Rabu, 29 Juli 2009

El-Fath dan Otoritas Intelektual Komek

Sebelum saya mewawancarai Sri Ajati untuk penelusuran biografi Chairil Anwar, terlebih dahulu saya kirim SMS pada tiga senior saya. "Berapa usia si `binatang jalang' waktu meninggal dunia?", tulis saya pada mereka. Kemudian satu balasan saya terima. "Kurang lebih 27 tahun", bunyi SMS itu dalam nadaragu. Mereka bertiga, dalam penilaian saya, adalah representasi peminat sastra untuk generasi masing-masing di HMI Komisariat Ekonomi Unibraw (Komek).

Dalam wawancara, nenek berusia 83 tahun itu bilang bahwa Chairil adalah pemuda yang selalu haus ilmu. Di tangannya selalu ada buku. Lalu ingatan saya tertuju pada Fathurrahman Effendi alias el-Fath (eF), seorang dari dua senior yang tidak menjawab SMS saya tadi. Dalam perjalanannya kemanapun, eF tidak lupa membawa buku."Peralatan mandi boleh lupa, tapi buku adalah teman setia" begitu kurang lebih dia berkata. Buku apapun yang dibawa eF, selalu menjadi menarik bagi teman-teman diKomek. Saya tidak tahu, mungkin karena buku itu memang menarik, atau mungkin hanya karena ta'dzim pada eF secara personal, sehingga apapun buku pilihannya, seperti menjadi wajib diikuti dan dibaca.

EF memang menjadi rujukan dan patron bagi banyak kader. Termasuk saya. Pernah suatu sore tahun 2001 dalam acara Latihan Kader (LK) 1 Komek diBatu, eF mengisi materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Materi itu dirasa beratoleh banyak kader. Pengurus yang biasanya berkumpul di ruang panitia, waktu itu malah berbaur dengan peserta LK. Salah seorang pengurus beralasan bahwa ini adalah kesempatan langka karena yang memberi materi adalah eF. Orang yang tepat untuk materi tersebut. Lantas sayapun ikut. Dan benar, eF memberikan materi ketuhanan pada peserta dengan bahasa yang mudah. Dia menyampaikannya seperti dia berbicara pada dirinya sendiri, seperti soliloqui. Saat sesi tanya jawab, banyak peserta mengacungkan tangan. Bahkan panitia dan pengurus, termasuk saya, tidak melewatkannya begitu saja.

Berbagai tema sulit dan berat selalu menjadi renyah dalambahasa eF. Dulu ketika masih tahun pertama di Komek, saya berkumpul dengan kader-kader baru di Hall Watugilang 17B. Tak ada diskusi karena semuanya masih `baukencur'. Tiba-tiba eF datang, dan seorang kader berseru "Beri kami wacanatentang `teologi pembebasan', Mas!". Lalu`kuliah' mengalirlah. Semua mengangguk-angguk seperti mengerti. Termasuk saya yang pada waktu itu belum tahu apa-apa tentang teologi, bahkan dalam arti harfiahnya.

Filsafat, tasawuf, sastra, budaya, agama, musik, politik dan sebagainya seolah dengan mudah ditelan oleh kehausan dan ketamakan eF pada ilmu. Dia tidak ragu mengambil cuti kuliah untuk ngaji dan mondok pada seorang kyai. Minatnya yang begitu besar pada ilmu membuat saya iri dan malu. Pada masa saya di Komek, jika ada diskusi, dimana di situ ada eF, semua diam dantidak berani menyanggah. Barangkali inilah yang disebut dengan otoritas intelektual, dimana tidak ada yang berani menambahi apatah lagi menyangkal pendapat `sang pembuka'.

Tidak hanya pada ihwal ilmu dia diakui. Pada gaya hidup pun tidak ada yang intervensi. Ketika para senior sudah `insyaf', dia masih asik dengan rambut gondrognya. Sewaktu dia ujian komprehensif S-1, bersama rekan-rekannya yang (juga ujian dan) sedang tegang, dia malah memakai kacamata hitam, seakan menertawai momen paling sakral dan menakutkan bagi para mahasiswa itu. Tidak seperti aktivis lainnya yang butuh teman diskusi ketika berjalan,dia justru menikmati pencariannya dalam kesendirian. Penampilannya adalahpaduan antara Mustofa Bisri, John Lennon dan Putu Wijaya.

Menjadi sarjana baginya hanyalah jembatan menuju pengabdian. Dia lalu memilih berkumpul dengan rakyat yang butuh penerangan `suluhilmu'- nya. Dia menjadi seperti `dian rakyat'. Gerakan Pemuda Anshor kota kelahirannya dia pilih sebagai sarana perjuangan. Sebuah pilihan yang tidak populis bagi mantan aktivis sekaliber eF. Jika mau, dia bisa saja mengajar disebuah universitas berkelas. Tapi, sebagaimana dia memahami filsafat dan tasawuf, dia pun memaknai dan menjalani hidup yang nisbi ini dengan sebenar-benarnya, dalam teori dan prakteknya sekaligus. Pilihan sebagaimana diambil seorang Ahmad Tohari dan YB Mangunwijaya.

Saya lalu teringat kalimat Goenawan Mohammad, "Apa yang kecil sebenarnya? Apa yang besar?".

Seorang sarjana dan putera ulama yang kembali ke desa kecil adalah suatu yang besar bagi rakyat desanya. Menggerakkan organisasi kecil demi pemberdayaan dan pencerahan masyarakat dari bayang gelap `mendung' konsumerisme, sekularisasi, pemurtadan, alienasi, korupsi-kolusi- nepotisme dan apatisme negara pada rakyat adalah satu hal yang besar bagi manusia-manusia desa.

Pada tingkat ini, tidak bisa tidak, saya mengacungkan jempol untuk kesekian kali padanya. Dalam keyakinan bulat saya, walaupun dia bukan saintis eksakta, dia telah mampu menyublim makna relativitas Einstein menjadi padangan hidupnya. Masyarakat kecil dijadikannya laboratotium sosial untuk satu penemuan besar.

Ketika saya mengalami godaan dalam ibadah, saya memerlukan diri untuk SMS padanya. Seperti guru pada muridnya dia menasehati saya untuk tidak larut dalam hidup yang rutin dan mekanis. "Masih ada tujuan yang lebih abadi dari sekedar mengejar harta dan karir. Modal keagamaan yang kuat sebagaimana dicitrakan Madura janganlah kalah dengan gemerlap ibukota yang tak lebih hanya sebagai tempat transit mencari sesuap nasi" tulisnya. Lalu dengan sedikit menekan, dia meminta saya untuk mencari guru-guru sufi yang bertebaran diJakarta. Hingga kini saya belum melaksanakan sarannya. Sungguh saya akan malu jika kelak dia menanyakannya.

Hari ini, pemuda tinggi besar itu menikah. Saya pikir,inilah pernikahan yang paling dinanti oleh teman segenerasinya dan oleh beberapa kader pengagumnya di Komek. Tadi malam saya dengar beberapa rekan diJatim sudah berkumpul untuk tahniah pada `sang guru'. Mereka rela tidak masuk kerja demi menghadiri ritual penting `santri kelana' ini.

Dia memilih tanggal nikah tidak lebih dari tujuh hari setelah Maulid Nabi. Mungkin dia berharap, dan semoga memang demikian, dia mendapat barokah dari maulid itu, sebagaimana do'a yang saya panjatkan dan saya SMS-kan padanya semalam:

Allahummaallif bayna Fathurrahman wa zawjihi,
Kamaallafta bayna Adam AS wa Siti Hawa,
Kamaallafta bayna Yusuf AS wa Siti Zulaikha,
Kamaallafta bayna Ali KW wa Siti Fatimah az-Zahra,
Kama allafta bayna Muhammad SAW wa Siti Khadijah al-Kubra..

Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan masa muda. Saya yakin di jiwanya yang luas, dia masih menjaga baik-baik semangat kaum muda, walaupun dia kini sudah bukan pemuda lagi. Pernikahan hanyalah masa peralihan dari jiwa muda seorang jejaka kepada jiwa dewasa seorang kepala rumah tangga. Penantiannya selama ini pun bukan karena ketidakmampuannya untuk menemukan sang belahan jiwa, tapi lebih karena tuntunan Yang Maha Kuasa untuknya menemukan tempat di waktu dan jalan yang tepat. Yang terbaik untuknya memang telah disiapkan-NYA. Sungguh semua telah dituliskan-NYA untuknya jauh sebelum dia lahir ke dunia.

Dan saya yakin, bahwa pernikahan ini bukanlah semata pernikahan biologis, individual, religius, dan emosional, melainkan juga ideologis, sosial dan intelektual. Pernikahan yang harmonis antara mikro dan makro kosmos. Sejalan dengan kemauan dan keharusan kemanusiaan universal. Pernikahan yang telah dikabarkan alam semesta melalui sasmita. Sebagaimana pernikahan lainnya.

SelamatKanda. .


Allahummaij' al baynahuma mawaddah warahmah
Warzuqhumawaladan shaliha..

Jakarta, 16 Rabi'ul Awwal 1429 H
24Maret 2008 M

2 komentar:

Whan sekar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Whan sekar mengatakan...

saya terharu membaca tulisan kanda jayadi, saya pernah belajar ngaji bersama gus el-fath