Sabtu, 25 Juli 2009

Valentine Day 2009 bersama BJ Habibie

Siang itu kami diajak makan siang bersama Bapak B.J. Habibie (BJH) di rumah makan padang Sari Bundo, Jalan Juanda, seberang Kantor Sekretariat Negara RI. Rumah makan itu, konon, adalah favorit BJH sewaktu beliau masih menjabat wakil presiden dan presiden RI (1998-1999). Saya hadir ke rumah makan tersebut satu mobil bersama Dr. Ahmad Watik Pratiknya (Direktur Eksekutif The Habibie Center) dan Sumarno, M.Si (anggota KPU DKI Jakarta). Sesampai di sana beberapa orang dari kami sudah hadir. Rombongan BJH sudah pesan tempat terlebih dahulu. Saya mengambil kursi sebelum Pak BJH datang.

Dilihat dari penampilannya, para pengunjung rumah makan tersebut adalah orang berada. Kehadiran kami –sebagai pemesan meja panjang di ruang bagian belakang– memancing perhatian beberapa pihak, karena ada petugas berbaju hitam-hitam sebagaimana pengawal pejabat. Keheranan mereka terjawab ketika Pak BJH dan keluarganya hadir. Para pengunjung kemudian saling berbisik satu dan lainnya.

Tepat ketika Pak BJH hadir, semua makanan dihidangkan. Satu persatu secara bergantian. Seketika itu pula para pramusaji menanyakan minuman yang akan kami pesan. Saya memesan satu gelas jus terong belanda campur sirsak. Ketika ayam goreng sampai di hadapan Pak BJH, beliau langsung mengambil satu potong. Sepertinya lezat. Setelah Pak BJH mempersilahkan kami untuk mengambil makanan sesuka kami, kamipun mulai mencicipi. Dan benar, makanan di Sari Bundo ini memang gurih dan lezat.

Saya duduk bersebelahan dengan Pak Sumarno. Beliau di sebelah kanan saya. Di ujung kiri, tepat di kiri saya, ada Bapak Andi Makmur Makka (mantan Pimred REPUBLIKA). Di depan saya ada Ibu Hasri Ainun Habibie (istri BJH). Di sebelah kanan saya ada Pak Watik. Bapak Andi Oddang (mantan Gubernur Sumsel, teman kecil Pak BJH sekaligus kakak kandung Pak Makka) duduk tepat di depan Pak BJH. Bapak Fuadi Rasyid (Direktur Administrasi dan Umum THC) duduk di sebelah kanan Pak Andi Oddang. Pak BJH sendiri di sebelah kiri Ibu Hasri Ainun. Di sebelah kiri BJH ada dua cucunya, putra dan putri Pak Ilham Akbar Habibie (anak bungsu BJH). Setelah dua cucu tersebut, istri Pak Ilham (menantu Pak BJH). Lalu terakhir adalah Rahimah Abdulrahim (putri alm Bang Imad ITB) di sisi paling kiri dari BJH.

Multi Bahasa dengan Keluarga

Selama proses makan tersebut, BJH secara bergantian menanyakan perihal kesehatan kami, kinerja di The Habibie Center, politik di Indonesia serta hal-hal lain sekenanya. Kamipun menjawab dengan penuh antusias. Tidak ada ketegangan. Suasana rileks. Kadang beliau menanyakan cucunya tentang makanan yang ada di depannya. Atau tentang sekolahnya. Tidak lupa Pak BJH memperkenalkan cucu-cucu beliau pada kami. Kelas berapa dan umur berapa, apa hobinya dan apa pula prestasinya. Yang menarik untuk diperhatikan adalah, BJH berkomunikasi dengan cucunya menggunakan bahasa inggris. Perlu diketahui bahwa cucu perempuan BJH, yang sulung, usia sekitar 9 tahun, memakai kacamata. Sedangkan cucu putra, yang lebih muda sekitar 7 tahun, rambut gondrong. Mereka semua sudah sangat fasih bahasa inggris. Tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu.

BJH bercerita bahwa kedua cucunya ikut program ekstrakurikuler karate (atau tae kwondo, saya lupa). Dan acara makan siang ini sengaja diadakan setelah kedua cucunya selesai latihan olahraga beladiri tersebut. Siang itu, dengan bangga BJH bercerita bahwa cucu putranya telah berhasil mengalahkan lawan beladirinya yang jauh lebih besar darinya. Kuncinya, kata beliau, menirukan cucunya, percaya diri.

Dua cucunya tersebut juga sering diajak berenang oleh BJH. Renang adalah hobi yang ditekuni dan dijalani BJH sejak lama. BJH, hingga kini, tetap berenang 2 jam sehari, setiap hari. Itulah, kata beliau, yang merupakan rahasia dari kebugarannya. Padahal kalau diselidiki, BJH hanya tidur kurang lebih 2-3 jam sehari semalam, tapi kondisi nya masih segar bugar.

Ibu Hasri Ainun sesekali bercerita tentang makanan favorit BJH. BJH berkomunikasi dengan isterinya dengan bahasa Jerman. Sesekali bahasa Indonesia. BJH dengan menantunya pakai bahasa Indonesia. Saya pernah melihat BJH bicara dengan putranya (Ilham Akbar) dengan bahasa jerman. Pelajaran yang saya petik siang itu adalah, bahwa dalam keluarga intelektual, bahasa tidak menjadi persoalan. Mereka sudah membiasakan diri berkomunikasi dalam banyak bahasa, terutama bahasa Indonesia dan Inggris. Tidak salah dalam usia yang matang, mereka menjadi manusia yang fleksibel dalam berkomunikasi dengan kalangan internasional.

Tetap Berkarya di Masa Tua

Hingga kini BJH tetap berkarya memajukan teknologi, untuk dunia. Beliau kini tinggal di Jerman. Alasan beliau memilih tinggal di sana karena pengobatan kesehatan di Jerman lebih baik, dan disana beliau mendapatkan asuransi penuh. Ibu Hasri beberapa kali harus periksa kesehatan. Di jerman beliau tetap sibuk di laboratorium dengan banyak komputer di ruangannya.

Kegiatan di sela-sela kesibukannya berkarya adalah menikmati karya seni, budaya dan peradaban anak bangsa dan dunia. Beliau secara terbuka mengakui bahwa kini tergila-gila dengan sinetron Cinta Fitri (tayang di SCTV). Pada sebuah acara di The Habibie Center, BJH cerita bahwa di masa mudanya beliau tidak pernah nonton sinetron. Hanya pada masa tua inilah beliau sempatkan melihat sinetron. Tentunya ada banyak lagi kegiatan seni dan budaya yang beliau sukai, misalnya pameran lukisan, pertunjukan musik klasik serta opera.

Selain kegiatan di atas, beliau juga sering diundang untuk memberikan ceramah kebudayaan dan teknologi di berbagai negara. Seringkali secara marathon dari satu kampus ke kampus lainnya, dari satu benua ke benua lainnya.

Tip untuk Para Pramusaji

Di sela-sela kami makan, banyak para pramusaji yang tersenyum-senyum melayani Pak BJH. Mungkin mereka baru kali ini melayani Pak BJH, atau mungkin baru kali ini bertemu muka dengan beliau. Saya lihat mereka mengintip dari balik dapur. Ada yang memotret dengan kamera HP dan kamera poket dari jarak jauh.

Ketika makan siang kami hampir selesai, Pak BJH memanggil asisten pribadinya –yang sangat setia menemani beliau sejak lama (usia aspri tersebut sekitar 70 tahun)– untuk menyelesaikan pembayaran. Tak lupa Ibu Hasri Ainun memesan makanan untuk dibawa pulang. Pak BJH memesan ayam goreng, dan Ibu Hasri memesan sambal pete dan kare jeroan.

Setelah aspri Pak BJH membayar semua tagihan, Pak BJH meminta sisa uang yang dibayarkan. Beliau hitung, sepenglihatan saya ada sisa sekitar 150 ribu atau 200 ribu. Beliau langsung memanggil kepala pramusaji. “Siapa kepala pramusajinya di sini?” Tanya beliau ke salah satu pelayan. Lalu datang seorang di antara mereka ke arah BJH. “Berapa orang semuanya?” lanjut tanya BJH. Pelayan menjawab sekitar 4-5 orang. Lalu sisa uang di tangan BJH tadi langsung beliau berikan pada kepala pramusaji. Dengan senyum dan perasaan haru, kepala pramusaji itu menerima uang tersebut sambil salaman mencium tangan BJH.

Saat BJH pamitan pada kami semua, dan juga pada para pramusaji dan pemilik restoran, tiba-tiba salah seorang pramusaji memberanikan diri memohon waktu BJH untuk mengambil waktu berfoto bersama dengan mereka. Pak BJH menerima dengan senang hati dan tidak keberatan samasekali, “why not?” katanya. Alhasil, secara bergantian mereka semua berfoto dengan Pak BJH dan Ibu Hasri. Sesekali dengan cucu dan menantunya. Mereka tampak bahagia. Satu persatu dari pramusaji itu salaman dan cium tangan. Mereka berterimakasih sambil sedikit membungkukkan badan tanda hormat.

Saya meninggalkan Sari Bundo dengan gumam dalam hati, “Hari ini Sabtu tanggal 14 Februari 2009. Bagi beberapa orang muda di belahan dunia, mereka sebut hari Valentine, hari berbagi kasih sayang. Saya merasakan indahnya kasih sayang ini dengan makan siang bersama presiden ketiga republik ini, beserta segala nilai humanisme dan kemanusiaanya secara natural. Bagi para pramusaji, mereka mengungkapkan kasih sayangnya dengan melayani sepenuh hati. Dan BJH dengan senyum tulusnya serta kedermawanannya”. Sungguh sebuah hari yang indah yang tak akan saya lupakan sepanjang hidup saya.

Jakarta, 25 Juli 2009

Tidak ada komentar: