Kamis, 17 Oktober 2013

AIR MATA UNTUK IBU

Aku pernah menangis dalam solat, menangis ketika rindu rasulullah, atau menangis karena ingat dosa. Tapi jujur, aku paling sering menangis karena ibu. Entah karena rindu, minta maaf, memberi kabar gembira, berpamitan, mohon doa restu, atau lainnya. Saat lulus UMPTN dulu aku memberitahunya dengan memeluknya dari belakang, dan tiba-tiba saja aku menangis. Ketika belum bisa lulus kuliah, aku bersimpuh di kakinya, dan aku tidak kuasa menahan airmata. Saat hendak berangkat akad nikah, aku mohon restu, dan rasanya badan ini mau pingsan karena tak kuat menahan haru dan sedih. Beberapa hari yang lalu, tengah malam, entah mengapa aku ingat ibuku. Lalu bayangan yang terlintas saat itu adalah detik-detik ketika aku akan meninggalkan rumah ketika hendak menikah. Setiap membayangkan adegan itu, aku pasti menangis. * Dalam hidupku aku menyaksikan adegan itu (lebih tepatnya disebut ritual) tiga kali, dan aku mengalaminya sendiri satu kali. Pertama kali ketika kakak perempuanku hendak menikah (1997). Kali kedua saat kakak sepupuku menikah (1999). Ketiga kalinya ketika adik sepupuku hendak bekerja ke Jakarta (2002). Kali terakhir ketika aku sendiri akan berumahtangga (2009). Semuanya membuat airmata berurai. Aku tidak tahu sejak kapan ritual ini ditradisikan di keluargaku. Kalau dikaji secara syariah, memang tidak ada perintah, alias bid’ah. Namun secara adat dan adab bahkan logika, tak ada yang dilanggar. Ini sungguh contoh tradisi yang baik, adab yang etis dan perilaku yang masuk nalar. Ritual itu adalah merangkak di antara dua kaki ibu, atau lebih gamblangnya, merangkak di bawah (maaf) selangkangan ibu. Tiga kali, memutar ke arah kiri. Aku tidak menanyakan pada ayah apa maksudnya, karena aku sudah dewasa, sudah faham. Aku juga tidak bertanya kenapa harus tiga kali, dan balik kiri. Bagiku itu adalah perkara teknis dan bukan substantif. Pagi itu 15 April 2009 sekitar pukul 7 pagi, waktu dhuha sudah dimulai, aku dituntun oleh ayah ke kamar mereka (kamar ayah ibu), kamar dimana aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku. Kamar tempat aku dan kakak perempuanku sering bermain dulu. Kamar dimana aku sering diminta ngerokin, mijit dan injit-injit orangtuaku. Ibu berdiri menghadap ke utara. Setelah aku berdiri di hadapan ibu, ayah memintaku menunduk, posisi merangkak. Aku ingat di kamar itu hanya ada kami berlima. Di belakangku berdiri kakak perempuanku dan kakak sepupuku yang sudah tinggal di rumah kami sejak dia masih kelas 3 SD. Aku dengar mereka sudah sesenggukan. Aku sendiri masih bisa mengontrol emosiku. Ayah lalu menyuruh ibu merenggangkan kedua kakinya, dan mengangkat “samper” nya, hingga memungkinkan aku untuk merangkak melewati kedua kakinya. Tepat ketika kepalaku mulai melewati kedua kaki ibu, aku sudah tidak tahan. Mataku sembab, basah dan perih. Aku menutup mata. Hidungku tersumbat namun ingus menetes. Mulutku tiba-tiba menangis. Tak ada lagi suara sesenggukan yang ku dengar. Aku hanya mendengar suaraku tangisku sendiri. Aku tahu ibuku juga menangis. Di kamar itu hanya ayahku yang tidak menangis, walau aku tahu itu karena ayah kuat-kuatkan, karena ayahlah yang terus member intruksi dan membimbing rangkakku melewati kedua kaki ibu. Aku putar ke kiri, terus merangkak lagi dari arah depan ibu, melewati kedua kakinya untuk kedua kali. Waktu yang dibutuhkan untuk merangkak tiga kali itu mungkin hanya 1-2 menit, tapi seperti berlangsung berhari-hari. Di beberapa detik itu terbayang semua episode masa kanan-kanak dan masa mudaku, dimana aku sering membuat ibu marah, jengkel, bahkan mungkin menangis. Aku ingat waktu SD aku minta dibeliin mainan, dan ibu dengan segala tenaga harus menghemat kebutuhan rumah tangga. Aku ingat waktu SMP sering minta dibeliin sepedamotor, dan ibu dengan susah payah membelikannya ketika aku sudah kelas 2 SMA. Aku ingat hampir setiap jam 9 malam ketika kelas 1 SMA aku harus dijemput ibu atau ayah dari rumah temanku, karena aku berkumpul untuk ngobrol, main kartu atau dengerin lagu. Aku ingat ibuku memarahiku ketika dia tahu waktu SMA aku saling berkirim surat dengan gadis desa sebelah. Aku ingat ibuku marah-marah karena aku menghabiskan uang tabunganku hanya untuk beli kaset tape-recorder atau baju-celana. Aku ingat tahun 1999 ke Bali berdua dengan teman karibku tanpa restu karena kami hanya pamit mau ke Muncar saja. Aku ingat ketika kelas 6 MI, tiap subuh ibu mengantarku ke madrasah, walau di jalan aku ngomel-ngomel karena tak kuat kantuk. Aku ingat semuanya hanya dalam 3 putaran merangkak itu. Setelah sudah tak terhitung lagi berapa kali hidung menetes dan berapa banyak airmata jatuh, tiba saatnya untuk berdiri, pamit pada ibu, yang telah membesarkanku selama 28 tahun ini dan harus pindah ke rumah orang baru, gadis baru, “orang tua” baru. Ayah bilang, “cium tangan ibumu”. Aku langsung mencium kedua tangan ibu. “Peluk”, aku peluk ibuku, aku cium pipinya kanan kiri. Lalu perintah ayah “Sudah, balik kanan dan jangan menoleh kembali ke belakang sampai akad nikahmu selesai.” Tangisku meledak, aku dengar ibu juga begitu. Dua kakakku menangkapku dari depan. Mereka memelukku bergantian. Mereka semua menangis tak karuan, mereka menciumku. Ingin rasanya aku menoleh pada wajah ibu waktu itu, tapi aku ingat pesan ayah. Langkah kakiku terasa berat dan berbunyi keras. Lambat sekali seperti slow motion dalam film. Pikiranku sudah tidak tahu kemana. Yang aku ingat hanyalah setiap kali kutemui orang di depanku, mereka memelukku. Aku melangkah ke mobil paling depan, mobil pengantin. Ibu dan ayahku akan naik mobil lainnya, aku masih menangis. Paman dan kakakku memintaku berhenti. Lalu ayah bilang kembali “Ucapkan salam perpisahan pada rumah ini dan semua penghuninya”. Aku lupa apakah waktu itu kalimat salam itu terpenggal ataukah lancar kuucapkan. Yang aku ingat aku melambaikan tangan pada nenekku yang waktu itu tidak bisa ikut nikahan karena sejak 3 tahun sebelumnya tidak bisa jalan karena patah tulang. Mobil rombonganpun berjalan. Dan hingga akad nikah selesai, aku memang tidak menoleh ke belakang. Akad nikah lancar. Lalu aku menemui mempelai perempuan dan semua keluarganya. Lalu wajah-wajah itu muncul kembali. Ibu, ayah, dua kakakku. Kali ini dengan senyum dan tatapan mata haru bahagia. Kami berfoto bersama. * Ketika aku dan dua kakakku merangkak, tak ada kalimat yang ibu ucapkan. Tapi aku tahu bahwa sebenarnya ada kalimat yang harusnya diucapkan. Itu soal metode saja. Aku tahu apa isi kalimat itu ketika adik sepupuku hendak merantau ke Jakarta tahun 2002. Setelah selesai merangkak tiga kali, adik sepupuku meminta ibunya (kebetulan adik sepupuku yatim, jadi dia sendiri yang menggantikan posisi ayahnya untuk memberi intruksi ritual) agar mengucapkan kalimat yang berbunyi kurang lebih sebagai berikut. “Nak, kamu adalah darah dagingku. Aku sudah ridho atasmu. Maka tak akan ada yang bakal melukai tubuhmu, kecuali aku. Dan tak akan ada yang bisa mengancam keselamatanmu, kecuali aku.” Kalimat itu tidak diucapkan ibu, dan tidak diperintahkan ayah. Mungkin memang tidak perlu, atau ayah tidak tahu. Tapi esensi dari pamitan dengan merangkak adalah sama dengan kalimat itu. Jikapun ibu mengucapkan kalimat itu, aku yakin kalimat itu akan sangat lama untuk diselesaikannya karena goncangan jiwa kami pagi itu. Aku telah meminta restu serestu-restunya pada ibu. Dan ibu telah memberi restunya padaku. Maka tak ada yang perlu aku takutkan di dunia ini karena aku melangkah dengan ridho dari ibu. Pamekasan, 12 Oktober 2013

Tidak ada komentar: