Kamis, 17 Oktober 2013

Guru Tulang

UMPTN bagi kita dulu adalah perjuangan besar. Jika lulus, kita bisa kuliah di kampus negeri yang bagus dan murah. Jika tidak, maka siap-siap ke swasta yang mahal dan kurang qualified. UMPTN 1999 saya dan kakak sepupu saya (Rahmat) Alhamdulillah lulus UMPTN. Saya di Unibraw, Rahmat di Unesa. Tahun 2000 ada dua teman sekampung saya yang keterima UMPTN lagi, satu di Unibraw (Husni), satu lagi di Unej (Ali). Tahun 2001, Taufiq, teman masa kecil saya, sekaligus cucu guru ngaji saya, Kyai Rosul Faqih, ngajak ngobrol. Dia bilang “Saya mau cerita. Kamu boleh percaya, boleh tidak. Ini cerita kebetulan yang berkaitan dengan ikhtiar kalian dan keputusan Allah. Dan jangan anggap bahwa saya cerita ini untuk membesar-besarkan nama keluarga. Dan semoga kita terlindung dari syirik.” Saya menggangguk. “Begini,” katanya melanjutkan, “sejak tahun 1998 saya mengamati siapa saja santri alumni langgar ini yang datang ke sini untuk silaturahim atau sowan minta doa ke mba (Kyai Rosul). Tahun 1998 tidak ada satupun yang ke mba untuk sowan. Pas kebetulan UMPTN tahun itu tidak ada yang lulus.” “Tahun 1999 hanya kamu dan Rahmat yang datang ke mba untuk minta doa. Pas kebetulan tahun itu hanya kalian berdua yang lulus UMPTN”. “Tahun 2000 lalu, saya perhatikan hanya ada Ali dan Husni yang kemari. Pas kebetulan mereka berdua keterima UMPTN.” “Husni, seperti kamu tahu, aslinya angkatan 1998, tapi tidak lulus UMPTN dua tahun berturut-turut (1998 dan 1999) dan memilih bekerja. Tahun 1998 dan 1999 dia tidak ke sini. Tahun 2000 (kesempatan terakhirnya ikut UMPTN) dia ke sini.” “Tahun ini, 2001, tak ada santri alumni yang kesini, dan memang tak ada dari mereka yang keterima. Silahkan ambil sendiri hikmah cerita ini. Boleh disambung-sambungkan, boleh tidak. Tapi itu lah faktanya.” Katanya menutup cerita. Saya mengambil hikmah dari cerita itu bahwa datang sowan ke guru ngaji adalah hal yang sangat baik dan diperintahkan agama. Selebihnya, kebetulan saja. Kyai Rosul adalah guru ngaji kami, guru langgar. Beliau yang mengajari kami alif, ba’, ta’ hingga kami hatam al-qur’an. Kakak sepupu saya menyebutnya dengan dengan istilah guru tolang. Ibarat tubuh, maka penyangga kita berdiri tegak adalah tulang. Maka, kata kakak saya, jika ada guru yang paling harus kita hormati dari yang lain, guru tulang-lah orangnya. Kata teman saya dari kampung arab, guru langgar lebih ditakuti daripada orangtua sendiri. Guru langgar biasanya adalah guru yang paling ikhlas. Mereka tidak dibayar professional. Selain pendapatan sehari-hari mereka yang memang pas-pasan, mereka biasanya mendapatkan tambahan makanan dari orang-orang yang datang minta doa, rasolan, maulidan, selamatan, ongkos pijat anak, atau dari undangan lainnya. Ada seorang santri alumni langgar kami (langgar Al-Faqih), namanya H. Sulaiman, yang sangat memuliakan Kyai Rosul. Keluarga H. Sulaiman tidak hanya menjadi donatur utama pemugaran langgar tua kami, tapi juga tahun 2009 lalu, H. Sulaiman mengajak Kyai Rosul umroh ke Mekkah. Memang usia beliau sudah sangat sepuh. Tidak memungkinkan (secara hitungan akal) untuk mengikutkan beliau haji, yang antriannya di Pamekasan mencapai 15 tahun. Saya salah satu santrinya, hanya bisa mendoakan beliau setiap kali ingat sehabis solat, agar beliau senantiasa sehat wal-afiyat dan husnul khotimah. Di usianya yang mungkin sudah di atas 90 tahun, beliau masih rajin nyapu langgar, nyapu halaman, nyabut rumput, atau ngapur pagar. Walau beliau perokok aktif, tapi Alhamdulillah badan beliau masih segar, walau dari dulu selalu batuk. Beliau masih belum pikun, hanya penglihatan dan pendengarannya saja yang sudah sangat berkurang. Idul Fitri kemarin saya bersama anak istri silaturahim ke beliau. “Sapa reyah?” Tanyanya. “Yadi Ba.” Jawab saya. “Yadi sapah?” Tanyanya lagi. “Yadi-nah Pak Ham.” Jawab saya lagi. “Oohh..” Jawab beliau sambil mengangguk. Saya cium tangannya, lalu diikuti anak istri saya. Surabaya, 30 September 2013

Tidak ada komentar: