Ketika kuliah di Universitas Brawijaya (UB) tahun 1999 saya sering mendengar nama besar Abdul Malik Fadjar sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tahun 2001 putra Pak Malik, Nurman Setiawan Fadjar masuk sebagai salah satu dosen muda di jurusan saya, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP). Dari cerita teman yang sering konsultasi ke rumah Mas Nurman, saya tahu bahwa Pak Malik punya tradisi unik di keluarganya, yaitu setiap hari selalu tersedia pisang, kacang dan ubi rebus di meja. Saya kira ini sebuah sikap kesederhanaan dan kemerakyatan (juga visi kesehatan).
Tahun 2005 Pak Malik membuka Rumah Baca Cerdas (RBC). RBC termasuk perpustakaan umum yang dikelola keluarga pertama-tama di Malang. Saya berminat sekali menjadi volunteer di RBC dengan harapan bisa membaca buku, Koran dan akses internet gratis. Bagi mahasiswa tingkat akhir, tidak ada kemewahan melebihi terjebak di rimba referensi. Harapan lain adalah bertemu langsung dengan Pak Malik. Pada akhirnya saya urung mendaftar, dan memilih menjadi guru ngaji privat seorang anak PAUD.
Saya baru bertemu langsung Pak Malik saat September 2006 bekerja sebagai staf riset dan program di The Habibie Center (THC) Jakarta. Pak Malik saat itu (hingga akhir hayatnya) adalah anggota dewan Pembina. Saat berjumpa Pak Malik pertama kali, saya langsung mendekat dan mencium tangannya. Saya sampaikan bahwa saya adalah mahasiswa Mas Nurman. Sejak itu, perbincangan dengan beliau sangat guyub seperti saya adalah mahasiswanya sendiri. Kalau panggil saya, “Di.. Jayadi.. Tolong ya..”, atau “Di.. Anak Madura.. Coba anu..”. Pak Malik tidak pernah manggil saya ke ruangannya. Beliau selalu tiba-tiba berdiri di depan kubik saya.
***
Pak Malik perokok aktif. Jika di THC ada diskusi atau rapat yang agak lama, Pak Malik tidak tahan dan keluar ke lobby luar untuk merokok. Di momen rokokan itu terlihat egalitarian-nya. Ngobrol dengan siapa saja dengan ‘bahasa’ yang sama, mulai dari peneliti, staf, security, resepsionis, kurir, OB, dll. Waktu PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram merokok, ada jokes bahwa di PP ada dua mazhab, yaitu Syafiiyah (Syafii Maarif) yang anti rokok, dan Malikiyah (Malik Fadjar) yang boleh merokok. Saya tidak ingat pasti apa merk rokoknya, yang pasti filter.
Yang paling diingat dari Pak Malik adalah gesturnya. Langkah kakinya yang pelan dan sedikit membungkuk ke depan. Duduknya yang bersandar ke belakang hampir 45 derajat pada kursi saat ada diskusi, sambil merem khidmat mendengarkan paparan. Pak Malik jangkung. Rambut kelabu. Hitam meripat sudah memudar karen sering baca. Kumis dipotong tipis. Suara bariton dan terdengar sedikit serak. Logat jawa sekali.
Sebagai dewan Pembina THC, Pak Malik sering mendapat undangan, baik dari internal THC maupun dari luar. Jika undangan itu belum ke mejanya di lantai 3, biasanya kurir memberikannya ke saya, lalu saya meng-SMS beliau. Saya masih ingat nmr HP nya adalah operator Fren, 0888xxxx. HP-nya Samsung silver. Belum smart phone, walau era itu sudah musim Black Berry. Sepertinya Pak Malik tidak ingin direpotkan dengan HP besar. Baginya, HP hanya untuk telepon atau pesan singkat. Membaca baginya adalah aktivitas manual. Saya tidak tahu kebiasaan membacanya di era android dan tablet.
**
April 2009 saya menikah. Saya menyampaikan undangan ke semua rekan kantor, atasan, dan satu dewan pembina, yaitu Pak Malik. Ketika tahu hal itu, beliau langsung menyalami, mendoakan dan menyangoni saya, dengan cara sangat sederhana, seolah-olah pernikahan itu aktivitas berjalan melewati pintu saja. Tidak perlu dipikir terlalu rumit.
Agustus 2009 saya mendapat 2 tawaran ikut training ke Tiongkok. Tentang industri selama 2 minggu di Shanghai, dan tentang leadership selama 2 bulan di Nanning. Saya minta pendapat Pak Malik. Beliau bilang “Nek awakmu pengen ilmu, ikut yang pertama. Nek pengen jaringan, pilih yang kedua”. Itu memang konsultasi sederhana, tapi saya tahu jawaban Pak Malik akan strategis. Sebagai dosen dan rektor yang sukses, ia tahu yg terbaik untuk ilmu dan jaringan saya. Saya akhirnya memilih yang kedua. Dan Pak Malik benar, peserta training itu hebat-hebat. Salah satunya adalah teman sekamar saya, Asrori S Karni (GATRA), saat ini menjadi staf khusus wapres KH Makruf Amin, bidang komunikasi.
Januari 2010, menjelang akhir masa di Jakarta, saya menyiapkan berkas S2 dan mendaftar Beasiswa Unggulan di Kemdikbud RI. Saya meminta kesediaan Pak Malik, secara pribadi, untuk memberi rekomendasi. Setelah membaca sekilas, beliau langsung tandatangan.
Saya lalu off dari THC pada Februari 2010. Setelah kuliah 3 bulan di UGM, saya mendapat kabar bahwa beasiswa saya tidak lolos, karena salah satu syarat administrasi tidak terpenuhi. Saya menyesali hal tersebut, karena telah merepoti Pak Malik.
Seingat saya, momen tandatangan rekomendasi itulah kali terakhir saya bertemu Pak Malik. Saya tidak pernah berkesempatan lagi bersua dengan beliau, hingga kemarin malam, lebih 10 tahun kemudian, di Surabaya saya membaca berita duka. Saya teringat semua kenangan pada sosok pintar dan baik itu.
*
Semasa di THC, Pak Malik pernah membawa Mas Nurman ke kantor. Pak Malik ke ruangan Pak Ahmad Watik Pratiknya (alm) yang saat itu Direktur Eksekutif THC selama sekitar 30 menit. Saya berbincang dengan Mas Nurman tentang almamater kami UB. Selesai urusan dengan Pak Watik, Pak Malik memanggil Mas Nurman. “Nur.. Kene, Nur. Iki salim nang Pak Watik”. Mereka bertiga lalu terlibat perbincangan akrab keluarga.
Ketika melihat Pak Malik dan Pak Watik, yang bersahabat sejak di Muhammadiyah, saya membayangkan seperti itulah seorang bapak. Saling mengenalkan, mengingatkan, menitipkan, menasehati, dan menyuruh anak menyambung silaturahmi dengan sahabat orang tua. Saat ini saya juga mengajarkan demikian pada anak saya, sebagaimana diteladankan ayah saya, atau oleh Pak Malik dan Pak Watik.
Jika ditanya figur bapak seperti apa idola saya, salah satunya pastilah seperti Pak Malik Fadjar.
Pamekasan, 8 September 2020
sumber gambar: id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar