Senin, 09 Maret 2015

"Opa": Manusia Ajaib dan Langka

Belajar tak kenal usia dan tempat. Sepanjang hayat kita dituntut belajar, hingga ke negeri seberang. Dari sekian banyak teman yang saya kenal selama kuliah di Jogja, tak ada yang lebih menarik untuk diceritakan melebihi seseorang bernama Tugoro Glamop. Ketika dia mendaftar di UGM usianya sudah 44 tahun, tertua diantara kami se angkatan MEP-43. Dia dari ujung paling timur Indonesia. // Dia mantan camat Distrik Kouh, Kabupaten Boven Digoel. Sebelum tahun 2002, Boven Digoel masuk wilayah Kabupaten Merauke, kabupaten perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Di Digoel, tepatnya di Tanah Merah (ibukota kabupaten Boven Digoel saat ini), Soekarno, Hatta dan beberapa tokoh lainnya pernah ditahan (diasingkan). Demi pendidikan dan karirnya di masa depan, Tugoro meninggalkan tanah kelahirannya pada usia yang sudah tidak muda lagi. Pada tahun 2010, katanya, tercatat hanya dirinya dan satu mahasiswi lain dari Digoel yang mengambil pendidikan master. // Awalnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Tugoro. Pada saat matrikulasi kami beda kelas. Ketika matrikulasi selesai, ada beberapa mahasiswa yang dinyatakan tidak lulus, salah satunya Tugoro. Setelah matrikulasi, mahasiswa digabungkan berdasarkan konsentrasi. Saya ambil konsentrasi Pembangunan Daerah (PD). Di situ saya kenal Bondan Santoso, teman sekelas Tugoro waktu matrikulasi, yang juga mantan camat Distrik Catubouw, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Saya bersahabat karib dengan Bondan karena kebetulan dia berdarah Madura. // Bondan termasuk “cluster” senior di antara kami. Entah karena kedewasaan, atau karena sesama camat, Bondan dan Tugoro berteman dekat. Menurut pengakuan Tugoro, Bondan adalah salah satu dari beberapa sahabat terdekatnya di Jogja. Kepada Bondan-lah dia bisa ngobrol sebagai sesama orang dewasa, dan dari hati ke hati. Pada Bondan pula-lah Tugoro menyampaikan segala masalah perkuliahan yang dihadapinya, termasuk masalah pribadi. // Minggu kedua September 2010 (setelah libur akhir trimester dan libur Idul Fitri) harusnya Tugoro masuk kampus untuk (kembali mengulang) matrikulasi. Namun dia tidak di Jogja. Dari informasi, dia mendapat musibah. Istrinya wafat. Berdasarkan adat, maka dia harus berduka di rumah selama sebulan lebih. Dan itu berarti dia akan tertinggal pada minggu (bahkan bulan) awal perkuliahan September. Tugoro memutuskan untuk tetap tinggal di Digoel hingga trimester berikutnya. Namun menurut Bondan, selain karena berduka, ada alasan lain mengapa Tugoro enggan balik ke Jogja. // “Opa itu malas kuliah lagi karena syarat S2 berat sekali. Dia down ketika harus tes TOEFL dan TPA.” kata Bondan suatu hari pada saya. Tugoro biasa dipanggil dengan “Opa”. // Saya berkata dalam hati bahwa jika hanya TOEFL dan TPA yang menjadi beban, maka saya sendiri bisa bantu “mengajarinya”. Saya hanya kasihan dengan semangatnya, dan eman dengan uang yang sudah banyak dihabiskannya. Maka waktu itu saya sampaikan pada Bondan bahwa saya (bersama Bondan dan yang lain tentunya) akan membantunya. Apalagi saya, Bondan dan Opa sama-sama konsentrasi PD. Jadi akan sangat sering interaksi. // Awal 2011 Opa tiba di Jogja. Perkenalan langsung saya dan Opa terjadi di rumah kontrakan Bondan. Tugas pertama saya dan Bondan waktu itu adalah membangkitkan semangatnya. Kami meminta janjinya bahwa jika TOEFL dan TPA nya selesai, dia harus lanjut kuliah, apapun masalah yang dihadapi. Dia menyanggupi. Dan esok paginya, dia menghadap ke akademik MEP bahwa dia ingin melanjutkan kuliah. Akademik menyarankan dia untuk segera memenuhi syarat TOEFL dan TPA terlebih dahulu, baru matrikulasi menyusul. // *** “Baik Bang, saya yakin STOPEL kali ini saya akan lulus. Tugoro gitu loh..” // Itu adalah ungkapan optimis Opa yang tidak pernah bisa saya lupakan. Saya mem-“private”-nya TOEFL. Tes pertama, gagal. Tes kali kedua, seperti yang diucapkannya di atas, dia lulus betul. Saya dan Bondan lega. Satu tugas telah selesai. // Opa tidak ambil pusing dengan istilah tertentu. Walau sudah dibetulkan berkali-kali, tapi toh dia tetap memakai istilahnya sendiri. STOPEL salah satunya. Dia mungkin malas menyebutnya TOEFL. Istilah lain yang dia sebut dengan bahasa sendiri adalah Pak Yamli (untuk Pak Jamli), plesbis (flashdisc), dan polpoin (power point). // Tidak lama setelah sukses TOEFL, dia ikut tes TPA BAPPENAS di FT UGM. Pada tes pertama dia gagal. Dia ikut tes kedua di FPT UGM. // “Biasa Bang. Kayak STOPEL. Pertama kali mencoba gagal, yang kedua pasti sukses!” // Dan ajaibnya dia benar-benar lulus di tes kedua. Nilainyapun di atas rata-rata. Tentang hal ini ada bocoran dari Pak Samsubar Saleh (instruktur TPA dan dosen kami di MEP) yang bisa dijadikan panduan. Dia bilang: // “Soal multiple choice yang baik adalah yang jawabannya terdistribusi merata. Artinya jumlah jawaban A sama banyaknya dengan B, C dan D. Gampangnya, jika kalian bodo-bodo-an atau tutup mata dengan menjawab A saja (B saja, C saja, atau D saja) untuk semua soal, maka minimal kalian akan dapat nilai 25%. Alias betul seperempatnya. Dan soal TOEFL dan TPA umumnya seperti itu. Jadi kalau kalian tidak bisa jawab, saran saya, samakan saja semua, terserah apakah A, B, C, atau D. ” // Opa mengambil saran itu, plus beberapa modifikasi pada beberapa soal yang dia sendiri bisa jawab. Perlu diingat, Opa bagus di tes verbal. “Tabungan” kosakatanya cukup banyak. Dia mengerti banyak istilah bahasa Indonesia. Intinya, hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu bagaimana dia bisa lolos dari lubang superkecil dua “jarum” itu. Setelah lolos dua tes itu, dia kembali mendatangi akademik MEP. Dan kuliahnya pun (kembali) dimulai. // *** // Saya mengistilahkannya sebagai “berdiri di dua kaki”. Opa, selain mengulang matakuliah matrikulasi, dia juga ambil kuliah di trimester 1. Seharusnya tidak bisa demikian. Setiap yang mengulang, ya harus mengulang saja. Opa dapat dispensasi. Saya tidak tahu pertimbangan apa yang diambil oleh MEP. Bisa jadi faktor usia, atau nilai TOEFL dan TPA-nya, atau mungkin karena dia satu-satunya mahasiswa dari Boven Digoel waktu itu. Dia memang termasuk langka di MEP. // Ketika dia kuliah, saya beberapa kali membantunya, terutama membuat powerpoint. Untuk diskusi di kelas, saya tidak perlu membantunya. Dia mantan camat, sudah terbiasa sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat. Dengan bakat dan keahlian komunikasi interpersonalnya, dia beberapa kali mendapatkan nilai di atas kemampuannya. Sebut saja misalnya matakuliah evaluasi proyek yang diampu oleh Pak Ibnu Subiyanto, ekonomi pembangunan oleh Pak Budiono Sri Handoko, dan perencanaan pembangunan oleh Pak Sutatwo Hadiwigeno. Kebetulan ketiga dosen tersebut adalah dosen senior. // Jika ada tugas kelompok untuk matakuliah di atas, Opa berinisiatif sebagai ketua kelompok. Dan hubungannya dengan anggota kelompoknya sangat mutualistis. Opa tinggal membuka diskusi dengan memberikan pengantar, lalu memberikan pokok bahasan pada anggota lain, diskusi, dan terakhir Opa menyimpulkan. Pengalaman Opa dalam pekerjaannya sebagai perencana memudahkannya dalam memberikan beberapa contoh kasus nyata, yang kadang, lucunya, walau tidak terkait langsung dengan materi, mampu disampaikan dengan rasa percaya diri yang tinggi. // “Maklum, sesama orang tua Bang.. Saya dengan Pak Ibnu, Pak Budiono dan Pak Tatwo, langsung nyambung. Hehe..” katanya. // Pada akhirnya, nilai Opa untuk tiga matakuliah ini memang terbukti memuaskan. // *** // Opa menulis tesis dengan topik spesialisasi sektor ekonomi Kabupaten Boven Digoel. Dia berencana mengabdikan karirnya ke depan di pemerintah kabupaten Boven Digoel, tidak lagi sebagai camat. Untuk itu dia ingin memberi kontribusi pemikiran di tempat bekerjanya kelak. Dia memandang bahwa sebagai kabupaten perbatasan, Boven Digoel memiliki potensi untuk maju. Dalam usianya yang baru berdiri 10 tahun, Boven Digoel bisa memacu pembangunan fisik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. // Pembimbing tesis Opa adalah Pak Tri Widodo. Dengan ketelatenan bimbingan dari Pak Tri, Opa mampu merampungkan tesisnya dalam waktu cukup singkat, sekitar 6 bulan. Akhirnya, Senin, 22 oktober 2012 Opa menghadapi ujian tesis. Pengujinya adalah Pak Ahmad Jamli dan Pak Samsubar Saleh. Kedua dosen tersebut dikenal dekat dengan Opa. Ini sebuah keuntungan tersendiri baginya. // Dan siang hari itu Opa menerima keajaiban sekali lagi. Dia dapat nilai A-, nilai yang prestisius untuk tesis. Dan, yang paling penting, tanpa revisi sama sekali. Setahu saya, dari semua teman seangkatan saya, tidak ada yang tidak revisi. Beberapa teman yang dapat nilai A pun masih harus revisi. Ini pasti bukan karena tesis Opa bagus, tapi karena doanya tiap malam yang tiada jemu itu. Katanya, dia selalu bergumul dengan Tuhan. Mungkin juga karena Pak Tri dan kedua dosen penguji ingin membantu Opa atas kerjakerasnya selama ini. // Saya termasuk diantara orang pertama yang mendapat kabar kesuksesan Opa di ujian tersebut. Opa menelpon saya. Dia menangis. Berterimakasih atas dorongan semangat dan bantuan yang saya dan kawan-kawan berikan selama ini. Lantas saya lanjutkan kabar gembira tersebut pada beberapa rekan seperti Bondan, Yayat, Ahmadi dan Sudarto. // Dua nama terakhir di atas tidak kalah banyak perannya dalam meluluskan Opa dari MEP. Pak Ahmadi dan Mas Sudarto, sebagaimana yang dilakukan Bondan, telah memberikan tidak hanya support moral, namun juga financial. Ketika kiriman Opa dari Papua seret, ketiga orang tersebut-lah yang saya tahu paling banyak membantu. // Ketiga orang di atas pula yang merealisasikan mimpi lama Opa untuk “tour de java”. Pada pertengahan 2011, kami bersama-sama wisata sejarah ke makam Pak Harto di Wonogiri, ke makam Gus Dur di Jombang, dan ke makam Bung Karno di Blitar. Dengan terharu Opa mengatakan bahwa dia telah sempurna menjadi rakyat Indonesia yang ziarah ke pusara tiga mantan presiden RI. // *** // Saya, Bondan, dan Pak Ahmadi sejak tahun lalu sudah berencana untuk reuni di Jogja bulan Januari ini. Namun karena kesibukan dan lain hal, kami semua batal. Bagi kami bulan Januari kali ini spesial, karena Opa, dan kawan kami Hafidh Amrullah, akan wisuda. Keduanya istimewa. Jika Opa adalah mahasiswa paling senior di PD, maka Hafidh adalah mahasiswa paling muda. // Hari ini, Selasa 29 Januari 2013, Provinsi Papua melangsungkan pemilukada untuk menentukan gubernur dan wakil gubernur yang baru. Opa seharusnya menggunakan hak suaranya, bahkan mungkin juga harusnya sibuk menjadi panitia pemungutan suara. Tapi dia memilih ke Jogja. Dia menghadiri wisuda magisternya, prosesi pentahbisan dirinya sebagai master ekonomi pembangunan, sebagai manusia baru: sebagai Tugoro Glamop, M.Ec.Dev. // Selamat, Opa! // Pamekasan, 29 Januari 2013

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Admin yg terhormat.
sekedar menambahkan curhatan tentang "Opa"
sedikit banyak saya mengenal beliau. waktu itu sekitar 2011-2012an secara tidak disengaja saya bertemu "Opa"/ Kk Goro di daerah Pogung yg kebetulan kita satu kos-kosan (kos Brotoseno).
beliau adalah orang yang gigih dan pantang menyerah, saya sendiri merasa kalah karena Kk Goro yg umurya tidak mudah di banding saya namun semangat belajarnya malah jauh lebih tinggi dari saya.
banayak mndapat pencerahan dari Kk goro, dan pengalaman beliau membuat saya salut.