Sabtu, 25 Juli 2009

Ahmad Erani Yustika (AEY): Mutiara dari Timur Jawa


Konon, seorang adik bertanya pada abangnya yang ingin menjadi ketua sebuah partai besar. Dengan mantap sang abang menjawab ketidakraguannya. Memang dia ingin menjadi suami dan ayah yang baik, tapi baginya hal itu terlalu sentimentil dan emosional. Dia ingin berbuat yang lebih besar dari sekedar itu. Dia ingin berjuang demi bangsa ini. Kelak, sejarah mencatat sang abang dengan nama D.N. Aidit. Menjadi tokoh nasional memang butuh keberanian tersendiri untuk (tidak saja) mengorbankan waktu dan uang, (tapi) juga kesempatan bercengkrama dengan keluarga tercinta.

Dalam bayangan saya, hal serupa juga terjadi pada Soekarno, Munir, Amien Rais, dan banyak tokoh bangsa lainnya, termasuk (saya yakin) pada AEY. Bagi mereka, keluarga dan lembaga tidak boleh membatasi pengabdiannya pada negara dan bangsa. Memang tugas AEY tidak lagi membentuk nation atau berdemonstrasi menuntut penegakan HAM. Tidak juga memimpin massa memaksa presiden turun tahta. Menggedor pemerintah agar meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendistribusikan hasil pembangunan dengan adil-merata adalah juga perjuangan menegakkan konstitusi.

Senin, 24 Maret 2008, AEY di-launch sebagai Direktur Eksekutif INDEF. Sebagai KAHMI Ekonomi Unibraw (FE-UB), beliau telah membuktikan kualitas insan-citanya dengan menjadi lokomotif intelektual di kampus lewat berbagai dharma akademis. Opininya tersebar di surat kabar dan majalah nasional (juga internasional) . Sudah lebih dari 6 buku karyanya. Salah satunya, Ekonomi Kelembagaan (Bayumedia, 2006), layak disandingkan dengan buku-buku panduan teori ekonomi lainnya. Sebuah buku kajian mendalam dan komprehensif tentang salah satu cabang ilmu ekonomi, yang di Indonesia sendiri masih terbilang langka.

Pencapaian intelektual seorang ilmuwan termanifestasi dalam dua jalan: pertama, karya ilmiah berupa paper, jurnal dan buku. Kedua, prestasi kelembagaan berupa jabatan struktural. AEY telah meraih dua-duanya. Selain Pasca Sarjana FE-UB (sebagai Kepala), INDEF adalah bukti bahwa, meminjam istilah Andrinof Chaniago, `mutiara nusantara dari timur Jawa' ini memang layak menjadi ekonom nasional.

Senin pagi itu, saya meletakkan pena saya di atas meja kerja saya. Tabik. Sebagaimana yang (digambarkan dalam film Beautiful Mind, 2001) dilakukan para ilmuwan pada John Nash di sebuah perjamuan makan sebelum ahli matematika itu dianugerahi hadiah nobel ekonomi pada tahun 1994.


Penulis yang Puitis

Menulis adalah aktivitas yang telah digeluti AEY sejak lama. Sewaktu mahasiswa, beliau pernah menjadi Ketua INDIKATOR (majalah mahasiswa FE-UB). Dalam sebuah acara buka puasa Ramadhan tahun 2003 di kediamannya, AEY berpesan pada kami aktivis muda HMI FE-UB, agar sering menulis.

"Menulis tidak mungkin tanpa membaca. Kalian harus rajin membaca dan sering praktek menulis. Jadi, jika kalian melihat saya sekarang sebagai penulis (produktif), itu adalah buah dari proses saya membaca dan menulis selama belasan tahun" katanya.

Mendengar pesan AEY, saya lalu teringat pada tiga tips Kuntowijoyo untuk menjadi penulis hebat, yaitu pertama, menulis, kedua, menulis, ketiga, menulis.

"Pada intinya, kemampuan menulis tidak datang dalam satu malam". Begitu AEY menyimpulkan pesannya malam itu.

Pada kesempatan lain AEY berkata pada saya dan teman-teman bahwa beliau sangat suka sastra, terutama novel karya Pramoedya Ananta Toer. Saya mempercayainya karena hal ini dapat saya lihat dalam tulisannya yang tidak hanya analitis, tapi juga estetis. Indah sekali. Tulisannya adalah gabungan antara kajian ekonomi ilmiah dengan kontemplasi humaniora filosofis.

Gaya penulisan AEY bisa dikatakan nyastra. Logika ekonomiya mudah diikuti, akurasi datanya bisa dipertanggungjawabk an dan (yang paling penting) keberpihakannya pada kaum marginal terasa dalam kalimat-kalimatnya yang selalu mengajak kita untuk sejenak mengambil jarak dari `menara gading' kampus dan `tembok istana' pemerintah. Dalam istilah Maxim Gorky, tulisan tersebut masuk dalam jenis sastra `realisme sosialis'. Saya ingat sekali dalam pengantar bukunya Negara vs Kaum Miskin (Pustaka Pelajar, 2003) beliau menyunting (seluruh bait) puisi Widji Tukul, Nyanyian Akar Rumput.

Banyak dari tulisannya menyangkut nasib rakyat yang terpinggirkan oleh kekuatan modal dan kekuasaan yang mengatasnamakan industrialisasi dan pembangunan. AEY tidak tinggal diam atas hal ini. Dua bukunya, Industrialisasi Pinggiran (Pustaka Pelajar, 2000) dan Negara vs Kaum Miskin menjadi saksi ke-`geram'-annya pada penguasa dan pengusaha yang seenaknya `menindas' rakyat dengan kebijakan yang sama sekali tidak solutif. Alih-alih ingin menertibkan pasar ekonomi rakyat kecil yang cenderung tradisional, kumuh dan sporadis, yang terjadi malah penggusuran tanpa ganti rugi yang layak. AEY melihat kebijakan publik saat ini masih jauh dari efektif. Biaya sosial dan kelembagaan berupa hambatan birokrasi dan non-birokrasi menjadi pemicu bocornya anggaran.

Apresiasinya pada karya tulis dibuktikannya pada mahasiswa di kampus. Tahun 2001 saya pernah ikut mata kuliahnya, Perekonomian Indonesia. Waktu itu beliau sudah `menyabet' gelar master dan sedang persiapan mengambil S-3. Beliau memotivasi mahasiswa dengan menjanjikan nilai A bagi siapa saja yang tulisannya dimuat di (opini ekonomi) media cetak nasional, dan nilai B+ untuk media cetak lokal. Plus tiket gratis bebas dari kewajiban tatap muka di kelas. Bagi saya, ini adalah terobosan baru. Dari sekian banyak dosen muda FE-UB, hanya AEY yang berani menerapkan kebijakan seperti ini.


Pejuang yang Konsisten

Sebelum masuk ke INDEF, sebagaimana aktivis lainnya, AEY mendirikan LSM lokal (di Malang), ECORIST (Economic Reform Institute). Beliau menjadi `arsitek' sekaligus `striker' disana. Selain sebagai saluran idealisme dirinya dan rekan-rekannya, juga untuk menampung minat intelektual dan media silaturahmi mahasiswa dan alumni FE-UB.

Tiga tahun menjadi Ketua Yayasan sekaligus Direktur Eksekutif ECORIST, kemudian beliau bersama M. Iksan Modjo (MIM) memperkenalkan sebuah LSM baru di Surabaya bernama INSEF (Institute For Strategic Economics and Finance). AEY sebagai founder sedangkan MIM sebagai direktur eksekutifnya. Kini, `tandem' ini setiap minggu secara bergantian menahkodai LSM yang dulunya `dibidani' dan dibesarkan oleh para ekonom IPB.

Sebagai LSM nasional yang (cukup) kritis dalam mengkaji kebijakan pemerintah, dan cukup berpengaruh dalam diskursus strategi pembangunan ekonomi, keuangan dan pertanian nasional, maka jabatan ini signifikan –dan momentum yang tepat– bagi AEY untuk menyuarakan apa yang selama ini menjadi uneg-uneg-nya. Ibaratnya, kini AEY memiliki `godam' untuk menghantam `batu besar' disparitas antara teori ekonomi dengan praktek kebijakan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan sosial yang masih sangat lebar.

Dalam usianya yang masih muda, AEY menancapkan namanya di pentas nasional sebagai dosen, penulis dan aktivis yang konsisten. INDEF bukan wilayah baru baginya mengingat disertasinya adalah tentang ekonomi pertanian –dimana para pendiri INDEF banyak menggeluti bidang tersebut.

Di sebuah acara peluncuran buku Teori Bandit di Universitas Paramadina, Kamis, 10 April 2008, Didik J. Rachbini (penulis buku tersebut dan pendiri INDEF), memuji (sambil menepuk bahu) AEY begini:

"... dalam hal ekonomi pertanian, khususnya beras, Erry ini jauh lebih cerdas dari direktur-direktur INDEF sebelumnya".

Yang dipuji hanya tersenyum kecil sambil menundukkan pandangan.


CIRUS, Jakarta, 16 April 2008

2 komentar:

Unknown mengatakan...

kereeeen

Ahmad Jayadi mengatakan...

Terimakasih bang Edli. Maaf baru balas.