Kamis, 09 September 2021

LAPAR dan SAMPAR

 


"Ketika kami sdh berlayar ke tengah fjord, aku berdiri tegak, basah keringat, demam dan letih, menatap ke daratan, dan mengucapkan selamat tinggal kali ini ke Kristiania, kota dimana kaca-kaca jendela bersinar begitu cerah dari semua rumahnya." (Hamsun, 1890)
Menamatkan novel Lapar karya Knut Hamsun di masa pandemi itu luar biasa. Plot dan interaksi tokohnya yg minimal (gitu-gitu aja bolak-balik dari kos-taman-gadai-redaksi-jalan), dgn orang-orang itu aja (redaktur, ibukos, tukang gadai, penjual kue, polisi, gadis), juga setting Kristiania (Oslo) di masa lampau yg blm ada listrik atau kendaraan mesin, serta terjemahan dg tatabahasa lama yg kurang flowing buat sy, benar-benar membuat bosan jika ekspektasi kita adl konflik atau kalimat-kalimat puitis ala novelis bla bla bla.
Tapi Hamsun adl sastrawan terbesar Norwegia. Karyanya sgt layak dibaca. Ia peraih nobel sastra 1920. Sy tahu novel ini dari guru sy, Gus Fathur. Jk boleh membandingkan, novel ini mmg benar mengilhami novel puluhan tahun berikut berikutnya, yaitu Catcher in the Rye (1951) karya J.D. Salinger, dg gaya yg sama. Dialog batin yg dibangun serta "pencarian" sang tokoh utama, mirip. Endingnya sama-sama absurd. Tidak ad kisah sukses terjadi spti yg biasa diharap pembaca.
Tp novel spti Hamsun dan Salinger inilah yg justru menggerakkan pembaca sampai pd aktivitas ekstrim, sprti diceritakan salah satu pembacanya saat di penjara, David Chapman, yg mengaku menembak John Lennon pd 1980 krn terilhami oleh novel Salinger yg bercerita ttg pencarian eksistensi Holden Caulfield tsb.
Next: Sampar by Albert Camus Pamekasan, 7 Agustus 2021

Tidak ada komentar: