Rabu, 29 Juli 2009

Tirmizi Al-Katiri (TAK) 1: Ketua Korkom yang Fashionable dan Pede

Saya mengenalnya pertama kali tahun 1999 dalam sebuah perjalanan pulang dari kampus ke kosan. Kurang lebih 2 minggu setelah ospek berakhir. Seorang teman sekelas saya kebetulan satu grup dengan TAK dalam ospek. Teman saya bilang bahwa TAK itu pemberani, pintar orasi, berwatak pemimpin, berpenampilan sangar tapi sebenarnya hatinya lembut. Kecuali yang terakhir, saya belum bisa mempercayai cerita itu 100%. Nada bicara TAK waktu itu memang lembut. Mungkin karena teman saya ini cukup cantik, saya tidak tahu. Di jalan itu mereka bicara tidak lama, sekedar saling tanya kuliah. Saya tidak diperkenalkan dengan TAK. Kamipun tidak saling memperkenalkan diri.

Karena pergaulan saya waktu awal kuliah hanya sebatas pada teman sekelas, teman Madura dan teman kos, maka wajar saya dan TAK jarang bertemu. Pertemuan kedua kami adalah saat saya ikut LK I di HMI Komisariat Hukum Unibraw. Waktu itu tahun 2000. saya memang telat ikut LK. TAK hadir sebagai mahasiswa baru fakultas hukum yang sudah ikut LK I di Komek (selain di Dipak `99, TAK juga lulus UMPTN secara ajaib di FHUB '00). Di LK itu saya melihat sendiri bagaimana TAK berdiskusi dalam forum. Suaranya lantang. Pertanyaan dan argumentasinya kritis. Dia seperti mahasiswa yang sudah senior. Saya paham, kerena dia sudah digodok di Komek selama 1 tahun.

Pertemanan kami kemudian menjadi sangat intensif ketika saya putuskan untuk tinggal di Wagil 17B. Itu sekitar tahun 2002. Ketika Yusuf menjadi Ketua Komek, TAK menjadi Kabid PTKP. Saya sebagai Kadep Penerbitan di bawah P3A yang dikomandani saudara Anto. Dalam kepengurusan ini kami cukup akrab berinteraksi, lebih-lebih lagi dalam RAK –yang kelak memilih saya sebagai pengganti Yusuf. TAK kemudian memilih jalur Korkom menggantikan saudara Andi (Perikanan).


Ketua Korkom

Ada momentum yang cukup menegangkan dalam proses TAK menjadi ketua Korkom UB. Waktu itu Musyawarah Komisariat-Komisariat (Muskom) UB diselenggarakan di Graha Insan Cita (GIC) yang terletak di ujung utara Jalan Soekarno-Hatta. Ada banyak bakal calon yang dijagokan. Saya menilai bahwa masing-masing komisariat tidak mau kehilangan bargain of power-nya begitu saja di momentum ini. Hampir semuanya memajukan satu bakal calon. Hukum mencalonkan saudara Suci. Pertanian mengamanatkan saudara Salim. MIPA adalah Cahya. TP saudara Hariyanto. Ekonomi, tentu saja, TAK. Ada empat tahap yang harus dilalui yaitu pencalonan, penyampaian visi-misi, pernyataan kesediaan, dan pemilihan.

Tapi takdir memang tidak bisa dihindari. Setelah melewati satu tahap menegangkan dimana semua bakal calon tersebut harus memperoleh minimal 1 suara untuk maju ke tahap selanjutnya, akhirnya TAK lolos ke seleksi selanjutnya. Andai saja Hendra (waktu itu sebagai Ketua PTKP sekaligus peserta utusan) cukup pede untuk tidak menuliskan nama TAK dalam kertas suara, maka TAK tidak akan lolos, karena ternyata TAK hanya mendapat 1 suara, yaitu dari Komek sendiri, dan takdir TAK akan berbeda sepenuhnya dari sekarang ini.

Ketika tahap pernyataan kesediaan dimulai, saya ingat sekali, TAK duduk di kursi paling utara. Sedangkan pernyataan dimulai dari kursi paling selatan. Salim, pemilik kursi pertama itu, juga sebagai satu-satunya calon yang paling ditakuti TAK, secara mengejutkan menyatakan ketidak bersediaannya. Satu nafas kami tarik dengan sangat lega, karena Salim adalah calon yang dianggap paling berat. Selain intelek, punya track record sukses sebagai Ketua Umum Komperta dan anggota DPM UB, dia juga sangat berjasa pada Korkom kepengurusan Andi dengan membentuk Pusat Pengembangan Intelektualitas Kader (PusPIK).

Menyusul kursi kedua, juga tidak bersedia. Kursi ketiga dan seterusnya sama juga. Sampai pada kursi terakhir, kursi TAK, semua hadirin terdiam. Lalu tertawa. Ada juga yang menunggu dan harap-harap cemas. Bahkan ada yang meledek agar TAK juga menyatakan ketidakbersediaannya. Berharap ada pencalonan ulang. Beberapa detik kemudian, dengan suara mantap dan lantangnya, TAK berlafal:

"Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya menyatakan bersedia menjadi Ketua HMI Korkom UB periode selanjutnya!".

Semua hadirin tepuk tangan. Saya dan Hendra tidak dapat menahan haru. Kami semua saling berjabat tangan dan berpelukan menyelamati kemenangan bersama ini. TAK terpilih secara otomatis dan aklamatif. Tak ada tahap pemilihan karena semua calon, kecuali TAK, gugur demi hukum. Lagu Mars HMI pun dilantunkan dengan khidmat bersama-sama. Semua berdiri dan mengepalkan tangan kiri ke atas. Bulu kuduk saya merinding. Mata saya berkaca-kaca. Kami sadar, perjuangan bukannya berkahir, justru baru akan dimulai!


Fashionable

Entah TAK mendapat kalimat itu darimana, tapi begitulah yang disampaikannya ketika seorang kader perempuan dari Komisariat MIPA membandingkan prestasi TAK dengan para ketua korokom sebelumnya. Kader itu bilang, bahwa Ratno terkenal dengan keberhasilannya membawa HMI pada kemenangan di pemilwa raya. Andi dengan kegantengan, kegagahan dan kematangan strateginya (walaupun dalam pemilwa raya calon HMI kemudian kalah). Sedangkan Tirmizi:

"Terkenal dengan penampilannya. Yang lain boleh lebih hebat dan lebih ganteng, tapi kalau penampilan, Tirmizi-lah yang paling fashionable. Bukan begitu, Jay?"

Kalimat di atas tidak diucapkan kader perempuan tadi. TAK memotong perbandingan itu dan menyambungnya dengan kalimatnya sendiri. Saya yang mendengar kalimat itu tidak dapat menahan tawa geli. Gadis itu, apalagi.

Ini memang ciri khas TAK yang, dalam istilah Yusuf, suka klaim personal secara berlebihan. Setelah kalimat itu, dia lalu mengeluarkan statement-nya yang hingga kini tidak akan pernah bisa saya lupa. Katanya, alasan kenapa orang arab itu tampil parlente, `fashionable' dan suka makanan, karena memang:

"Orang arab itu Jay, suka toto roso (selera makan) lan toto seliro (penampilan). Orang Jawa itu suka toto kromo (adab dan sopan santun). Sedangkan orang Madura itu toto agomo (agama dan ibadah)."

Terhadap pernyataan di atas, saya tidak pernah konfrontirkan dengan orang lain, karena itu adalah ungkapan personal. Sah-sah saja diucapkan di jaman kebebasan bersuara dan berekspresi ini. Apalagi diucapkan hanya di depan saya. Tapi kalau diamat-amati, rasa-rasanya ada benarnya juga.


Pede

TAK memang dikenal sebagai orang yang luar biasa percaya diri. Pernah di tahun 2004 dia duduk satu meja dengan pembicara regional dan nasional. Dan dia tidak kehilangan satu centimeter pun ke-pede-annya walaupun acara itu ditonton oleh mahasiswa dan dosen satu ruangan penuh Gedung Widya Loka UB.

Forum itu adalah seminar untuk mengenang wafatnya Cak Munir. Pembicaranya antara lain Suciwati Munir dan Dedi Priambudi (LBH Surabaya). Pembicara lainnya saya lupa. TAK sebagai pembicara (perwakilan) dari kalangan mahasiswa, khususnya kader HMI Unibraw. Waktu 10 menit yang diberikan padanya dilanggar begitu saja dengan pidatonya yang berapi-api. Bapak Ibnu Tricahyo (FH) sebagai penanggungjawab acara tersebut dibuat merah padam akibat ulah TAK. Tapi justru tepuk tangan dan sorak hadirin bergemuruh saat TAK melontarkan kalimat-kalimatnya. Salah satunya adalah:

"Kita semua telah kehilangan Jundullah, tentara Allah! Cak Munir bin Thalib bukan hanya milik orang Arab! Bukan pula milik kader HMI dan FHUB! Tapi juga menjadi pahlawan bagi semua warga yang kemanusiaannya ditindas oleh kekuatan militer!".

Dia meneriakkan kalimat itu bersama topi golf putih ADIDAS menutupi kepalanya, jaket eksekutif cokelat CROCODILE, celana black jeans komprang TANPA MEREK dan sepatu boots hitam BALLY. Benar-benar fashionable dan pede. Saya duduk di barisan hadirin paling depan bersama beberapa pengurus HMI lainnya. Selesai memberi pidato, dia melirik ke arah kami, tersenyum khas, lalu mengangkat alis, seolah bertanya:

"Gimana, mantap? Tidak kalah sama pembicara lainnya, kan?"

(bersambung)

Jakarta, 11 April 2008

Tidak ada komentar: