Kamis, 17 Oktober 2013

FROM HERO TO ZERO

FROM HERO TO ZERO Tahun 2002-2004 saya tinggal di HMI Komisariat Ekonomi Unibraw (Komek), karena waktu itu saya kepala sukunya. Lumrahnya organisasi, banyak orang keluar masuk, anggota atau bukan. Suatu hari HP teman saya, Tirmizi, hilang. Beberapa hari kemudian, giliran HP Rajafi raib di ruang TV. Kami langsung yakin bahwa pelakunya adalah maling kambuhan di sekitar kos. Karena dua kali kecolongan, maka Tirmizi mengajak saya ke orang pintar di Desa Tegalgondo, belakang Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Saya lupa nama orang itu. “Mau yang langsung mati, kapok, atau balik lagi?” Tanya orang itu. “Kalau mau yang mati, sediakan anu. Kalau mau yang kapok, sediakan anu. Kalau mau maling itu balik lagi ke rumah kalian, sehingga dipergoki, ini wirid-nya”. Tirmizi menjalankan wirid itu, yakni istighfar 1000 kali setiap malam sampai satu minggu. Setelah jalan lima hari Tirmizi sudah nyerah dan ikhlas saja. Tapi entah di hari ke enam atau ke tujuh ada kejadian unik. * Pagi itu sekitar pukul 7 pagi. Tirmizi mandi, Rajafi tidur di depan TV, saya hendak solat di kamar depan (bukan kamar saya). Semua pintu terbuka. Hanya pintu saya separuh tertutup. Di tengah solat saya merasakan ada bayangan masuk ke kamar Tirmizi, tepat di seberang tempat saya solat. Saya lanjutkan solat. Selepas solat saya langsung ke kamar Tirmizi. Saya menunggu di depan pintu. Mau masuk ke dalam takut kena pukul. Tidak sampai semenit saya berdiri, sosok itu keluar pintu dan langsung menatap saya. Rambutnya kriting, tingginya sama seperti saya. Di lehernya ada tato kalung. Wajahnya kusut. Dia bukan penghuni, bukan anggota Komek, dan bukan anak HMI dari fakultas manapun, bahkan bukan mahasiswa. Sosoknya kurang lebih sama seperti yang digambarkan orang pintar itu. Saya bentak dia: “Kamu siapa?! Masuk kamar orang!” Dia balik bentak: “Aku cari Iwan! Mana dia! Aku cari Iwan!” Di Komek tidak ada yang bernama Iwan. Jadi saya yakin dia maling kambuhan itu. Saya bentak lagi: “Gak ada nama Iwan di sini. Kamu pasti maling!” Belum sempat dia jawab, saya langsung arahkan pukulan ke mukanya. Saya lupa kena atau tidak, tapi dia langsung melawan dan keluar pintu dengan mendorong saya. Saya mengejarnya. Di depan Komek adalah jalan gang. Di seberang kami tembok rumah besar dan tinggi. Ketika saya tepat berada di belakang punggungnya saya langsung tubrukkan badan saya ke dia, dan dia langsung terbentur ke tembok. Tembok tersebut bertekstur kasar. Saya pukul dia dari belakang. Saya berusaha mengunci lengannya. Saya teriak. “Tolong Pak, Mas, ini maling!”. Warga sekitar tidak langsung merespon, karena memang sepi (jam kuliah). Saya ingat pemuda yang membantu saya pertama kali adalah seorang cowok yang sedang apel pagi ke pacarnya di rumah bertembok tinggi itu. Mendapat bantuan satu orang, maling itu terkunci. Kemudian datang warga lain, lalu lainnya lagi. Awalnya saya mau melepas saja maling itu karena belum ada bukti dia mencuri. Tapi ketika dia sudah lepas dari tangan saya dan dibawa orang lain saya lihat HP saya di saku celana belakangnya. Kurang ajar! HP saya kena juga. Rupanya sebelum ke kamar Tirmizi dia sudah ke kamar saya. Di saku celana lainnya dompet Tirmizi. Saya lihat di lengan kanan kirinya sudah banyak sayatan. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah ciri orang yang kecanduan narkoba. Jika mereka tidak ada uang untuk beli narkoba, dan mereka sedang sakau, mereka silet lengan mereka dan mereka hisap darah mereka sendiri yang konon mengandung narkoba itu. Pantas saja saya mudah membekuk dia, dia sedang sakau. Akhirnya Pak RT datang: “Ayo bawa ke rumah saya.” Beberapa orang di belakang saya nyeletuk: “Loh, itu kan si Yudi, anaknya Pak RT sebelah”. Dada saya yang sedari tadi gak karuan karena bertengkar, kini semakin kacau karena saya berhadapan dengan anaknya Pak RT sebelah, dan dikenal sebagai preman setempat. Saya lihat Tirmizi sudah selesai mandi. Saya teriak “Yek, ini malingnya udah ketangkep. Dompetmu kena.” Tirmizi keluar dan langsung melayangkan bogem ke kepala maling itu. “Kurang ajar, kon! Di belakang ada yang bertanya, “Siapa anak pake sarung itu?” “Dia anak Madura” jawab yang lain pendek. Komek tidak jauh dari jalan raya, maka tak lama setelah di rumah RT, polisi datang dengan mobil patroli. Dua polisi di depan. Saya, Tirmizi dan Rajafi di bagian tengah. Yudi sendirian di belakang dengan pembatas berjeruji. Saya masih dengan sarung hijau batik Madura dan kaos putih merk Swan, produk khas pasar harian di kampung. Sesampai di kantor Polsek Lowok Waru kami giliran dimintai keterangan untuk berita acara. Yudi dibawa masuk ke bagian lain. Selesai memberi keterangan kami digiring ke ruang yang sama dengan Yudi. Kami bertiga duduk menghadap petugas interogasi. Yudi jongkok di samping kiri belakang kursi saya. Di sela-sela interogasi, kami menyaksikan sendiri bagaimana polisi men-“servis” Yudi. “Kamu lagi?!” Bukk!!! Satu tendangan keras sepatu boot menghajar betis Yudi. “Baru satu bulan keluar dari sini, mulai lagi?!!” Bukk!!! Kini perutnya yang jadi sasaran. Saya takut Yudi ngamuk dan memukul saya dari belakang, maka saya selalu melirik ke Yudi. Dia menutup kepala dan wajahnya dengan lengannya. Dia biarkan perut, dada dan kakinya jadi sasaran tendangan para perwira itu. Saya tidak menghitung berapa kali tendangan itu. Tapi dalam hati saya sungguh iba, kadang menyesal. Tapi biarlah, tugas saya sudah benar. Yang menarik adalah, tebakan orang pintar itu benar, dan usaha Tirmizi sukses. Barang bukti ditinggal di Polsek yakni HP Siemens C35 hitam punya saya dan dompet kulit cokelat berisi 250 ribu punya Tirmizi. Polisi bilang bahwa barang bukti akan dibawa ke kejaksaan dan kami akan ditelpon jika nanti tiba waktunya sidang. * Tiba di Komek kami disambut bak pahlawan. Kami ditanya kronologi, opini, rencana dsb. Yang membuat kami kaget, kami kedatangan Cak Po, mantan preman yang kini tobat dan jualan bakso. Dia bilang: “Mas Jayadi. Trimakasih sudah nangkap Yudi. Tapi sayang, kok gak dibawa ke saya tadi. Coba dibawa ke saya, sudah saya habisi anak itu. Bikin malu daerah sini saja.” Pagi harinya di kampus saya semakin dikenal terutama oleh para Arema Fakultas Ekonomi. Kejadian itu masuk koran lokal dan halaman lokal koran nasional. Ada yang langsung datang menyalami, ada yang dari kejauhan bisik-bisik, lirik-lirik sambil nunjuk-nunjuk ke saya. Ardhani teman saya dari Bima bilang “Duh, coba ada saya bung, sudah saya hajar pakai kursi itu anak. Bung Jay terlalu kalem sih.” Dan seterusnya. Kisah heroik itu berlanjut sampai 3 hari. * Lain di Malang, lain di Madura. Sore hari setelah kejadian itu saya telpon keluarga. Mereka heboh bahkan ada yang menangis. Takut saya bakal dikeroyok teman-temannya Yudi. Sehari kemudian ayah saya datang ke Malang. Beliau bawa sabuk, mantra dan segala wanti-wanti. Lalu kami berdua ke rumah Yudi. Waktu itu yang ada hanya ibu Yudi. Intinya kami minta maaf karena telah membuat Yudi masuk tahanan lagi. Alhamdulillah tanggapan ibu Yudi baik. Beliau sekeluarga memang sudah gerah dengan perilaku anaknya. Dan mereka tidak akan segera menebus anaknya ke Polsek, biar jera katanya. Kelak ketika saya pulang ke Madura, tetangga rumah pada muji saya dengan segala macam. Kata mereka: “Ternyata Jayadi tidak hanya mahir ilmu kuliahan, tapi juga ilmu kanuragan”. Ada-ada saja. * Sekitar sebulan setelah kejadian, saya mendapat telpon dari kejaksaan agar saya dan Tirmizi mengambil barang bukti di kejaksaan. Setiba di sana barang bukti itu kami terima dalam sebuah amplop cokelat. Kami mengiyakan bahwa itu benar barang kami, dan tidak ada yang berkurang atau rusak. Kami heran kenapa barang bukti dikembalikan padahal belum sidang. Lalu petugas perempuan di sana bilang bahwa Yudi sudah meninggal tadi paginya. Kami kaget karena memang belum mendengarnya, walau hanya bersebelahan RT. Saya dan Tirmizi pulang dengan perasaan serba bingung. Mau dibilang pahlawan ya pahlawan, tapi dibilang penyebab matinya Yudi benar juga. Kami hanya bisa istighfar dan saling mengingat kejadian sebulan silam. Ketika masih di Polsek kami kenalan dengan polisi muda yang memang bertugas di wilayah kampus Unibraw. Namanya Yanto. Kami menyimpan nomor HP nya. Menurut informasi dari Yanto, Yudi meninggal karena selama di tahanan tidak mau makan. Dia kena typhus, maag, paru-paru basah dan sebagainya. Malam itu juga saya dan Tirmizi yasinan di Komek untuk alm. Yudi. Kami tidak berani datang ke tahlilan di rumah duka. * Setahun kemudian Komek pindah 6 rumah di belakang rumah keluarga Yudi. Saya sering berkunjung ke Komek, dan lewat depan rumah orang tuanya. Setiap kali lewat rumah itu darah saya berdesir, takut dipanggil oleh ayah dan ibu Yudi. Tapi Alhamdulillah hal itu tidak pernah terjadi. Entah mereka lupa pada saya atau sudah tidak peduli. Mengingat kejadian itu saya punya beberapa hikmah untuk dipetik. Pertama, jika kita niat ikhlas dan serius berikhtiar, maka Allah akan mengabulkan, sebagaimana usaha Tirmizi dengan wirid itu. Kedua, sekuat atau selemah apapun kita saat ini, belum tentu akan selamanya begitu, seperti lemahnya Yudi dan beraninya saya waktu itu. Padahal di waktu lain, saya kembali jadi penakut. Ketiga, seberapapun dalamnya marah dan dendam seseorang, akan hilang dengan silaturahmi, sebagaimana hasil saya dan ayah datang ke orangtua Yudi. Keempat, selalu minta pertolongan pada Allah untuk dijauhkan dari bencana, musibah dan ujian berat, karena Dia-lah Yang Maha Mengatur Segala sesuatu. Tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Tak ada pahlawan, yang ada hanya kebetulan, saat yang jahat kalah, dan yang baik menang. Surabaya, 8 Oktober 2013

Tidak ada komentar: