauan dia. Kami tidak berharap banyak mendapatkan siraman ilmu dan doa restu. Tidak. Sungguh tidak. Seolah perjumpaan dengannya saja, sudah menjadi doa yang kasat mata walau nyata-nyata sepanjang pertemuan hanyalah makan, minum, ngobrol, ngopi dan ngerokok.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana sikap saya andaikata saya diberikan kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang saya sebut di atas. Pengabdian. Mungkin itu kata yang tepat yang akan saya lakukan untuk mereka semua.

Pengabdian kepada sang guru, bagi seorang murid, adalah cara lain dari menuntut ilmu padanya. Ilmu tidak hanya masuk dari ceramah dan kuliah kelas, tapi juga percakapan, perintah bahkan amarahnya. Yang terpenting dari menuntut ilmu adalah sikap rela antara murid dan guru itu sendiri.

Pada rela kita menemukan rasa yang lebih tinggi dari cinta. Bukankah memang rela (ridho) adalah pahala terbesar untuk manusia di akhirat kelak? Dari Sang Maha Guru untuk para ummat-Nya.


Jakarta, 2 Maret 2010

Tidak ada komentar: