Kamis, 09 September 2021

Frekuensi


Atau apapun namanya, utk menamai sebuah keadaan dimana kita tersambung dg sebuah gelombang, apapun itu.
Contohnya begini, sy pernah dlm satu momen tahlil-yasin 40 hari berpulangnya kakek sy, tiba-tiba di tengah membaca ayat-ayat al-Qur'an sy merasa alm kakek sy ada di sekitar sy. Sy tdk berani membuka mata, krn takut momen itu hilang krn gangguan persepsi indra mata. Momen itu cukup lama, mungkin sekitar 2 menit. Tiba-tiba hilang. Tak ada lagi "kakek" sy di sekitar sy. Yg ada hanya keluarga yg ikut ngaji.
Pernah juga d thn 2008-an di saat sdg mendengar cerita ttg orang-orang tua, lalu sy merasa begitu dekat dg mbahti sy (nenek dari ayah sy). Beberapa detik sj, smpai sy menangis.
Pernah pula suatu mlm seorang tetangga bercerita ttg alm KH Hasyimi guru madrasah sy. Tiba-tiba paman itu berteriak "Ya Allah". Dia bilang "ada pak kyai di belakang sy barusan". Sy juga merinding.
Itu sy sebut menyatunya frekuensi antara kita dg seseorang yg tdk se alam dg kita. Mereka "hadir" dlm keberadaan kita. Entah dlm pikiran yg nyata, entah dlm perasaan, entah dlm penglihatan (yg ini tentu susah), entah pendengaran. Intinya, kita yg berbeda ruang dan waktu dg mereka, tiba-tiba bisa "bersua" dlm bbrp detik atau menit sj.
Sekian detik dalam 24 jam, diantara 12 bulan yg kita punya, belum tentu kita punyai kesempatan langka itu.
Hal lain ttg frekuensi tentu banyak. Tdk melulu perkara "pertemuan" kita dg mereka yg di alam lain. Bahkan dg diri kita sendiripun kita jarang menyatu. Ad yg menyebutnya khusyu', khidmat, hening, atau apapun kita sebutnya.
Banyak latihan diterapkan, baik yoga, meditasi, semedi, atau menyendiri di gunung, sungai, makam atau bahkan lautan. Solat sejatinya media utk menyatukan diri yg mikro dg Tuhan yg supermakro. Tapi kita jarang mencapainya (illa 'alal-khosyi'in). Karena jika kita bisa, maka masalah duniawi ini tak ada artinya. Yg berarti hanya keridoan ketika "bersama" Nya.
Menemukan frekuensi adl tugas berat. Saking beratnya, kita bahkan tak berada di dalamnya walau 1 menit di antara tahun-tahun yg kita miliki.
Sprti menemukan gelombang suara dari luar angkasa diantara jutaan gelombang yg ada di radio penangkap sinyal. Mungkin ia sesungguhnya ada di tiap detik dan lapis. Hanya saja kita jauh. Atau ketika dekat, kita tdk siap.
Saya ingat buku Celestine Prophecy karya James Redfield hadiah dari Mas Luthfi, yg berita ttg suku Maya di Peru yg mengihilang bersama dlm sebuah frekuensi waktu.
Sy juga ingat buku Sakral dan Profan karya Mircea Eliade, bahwa di dunia ini banyak tempat dan waktu yg sakral utk menangkap frekuensi. Axis mundi dan illud tempus. Kita bahkan membangun tempat khusus utk menyambut waktu khusus, baik di dalam rumah berupa altar atau di tengah hutan.
Kata Gie, ada orang yg "ziarah ke Mekkah". Kata Coelho, ad pula yg "menempuh jalur Santiago". Ada yg ke Yerussalem, ke Nepal, berdoa di pura atau candi, di gunung Kawi, dan sebagainya. Semua untuk menemukan frekuensi (saja).

Pamekasan, 10 Agustus 2021

Tidak ada komentar: