Rabu, 15 Juli 2009

Semalam di Singapura (1): "Harborfront"


Tulisan Pertama..

"Harborfront"

Rabu malam, 1 Juli 2009, pukul 18.40 WIB, saya berangkat dari dermaga Batam Center di Batam menuju Dermaga Harborfront di Singapura. Fery yang saya naiki adalah BATAMFAST, dengan harga tiket 30 SGD (Dollar Singapura) atau sekitar Rp 210.000,-. Waktu tempuh adalah 1 jam perjalanan. Alhasil, saya merapat di pelabuhan laut satu-satunya di Singapura tersebut pukul 19.40 WIB atau pukul 20.40 waktu Singapura (antara WIB dengan waktu Singapura selisih 1 jam).

Feru tersebut berjalan sangat cepat. Sayang sekali saya tidak bisa memperkirakan berapa kecepatannya, baik dalam km/jam maupun dalam knot. Ombak di selat Singapura tidak begitu besar. Angin yang bertiup cukup dingin. Penumpang yang bersama saya di dek kapal sekitar 10 orang. Sedangkan yang berada di dalam kapal (lantai dasar) saya tidak bisa memperkirakan. Rata-rata adalah orang cina.

Ketika membeli tiket fery dan menukar uang rupiah ke SGD, saya dan teman yang mengantar saya tergelitik, karena kami baru tahu sistem kerja dan keadaan di pelabuhan Batam Center ini. Transaksi di sana sudah menggunakan SGD. "Padahal ini masih di tanah Indonesia, ya?" kata teman saya, Abdus Sukur. "Ya, begitulah. Banyak dari penduduk Batam yang belum ke Singapura, padahal jaraknya cuma 1 jam perjalanan", tambah Irfan, teman saya lainnya.

Satu-satunya kendala bagi mereka adalah Passport dan kartu NPWP. Sesampai di Jakarta baru saya tahu bahwa untuk penduduk provinsi Jambi, Bengkulu, Riau dan Kepulauan Riau mereka boleh ke Singapura tanpa passport. Hanya saja mereka akan dikenakan biaya lagi jika mereka tidak memiliki NPWP.

Saya di Singapura hanya satu malam. Sesampai di Harborfront, saya langsung diperiksa oleh petugas imigrasi pelabuhan. Mereka meminta saya untuk menuliskan alamat yang akan saya kunjungi di Singapura. Saya tidak tahu karena memang kedatangan saya ke Singapura hanya untuk jalan-jalan satu malam, dan itupun saya akan dijemput oleh teman saya di pelabuhan. Saya jelaskan dengan sedemikian rupa, sampai akhirnya petugas mengijinkan saya lewat dengan syarat saya menuliskan nomor telepon teman saya tersebut.

Saya sungguh tercengang dengan Singapura sejak pertama kali menginjakkan kaki di Harborfront. Bersih, rapi, sibuk, modern dan padat. Ada tiga etnis yang sering saya jumpai di Singapura, dan itu memang penduduk Singapura, yaitu cina, melayu dan India. Mereka hidup rukun dan damai.

Harborfront tidak seperti pelabuhan biasanya. Tempat ini sekaligus menjadi shopping center dan tempat makan-makan. Banyak saya lihat para remaja dan orang tua yang duduk-duduk di restoran dan outlet makanan di sana. Mereka menikmati malam sambil bicara bisnis, keluarga dan kehidupan.

Saya lalu menaiki MRT (mass rapid transportation) dari Harborfront ke Clarke Quay. Harga tiket MRT saya lupa, tapi sistemnya sama saja seperti di Taipei, Taiwan. Dan memang, kata Tareq, teman saya dari Kuwait, sistem MRT dimana-mana sama saja. Di dalam MRT sungguh nyaman dan aman. Penumpang berdiri dan duduk saling hormat. Mereka disibukkan dengan mendengarkan musik di mp3 nya. Hanya beberapa saja yang sibuk bicara dengan rekan seperjalanannya, seperti saya.

Jakarta, 15 Juli 2009

Bersambung ke Tulisan Kedua tentang "Semalam di Singapura"

Tidak ada komentar: