Senin, 09 Maret 2015

Kamar, Kopiah dan Kaca Pak Natsir

Ketika hampir semua pihak menyalahkan saya dalam sebuah debat, tiba-tiba seorang bapak tua datang mendekati saya. Teman-teman saya -yang tidak tahu siapa bapak itu- pun mempersilahkan saya menyambut dan melayaninya, dan debatpun berakhir. Bapak itu adalah Mohammad Natsir, mantan perdana menteri kelima Republik Indonesia, pendiri-pemimpin Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), pendiri-pemimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan pendiri-sekjen Rabithah Alam Islami (World Moslem League). Ia datang pada saya karena sekarang saya menempati kamar yang dulu pernah ditinggalinya. // "Siapa yang menempati kamar ini?" Tanyanya. "Saya, Pak." Jawab saya. "Apa Anda pemiliknya?" "Bukan, Pak. Pemiliknya orang lain." Saya menyebutkan nama sang pemilik. "Sudah lama Anda menyewa kamar ini?" "Sejak dua tahun lalu, Pak. Kebetulan saya kenal baik salah satu keluarga pemilik." // Pak Natsir masuk kamar lalu bertanya tentang kopiahnya. Saya bilang "Mmmm, anu, Pak. Kopiah Bapak sedang ada di rumah saya. Menjelang Pemilu 2014 kemarin saya bawa pulang kopiah itu ke kampung. Kalau ditaruh di sini, saya khawatir hilang. Biar ibu saya menjahit bagian yang rusak. Dan biar ayah saya mencuci dan menyikatnya. Ohya, pada teman Panitia Pemungutan Suara (PPS) di rumah, saya bilang bahwa kopiah tersebut milik mantan Perdana Menteri RI." Pak Natsir tersenyum. Dengan suaranya yang serak dan lembut ia menegur santun "Janganlah begitu. Itu kopiah, bukan topi. Itu identitas, jangan sampai hilang. Apa Anda yakin dimana kopiah itu sekarang?" "Itu dia, Pak. Saya lupa ada di siapa. Beberapa teman di kampung meminjamnya secara bergiliran. Tapi saya pastikan akan ketemu, Pak. Mohon maafkan saya." // Pak Natsir mengangguk, lalu melihat sekitar dan tatapannya berhenti di sebuah kaca cermin. "Anda tidak mencuci kaca ini, ya?" Tanyanya sambil menebak. "Tidak, Pak. Saya tidak tahu cara bersihkan kaca. Takut malah tambah buram." Kata saya. "Begini," Katanya sambil mengangkat kaca itu, "kalau dicuci dengan air biasa memang akan melunturkan bagian pemantulnya. Tapi coba Anda cuci dengan cairan asam (kalau tidak salah dia menyebut HCl dan semacamnya), maka ini akan mengkilap dan fungsi cerminnya akan optimal kembali." "Oh begitu ya, Pak. Baik Pak, akan saya cuci besok." // Ia masih memperhatikan seluruh isi kamar, lalu tersenyum pada saya. Saya perhatikan penuh-penuh penampakannya khasnya: rambut putihnya, kacamatanya, syal putih (dari sorban) di lehernya, serta kopiah hitamnya. Ia pun lantas pergi. // "Bi, ambilin mainan di atas lemari. Bi.. Ambilin Bi.. Aabiii..." Suara Arkan membangunkan saya dari mimpi. Saya tidak langsung menjawab Arkan, tapi masih mengingat-ingat mimpi barusan. Citra Pak Natsir dan pesannya masih melekat di benak saya. Lalu saya bangun, mengambil mainan anak saya, ke kamar mandi, wudhu' dan solat subuh. // *** // Saya mengenal cerita Pak Natsir melalui buku sejarah, biografi, maupun tulisan-tulisannya. Tahun 2006 saya membeli buku kumpulan tulisan Pak Natsir di Kwitang, Jakarta. Judulnya "Agama dan Negara dalam Perspektif Islam" suntingan H. Endang Saifuddin Anshari. Akhir tahun 2008 saya hadiahkan buku itu pada seorang MP (DPR-nya Malaysia) sebagai hadiah persahabatan. Di saat yang bersamaan saya membeli tiga jilid "Capita Selecta" cetakan terbaru, dan langsung saya hadiahkan pada seorang mantan pejabat tinggi Malaysia. Tahun 2010 saya membeli buku "100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah" di Shopping, Jogjakarta. Lewat buku-buku tersebut saya mengenal karakter, perjuangan, dan pemikiran Pak Natsir. // Pertemanan saya dengan beberapa rekan dari Partai Bulan Bintang (PBB) pada 2008 menambah kekaguman dan rasa hormat saya pada Pak Natsir. Awal 2012 saya menulis makalah tentang "Mohammad Natsir, Anwar Ibrahim, dan Yusril Ihza Mahendra" untuk sebuah acara konferensi di Surabaya, namun makalah tersebut tidak sempat terselesaikan. Bulan Juli 2014 lalu saya diskusi panjang dengan Agus Lenon, salah seorang yang paling berjasa menghubungi kontributor, mengumpulkan tulisan, mewawancarai dan mentranskrip hasil wawancara sebagian besar isi buku "100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah" tersebut. // Perjuangan, pemikiran dan karakter Pak Natsir tidak perlu saya sampaikan di sini. Terlalu banyak buku yang mengulas tentang sejarah dan teladannya. Namun yang paling membekas adalah kesederhanaannya. Ia mungkin satu-satunya mantan perdana menteri di dunia yang saku kemeja resminya bernoda (karena tinta pena), jasnya bertambal, lama tinggal di rumah kontrakan, dan tidak mewariskan banyak harta pada keluarganya. // *** // Terkait mimpi tadi malam, saya sangat bahagia dan terharu karena mimpinya tentang hal-hal yang melekat pada Pak Natsir, yaitu kamar dan kopiah. Saya yakin bahwa kamar, kopiah dan kaca adalah simbol yang harus dimaknai dengan serius, terutama terkait kehidupan saya saat ini. // Kamar berasosiasi dengan ruang, space, domain, posisi, maqam, pemikiran dan semacamnya. Sebagai pengajar dan pembelajar, saya sering "meminjam ruang" orang lain. Menghormati dan menjaga pemilik kamar tersebut, serta menteladani pemakai kamar sebelumnya tentunya adalah perbuatan mulia -jika tidak malah kewajiban. Meminjam kamar artinya mewarisi, dan mewarisi artinya menjalankan amanah. Diakui atau tidak, saya meminati isu-isu islam, agama, ideologi, pendidikan, dan hubungan internasional, sebagaimana sering ditulis Pak Natsir dalam karya-karyanya. Mungkin ke depan saya harus lebih banyak membaca hal-ihwal di atas untuk menambah wawasan perkembangan dunia kontemporer. // Kopiah identik dengan kehormatan, ilmu, iman, hikmah, identitas dan sejenisnya. Memang kita bisa mengandalkan kehormatan dan nama baik orang lain (misalnya keluarga, kerabat, sahabat atau atasan kita) namun tak baik faedahnya untuk jangka panjang. Kita harus mencari dan memperdalam ilmu, iman dan hikmah kita sendiri demi kehormatan pribadi dan keluarga ke depan. Jangan sampai hilang keempat hal tersebut, karena ia berada di puncak pencarian. Jangan pula menyepelekan apalagi menihilkan hak orang lain atas keempatnya. Itu sama dengan menistakan kehormatan seseorang. Seberapapun ilmu, iman dan hikmah seseorang, tetap harus kita hormati. // Kaca adalah simbol intropeksi diri atau muhasabah dan citra diri atau image, dan yang serupa. Jika perilaku kita sudah jauh dari tanda-tanda iman, mungkin cermin (hati) kita sudah buram. Kondisi bathin kita dapat dilihat dari tampilan dzahir kita. Jika sudah tak bening, saatnya kita membersihkannya. Bukan dengan air biasa tapi, dengan air khusus. Dosa dan kufur tak bisa bersih hanya dengan istighfar, harus disertai 'azzam (niat yang kuat), 'uzlah (mengasingkan diri), khulwah (menyepi), riyadhah (latihan), mujahadah (berjuang) dan taubatan nasuha (taubat sesungguhnya). Menyucikan diri (tazkiyatun nafs) adalah satu-satunya cara memperbaiki lahir-batin kita. // *** // Mohammad Natsir. Siapa sangka tokoh besar itu hadir dalam mimpi saya. Mungkin pesan lainnya adalah agar saya membaca lagi sejarahnya, menuntaskan tulisan tentangnya, dan hidup sebagaimana teladannya. // Saya menunggu mimpi tentang Pak Natsir lagi, sebagaimana saya selalu menunggu mimpi tentang Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Soekarno, dan tentunya manusia paling mulia, Muhammad Ibnu Abdullah. // Pamekasan, 26 November 2014

Tidak ada komentar: