Kamis, 17 Oktober 2013

"Bilal"

Setiba di masjid, saya solat sunnah, lalu duduk wirid. Belum lima menit duduk terdengar bunyi “Prak!” di jalan raya sebelah masjid. Saya tetap fokus pada wirid saya, tapi langkah para jamaah ke luar masjid mengganggu konsentrasi saya. Sayapun melangkah ke luar. Di jalan raya itu sudah berkerumun orang. Ada yang melihat motor yang sudah ringsek, ada yang menunjuk-nunjuk mobil van yang menabraknya, ada juga yang berdiri melingkar di sekitar tubuh yang terbujur di tengah jalan. Saya lihat kakinya bengkok, matanya tertutup, mulutnya menganga. Saya tidak akan menjelaskan tentang darah. Saya meminta orang-orang di sekitar saya untuk mengangkat tubuh yang masih bernyawa itu agar tidak di tengah jalan. Tubuh itu kami letakkan di halaman sebuah rumah. Tuan rumahnya tidak keberatan. Kami mendapat tikar sebagai alasnya. Kami melintangkan tubuh itu barat-timur. Beberapa orang mencoba mencari pick-up untuk membawa tubuh itu ke puskesmas, namun gagal. Ada yang mencoba memberinya minum, tapi orang itu sudah tak bisa menenggaknya karena sudah tidak sadar. Suara-suara di sekitar saya tak jauh dari “orang mana ini?” atau “siapa namanya?” atau “bagaimana kejadiannya?” dan sebagainya. Saya hanya bisa melafalkan kalimat tauhid di sekitar telinganya. Sekitar 10 menit saya mendampingi tubuh itu, lalu saya rasakan ruh-nya sudah tak ada lagi. Saya adzan di telinga kanannya. Saya dengar khotbah di masjid sudah mulai, maka saya pun meninggalkan jenazah itu. Saya titip pesan pada ibu-ibu dan bapak-bapak yang tidak solat jumat untuk menjaga jenazah itu. Saya kembali ke masjid. Di kamar mandi saya bersihkan darah di lengan kanan dan kiri saya. Saya menangis. Bukan karena ingin menangis, tapi tiba-tiba menangis sendiri. Saya sedih dan kasihan pada jenazah itu. Dia sekarat selama beberapa menit tanpa ada yang mengangkatnya dari jalan. Dia mati tanpa ada orang tahu identitasnya. Saya takut kejadian semacam itu menimpa saya, istri, anak, orangtua, mertua, saudara, sanak keluarga dan lain-lain. Saya kuat-kuatkan untuk berhenti menangis dan kembali duduk di shof masjid mendengarkan khotbah. Sehabis solat, orang masih berkerumun di TKP. Satu mobil pick-up menderu kencang ke arah jalan desa, saya lihat orang-orang di atasnya bersolawat dan bertahlil. Jenazah itu di dalamnya. Saya balik kanan mengikuti pick-up itu bersama motor-motor lain. Sekitar satu kilometer saya ikuti tapi tidak ada tanda-tanda mobil itu akan berhenti, saya putuskan stop dan bertanya pada orang-orang. “Namanya Pak Ubed, orang Taraban.” kata ibu yang duduk di warung tempat saya berhenti. Info itu sudah cukup bagi saya, lalu saya balik rumah. Di rumah, saya ceritakan kejadian tersebut pada istri saya. Dia merinding. Kami sepakat untuk melayat ke rumah duka besok paginya, karena besok siangnya saya harus ke Jakarta. Kebetulan kami punya teman yang bertetanggaan dengan rumah almarhum, jadi kami diantar oleh teman tersebut. Rumah almarhum biasa saja. Berbagi halaman panjang bersama saudaranya yang lain. Saya duduk bersama pelayat lain. Laki-laki perempuan hanya terpisah beberapa meter. Istri almarhum (Bu Ubed) menjelaskan pada para tamu bahwa kejadiannya sebagai berikut: Menjelang jum’atan, Bu Ubed telpon suaminya yang sedang di sawah. “Gak pulang Pak? Ini sudah mau adzan. Katanya bertugas jadi bilal di masjid”. Almarhum waktu itu mengiyakan akan pulang segera. HP dimatikan. Lalu tidak ada panggilan lagi. Dia menunggu 30 menit tapi yang ditunggu tak datang-datang, bahkan ketika adzan sudah dikumandangkan, yang ditunggu belum pulang. Setengah jam kemudian, istrinya mendapat telpon dari HP suaminya. Tapi suara di HP Itu bukan suaminya. Suara itu bertanya apa benar itu Bu Ubed. Dia mengangguk, dan berita duka itu sampailah di telinganya. Dia lunglai. Jenazah sampai, dia masih tidak percaya apa yang terjadi. Teman saya memperkenalkan saya pada Bu Ubed bahwa saya adalah salah satu orang yang menyaksikan langsung saat-saat almarhum menghadapi sakaratul maut. Para pelayat melihat saya, terutama Bu Ubed, Ubaidillah anak sulungnya, dan adiknya, si bungsu perempuan. Saya bilang: “Bu Ubed dan adik-adik. Pertama, saya menyatakan turut berbelasungkawa atas wafatnya almarhum. Kedua, saya minta maaf karena pertolongan yang mampu saya berikan hanyalah mengangkat almarhum dari jalan raya ke halaman rumah tetangga terdekat. Ketiga, saya minta maaf karena siang itu saya tidak sempat membujurkan tubuh almarhum utara-selatan. Keempat, saya minta maaf meninggalkan jenazah di halaman itu karena saya harus solat jumat. Kelima, saya ingin menyampaikan pada ibu dan adik semua, bahwa saya menyaksikan dengan mata sendiri bahwa almarhum wafat dengan sangat baik.” Saya menutup mata saya mencegah airmata menetes. Kerongkongan saya juga sedikit kering, jadi saya minum seteguk air. Lalu saya lanjutkan. “Dari pertama saya tiba di samping tubuh almarhum di jalan, hingga detik terakhir almarhum bernafas, tidak sedikitpun suara erangan atau rintihan yang saya dengar dari mulutnya. Tidak sedikitpun tubuhnya bergerak-gerak saat menjelang ajal. Beliau meninggal dengan tenang. Matanya tertutup. Luka di wajah dan tubuhnya pun tidak seberapa sebagaimana ibu dan adik-adik tahu sendiri. Mungkin hanya bagian pinggul yang patah.” “Saya yakin, sebagaimana selalu saya doakan, bahwa almarhum itu husnul khatimah, karena almarhum meninggal ketika hendak pulang ke keluarga dari kerja, dan akan menunaikan tugas mulia sebagai seorang bilal jum’at (petugas adzan dan pengantar khotib sebelum naik mimbar). Jika tidak salah hitung, maka almafhum wafat tepat saat adzan jumat dikumandangkan, karena setelah nafasnya tiada, khotbah dimulai.” “Saya berada bersamanya kurang lebih 10 menit. Saya bersaksi bahwa almarhum meninggal dengan sangat baik. Semoga Allah memaafkan dosa almarhum dan menerima amalnya. Semoga ibu dan adik-adik senantiasa tabah dan tawakkal atas kejadian ini. Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari ketentuan Allah.” Selesai menyampaikan kalimat di atas, saya mohon ijin pulang. Ibu Ubed dan anak-anaknya menyampaikan terimakasih. Anggota keluarga yang paling shock waktu itu adalah Ubed, karena dia sedang sibuk-sibuknya kerja skripsi. Mungkin saat ini dia sudah menjadi sarjana hukum. Bapak Ubaidillah wafat pada hari Jumat, 29 Maret 2013. Sudah enam bulan berlalu, tapi rasanya baru beberapa jumat yang lalu. Surabaya, 1 Oktober 2013

Tidak ada komentar: